HARI PERTAMA
Gue buru-buru
mengetik hai. Sadar chat kayak gitu
gak bakalan mendapat respons, gue menghapusnya. Haii. Lebih oke sih. Gue diam lima detik. Garis di bagian type a message berkedap-kedip. Apa ya?
Duh. Tinggal di mana? Frontal amat. Norak norak norak norak. Asli. Alay banget
gue. Hapus lagi, ketik berkali-kali. Tutup aplikasi. Taruh hape.
Ambil dan buka lagi.
Coba lo liat foto ini? Gila nggak sih. Cakepnya nggak ada effort. Rambut pendek. Nyengir di kamar. Udah gitu aja. Tapi manis.
Tapi nggak tahu kalau kata orang lain. Tapi bodo amat sama kata orang mah.
Shit. Udah berapa
lama gue begini?
Bangke. Belum jadi
nge-chat. Kenapa udah panik gini?
Gue ngetik lagi. Bajunya
bagus. Alah. Terlalu di film-film. Sekarang juga gue gatau dia pake baju apa.
Baju? Astaga. Gimana kalo dia nggak pak… otak dijaga.
‘Itu, yang di foto. Bajunya bagus.’
Gue merhatiin hasil
tulisan sendiri.
Fak. Kayak om om
mesum.
Kenapa jadi sesusah
ini ya? Ayo, percaya diri. Ayo. Apa coba kemungkinan terburuknya kalo first impression gue kampungan? Nggak
dibalas kan? Nggak kenalan? Udah, itu doang, Di.
Itu nggak doang,
bangsat.
Gue menurunkan suhu
AC. Duduk di samping galon. Bersandar ke kasur. Mengaduk segelas milo.
Memperlambat ritme kehidupan. Besok aja apa ya? Biar kesannya nggak kepingin
banget.
‘Tahu kenapa di bumi
ini ada malem?’ gue ngetik sambil ngomong sendiri. ‘Nah, nanti pas dia nanya
kenapa, gue bales, “Soalnya matahari malu sama kecantikan kamu.”’
Eanjaaaaay.
Kampung.
Yang beda. Yang beda.
Yang beda apa, Adi. Beda, jangan norak, biasa aja, tapi nggak alay.
Heyy.
KENAPA ILMU GUE
SEBATAS HAI HEI HAI HEI DOANG, MONKEY. EMANG TAYO?! Hapus lagi. Tutup aplikasi
laknat ini, tapi gercep buka lagi. Aku. Harus. Apa. Gue klik fotonya. Zoom. Senyum. Deg-degan.
‘Mangga mangga apa
yang banyak nanya?’ gue senyum sambil nangis saking depresinya.
Ijo! Ada bulatan
hijau di foto profile-nya! Dia online! Mampus. Malaikat Izrail, cabut
nyawaku! Gue meloncat ke kasur. Tanpa sengaja menendang gelas. Milonya tumpah
membasahi karpet bulu di bawah. Suasana makin chaos. Gue mengangkat handphone.
‘Mangga mangga apa
yang banyak nanya?’
Gue menekan tombol send, melempar hape ke bantal, lalu
mengambil tisu dan mengelap tumpahan milo.
‘Manalagi?’
notifikasi pop up muncul di bagian
atas handphone. Dari aplikasi yang
gue baru coba ini.
Oshit.
Gue menarik napas
panjang, lalu mulai mengetik.
‘Bukan.’ Tanpa
menunggu dia membalas, gue gempur lagi. ‘Mangga banyak bacot.’
Dia tertawa. Dan kita
membicarakan buah-buahan, tebak-tebakan tidak penting lain, tentang milo,
tentang lagu-lagu, tentang apa saja yang gue kerjain hari ini, tentang apa saja
yang dia kerjain hari ini, tentang gamau tidur karena besok harus ini dan itu.
Tentang gue yang sok bilang kalau baju bergambar Barney di profile dia lagi ada di jemuran. Tentang dia yang gue kerjain
karena harus mengecek jemuran malam-malam. Malam ini gue sadar kalau anak
kuliah sekarang dewasa banget. Malam ini gue sadar pergaulan gue zaman dulu
cupu abis, dan dia tertawa tiap gue cerita perbedaan-perbedaan ini.
Malam ini gue belum
tahu nama dia.
HARI KEDUA
Dia bangun lebih
dulu. Dia bilang, hari ini mau ketemuan sama dosennya. Gue bilang, hari ini mau
kerja aja. Mau ongkang-ongkang kaki lagi di kantor. Dia bilang, jangan gitu
lah. Gue tanya, memang kenapa. Dia tanya balik, emang ngapain ongkang-ongkang
kaki. Gue kirim voice note: “Gue gitu
lho. Ongkang-ongkang kaki ya gara-gara apa lagi coba? Herpes lah…”
Percakapan semalam
membuat pagi ini harus dikejar buru-buru. Siraman air shower, speaker yang bernyanyi sendiri di kamar,
laptop yang tidak sempat diambil dari tas, lampu flamingo yang gue biarkan
menyala. Gue memasuki hidup gue kembali. Jam istirahat, gue memindahkan earphone
dari laptop ke hape.
‘Hahahaha.’
Kayak gini toh
suaranya. Gue tidak fokus dengan apa yang dia katakan. Tidak fokus dengan di
mana dia mengirim rekaman suara kresek-kresek ini.
Gue mengetik, dan
selanjutnya dunia bukan lagi milik gue sendiri.
‘I...itu lo kesurupan
Joker apa gimana?’
Dia melempar tiga
emoji nangis ketawa.
Gue melempar gambar
kucing yang didandanin jadi Joker.
‘Payah deh tadi. Pak
Firman gak jadi dateng. Gue padahal udah bawa semuanya. Satu yang paling
penting: bawa mental. Eh, dianya malah gak ada. Mental gue drop benaran.’
‘Pak Firman Bokap
lo?’
‘Bukan lah. Dosen.
Kan pagi gue bilang mau ketemu dia buat skripsian.’ Entah kenapa gue suka
membaca huruf ‘a’ yang panjang dalam kata ‘dia’ yang dia tulis. ‘Nggak nyimak
nih. Dasar cowok.’
‘Kalo Bokap emang
namanya siapa?’
‘Hah? Bokap gue?’
‘Bokapnya pak
Firman.’
Dia lalu
ngata-ngatain gue. Setelah lima lembar hujatan, dia sebut juga, ‘Eko namanya.
Kenapa gitu?’
Gue lalu ngelamun
sendiri. Bagaimana kalau gue balas dengan ‘Gue juga nih. mentalnya drop kalo
ketemu pak Eko sekarang’. tapi tentu, dia gak bakalan paham karena lawakannya
udah jauh banget. Gue yakin dia malah hah, heh, hah, heh. Akhirnya gue bunuh
diri dengan bilang, ‘Oh Paket Pak Eko ya. Dulu ada lho, menu KFC namanya Eko.
Dan gue pikir Eko yang dimaksud adalah Eko Patrio.’
Dan dia ngeledekin
gue karena ngeledekin Bokapnya di hari kedua. Dan percakapan ini, tentu udah
gue edit biar lo enak bacanya. Aslinya, entah berapa enter yang dia pencet. Aslinya, entah berapa huruf vokal yang
ditulis dengan panjang. Aslinya, entah berapa backspace yang gue bantai gara-gara…
…men, lo tahu gak sih
perasaan gue sekarang?
HARI KETIGA
Tahu nggak apa yang
aneh?
Gue tidak mungkin
menjelaskan ini ke dia: ketika dua orang asing dari aplikasi baru yang gak
jelas ini, saling ngobrol tentang kehidupan satu sama lain, tapi gue sama
sekali belum tahu nama dia. Dua hari kemarin? O, gue selalu bisa ngeles dengan
sebutan bu, mbak, yang di sana, hei, atau kata-kata ekstrem kayak woy setan.
Gue juga nggak tahu kenapa dia mau-mau aja dipanggil begitu.
Bentar, mari kita
bermain tebak-tebakan. Dari foto nyengir di kosannya ini, dan dunianya yang
terlalu gaul, wajah kayak gini mungkin cocok punya nama Silvi, Tania, atau
bahkan namanya kayak anak indie zaman sekarang yang penuh dengan nuansa alam.
Biru, Laut, Banjir Bandang. Pokoknya gitu lah.
Tapi, gimana kalau
yang terjadi adalah sebaliknya? Cakep cakep gini, eh namanya Supriyati.
Panggilannya Yati. Begitu nenek-nenek, pas kumpul keluarga pada manggil, ‘Apa
kabar, Omayat?’
Nanya malah kayak
lagi kagum sama orang mati.
Ooo…mayat.
Belum siap gue.
Gimana ya cara
nanyanya?
Aneh nggak sih kalau
di tengah-tengah obrolan soal dia yang pengin jadi jurnalis gini tiba-tiba gue
nanya nama?
‘Komunikasi mah bisa jadi apa aja kali.’
‘Ya iya sih, tapi justru karena kebanyakan pilihan jadi
bingung. Kita semua bukannya gitu ya? Beda sama kayak lo yang dokter
hewan. Track-nya udah jelas banget.’
‘Tapi gue nggak jadi dokter hewan tuh.’
‘Ya itu kan lo aja nekat.’
‘Nekat sama bego beda dikit sih emang…’
Sebelum dia balas,
gue kirim beberapa chat tambahan.
‘Coba sekarang lo berkomunikasi sama gue.’
‘Iya gue tahu kita udah.’
‘Tapi gapapa.’
‘Maksudnya..’
‘Supaya lebih enak komunikasinya...’
‘Gue manggil lo apa’
‘Weeyyy brengsek dari kemaren ay oy ay oy aja.’
HARI EMPAT
Iya, gue tahu lo
ngerasa aneh. Ini aplikasi apaan sih? Sekarang, tulisan ini khusus buat lo yang
pada penasaran. Namanya Secret. Benaran beberapa hari lalu baru gue download. Sebenarnya, ini aplikasi chatting
kayak Whatsapp, atau LINE, atau email (Kalo ada di antara lo yang nge-chat pake
‘Yth gebetan saya di mana pun engkau berada… KENAPA??? KENAPAAA GAK PEKAA?!’).
Bedanya, orang-orang di sini semuanya anonymous.
Jadi, jauh, jauh lebih brutal dari aplikasi tadi. Di halaman depannya, bakalan
muncul berbagai curahan hati umat manusia. Mulai dari yang nanya cara putus
sama pacarnya yang suka gebukin dia, yang depresi karena orangtuanya ribut,
yang minta ditemenin belajar. Sampai yang random banget kayak minta kunci
jawaban ulangan.
Yang terakhir, gue
jawab aja: A B A B I B E L A J A R A N J E R.
Nantinya, ketika kita
menjawab curhatan ini, dan jawabannya “di-approve”
sama si pembuat status, baru kita bisa liat profile
picture-nya dia dan masuk ke mode chatting.
Grey? Tiga hari lalu
nanya gimana caranya biar bisa cepat ngerjain skripsi. Dan ketika jawaban gue
yang lo gak perlu tahu itu dia approve,
gue cukup kaget karena fotonya yang kayak gue bilang di awal cerita. Beneran
deh, susah ngungkapinnya.
Gue nulis ini aja
malah deg-degan sendiri.
Alay banget najis.
Udah ya. Kalau mau
nanya sesuatu, kirim email aja ke kresnoadidh@gmail.com.
HARI KELIMA
‘Ya ya ya, gue tahu
gue kurus kayak model miss universe, tapi tolong jangan di-judge,’ tulis gue
beberapa detik setelah ngirim foto.
Tentu aja, itu foto
lama.
Dan tentu aja, nasi
goreng yang gue beli sebelum sampai kos keburu beku kesemprot AC tanpa gue
sentuh karena menunggu reaksi Grey.
Dan gue berharap, dia
balas mengirim balik foto juga.
Nggak, men. Gue bukan
genit. Ini adalah teknik siap siaga. Siapa yang tahu kalau profile picture-nya palsu? Siapa yang bisa jamin, Grey, yang
matanya bulat, yang rambutnya nge-blur
karena gerak itu ternyata artis di suatu negeri luar sana. Siapa yang bisa
kasih kepastian kalau perempuan dengan wajah seperti ini, ketika ditelepon
nggak bilang, ‘Sawasdi, khap! Khap pun khap! Ikan kakhap?!’
Buyar sudah imajinasi
hamba.
Banyak kan kasus
kayak gitu. Si cowok udah jadian dari aplikasi kencan, udah ngarep ini dan itu.
Udah ngobrolin segala macam, pas ketemu ternyata mukanya kayak pepes tahu.
Aneh nggak sih cinta
itu?
Katanya lahir dari
perasaan. Katanya yang penting adalah saling nyambung satu sama lain. Katanya
pas tua nanti kita nggak bisa ngapa-ngapain selain ngobrol, tapi begitu sadar
kalau selama ini kita jadian sama pepes tahu, patah hati juga.
Dan gue nggak sudi
kalau Grey adalah pepes tahu.
Maka, ketika sembilan
belas menit kemudian dia muncul di Secret sambil ngirim foto, gue pengin
nabrakin diri ke Kopaja.
Mana ada segitu
kurus, dia bilang. Gue gatau nih gimana cara ngilangin chubby-nya ini, dia
bilang. Gue bilang, hmmm emang kayak bakpao sih. Dia bilang, sialan gue bunuh
juga lo hahaha. Dan gue pengin bilang, ayo, besok, ya, kita ketemu. Dan kita
hidup bahagia selamanya berdua. Otak gue ngaco abis.
Grey, ternyata emang
pepes tahu paling istimewa yang pernah gue temukan.
HARI KEENAM
Setahu gue, untuk
mengantisipasi bencana, kita harus menyiapkan satu koper yang berisi
barang-barang berharga. Entah itu ijazah kuliah, akta kelahiran, buku tabungan,
dan lainnya, dan sebagainya. Setelah beberapa hari ini, kayaknya gue harus menambah
isi koper itu deh.
Folder-folder google
drive di laptop gue tinggalin. Gue mengambil hape di samping botol minum,
membuka Secret, lalu screen capture
foto Grey yang kemarin dan foto profile-nya.
Lega.
‘Iya, nih banyak
banget kayaknya. Makanya dateng pagi. Rajin banget ya?’ Gue mengirim chat lewat
Secret.
‘Gue bahkan belum
mandi. Hari ini kerja kayak biasa atau ada hal lain yang mau dikerjain?’
Lo tahu, ini adalah
dialog paling umum yang dikeluarkan dua orang yang sedang berhubungan. Apa aja
kesibukan kita, mau ke mana, bagaimana hari ini. Pertanyaan yang bagi sebagian
orang membosankan, tapi buat gue, ini adalah cara untuk saling membuka lapis
demi lapis kehidupan orang sampai akhirnya gue mengenal dia. Hari ini gue tahu
dia punya temen namanya Tasha, beda jurusan. Teman sekelasnya ada banyak, yang
dia udah jarang ketemu, yang gue nggak terlalu peduli karena gue cuman pengin
dengerin dia cerita aja. Masa-masa kayak skripsian memang jadi masa di mana
kita butuh teman untuk ngobrol. Kelas udah nggak ada, teman mulai menghilang
dan sibuk dengan urusannya masing-masing. Apalagi untuk anak yang setiap hari
bolak-balik kampus rumah kayak Grey.
Buat dia,
keisengannya adalah nyanyi nyanyi gak
jelas. Buat gue, nyanyi-nyanyi gak
jelas adalah nyalain speaker dan
bikin gendang telinga kamar sebelah pecah. Penyanyi yang belakangan sering dia
dengar adalah Teddy Adhitya.
‘Di Secret ini bisa
telepon gak sih?’ tanya dia.
‘Wah, hamba juga newbie.’
Chat dari dia selanjutnya nggak gue balas. Gue langsung
mengotak-atik seluruh fitur di Secret. Settings,
tombol titik tiga di bagian chat,
halaman depan yang berisi status-status orang lain.
‘Kayaknya vn aja deh.
Kenapa gitu?’
Dia lalu mengirimkan voice note empat menit. Rekaman paling
panjang dalam sejarah kita sejauh ini. Gue mencolok earphone, lalu memejamkan
mata, membayangkan suasana tempat dia rekaman. Ada Why Would I Be yang
samar-samar mengalun di belakang, suara lemari yang dibuka tutup, lalu bunyi
dia menjatuhkan dirinya ke kasur.
Belum selesai
mendengar rekaman suaranya, gue balik ke laman chat.
‘Bikin vn-nya jangan
sambil salto gitu dong.’
Send.
Gue kirim gambar
kucing lagi terbang, lalu balik mendengar rekamannya.
...kok lo seberani itu sih cabut dari dokter
hewan? Gak pernah ribut dulu apa sama orangtua? Gue takut deh kuliah asal
kuliah. Gimana ya? Kalo pas wisuda Bokap nggak bangga? Atau malah, setelah
lulus, gue belum tahu mau ngapain. Gimana coba bilang ke orangtua kalau… gue
pengin time out dulu. Prit. Tapan, Sit. Tapan. Hahaha. Apa nikah aja gue sama
pejabat kaya?
‘Nah, ini nih enaknya
cewek.’ Gue mengirim rekaman balasan. Empat detik aja.
Dia membalas lewat chat, ‘Kenapa emang?’
Gue mengetik
buru-buru, biar kesan napsunya masih dapet. ‘Ya lo kalo stres tinggal berharap
dinikahin pejabat. Gue? Kalo gue stres terus pengin nikah, harus nyari duit
buat beli cincin kawin. Bukannya happy,
malah makin stres gue. Brengsek memang.’
Setelah sesi
hujat-menghujat, sesi mengirim gif dan meme dari Twitter, gue akhirnya menjawab
desakan pertanyaannya: tentang kenapa gue nggak jadi dokter hewan.
‘Nggak diterima?
Banyak saingan? Bukannya bisa buka praktek sendiri gitu gak sih dokter hewan?’
‘Ya… itu juga sih,’
Gue membalas (dan sebenarnya baru kepikiran). Bener juga si Grey. ‘Tapi, alasan
paling norak adalah… gue jijikan.’
Gue menjelaskan kalau
gue tidak bisa mencium aroma yang terlalu menyengat (makanya tiap boker gue
pingsan 20 menit). Belum lagi urusan perdarahaan dunia hewan. Ngebelek ini dan
itu. Nyuntik-nyuntik segala macam. Dan ini hewan gitu lho. Mana bisa gue
bilang, ‘Tahan bentar ya, Jing. Ini disuntik dulu.’ terus dia nurut gitu aja.
Ribet. Kalo baru ketemu dia langsung pengen gigit karena nyangka gue tulang
semua gimana?
‘EH ANJING! DIEM LO
NJING!’
‘KAING KAINNGG!!’
‘BACOT LO JING!
DUDUK!”
‘GUK!! GUK!’
‘EH, DOKTER JANGAN
KAYAK ANJING DONG NGOMONGNYA”
Hening.
Dan sisa malam itu
adalah dia yang mengulik tentang hidup gue lebih jauh.
HARI KETUJUH
Kemaren gue baca di
komentar, ada yang nanya kenapa gue nggak pindah aja ke Whatsapp. Supaya bisa
benaran mastiin Grey itu orang asli. Di sini gue kasih tahu ya. Pertama, ya,
benar. Pertanyaan anda sangat benar, wahai Sahabat. Kedua, udah, nggak usah
bacot. Gue juga bingung. Gue juga tahu kalau pindah aplikasi akan lebih aman.
Ketiga, lo pernah
makan es krim nggak?
Menurut lo, kenapa
makan es krim dijilat? Kenapa nggak dikunyah krauk gede-gede kayak makan
kerupuk? Jawabannya, selain nggak bikin gigi ngilu, juga karena ya enak aja.
Kita bisa lebih menikmati es krim dengan menjilat. Menikmati rasanya sedikit
demi sedikit.
Begitu juga gue.
Bayangin kalo lo jadi
Grey. Tiba-tiba ada cowok gak jelas, sok-sokan ngasih tips nyelesaiin skripsi
cepet, alumni dokter hewan yang kerjanya ongkang-ongkang kaki. Ngirim foto
duluan pula. Apa nggak merinding belakang leher lo?
Emang, sih, bisa aja
foto kedua Grey itu foto lama. Sama kayak yang gue lakuin. Atau malah foto
artis Thailand juga.
Tapi sekarang gue mau
ikutin kata hati gue dulu.
HARI KEDELAPAN
‘Si Juka udah berisik
aja jam segini. Ckckck.’ Gue membalas voice
note-nya. Padahal isinya dia protes karena semalam gue ketiduran. Berhubung
gue gatau harus bereaksi gimana selain minta maaf, dan berhubung di antara
suara dia ada meong Juka, gue balas gitu aja.
Wah, dia online.
Dia ngirimin foto
Juka lagi dipangku. Celananya biru. Celananya biru pendek. Dengan tali putih.
Gue bahkan nggak tahu apakah informasi ini penting buat lo.
Coba dong fotonya turunan dikit.
Backspace. Backspace. Backspace. Abort mission. Kayak mas-mas yang
suka komen di BIGO LIVE.
‘Ini kamu nggak tidur
apa gimana?’
‘Udaah,’ balasnya.
Lagi-lagi dengan ‘a’ dobel. Sialan. Masih pagi udah diserang perasaan begini
aja. Gue selalu suka dengan cewek yang mengakhiri chat dengan tanda titik.
Kayaknya dia disiplin, tegas, tapi di sisi lain juga manja. Oh Tuhan, betapa
sotoynya orang yang lagi naksir.
Iya, gue sadar ini
baru seminggu gue kenal Grey. Gue nggak punya nomornya, nggak tahu medsosnya,
nggak tahu alamat tempat tinggalnya, nggak tahu “siapa” dia.
Sisi baiknya, tadi
malam gue udah coba search dua fotonya ke google image search. Hasilnya? Nggak ada. Internet nggak punya data-data
soal foto dia. Dan ini bikin gue tidur sambil meluk guling erat-erat.
Di Secret, dia lagi
bawelin gue soal pentingnya sarapan sebelum minum kopi. Gue jawab, makanya
ngekos. Karena gue lagi menghayati jadi anak kos seutuhnya. Lalu dia melempar
emoji cemberut mengeluarkan asap dari hidung. Ekspresi yang, gue harap bisa
melihatnya langsung di wajahnya.
‘Coba deh kamu
begitu.’
‘Begitu gimana? Ini
aku beneran lho. Jangan dianggap bercanda.’ lalu diakhiri emoji yang sama lagi.
‘Nah, iya kayak gitu.
Kayak emoji itu. Baru deh aku gak jadi ngopi.’
Gue mengirimkan chat angka-angka
hitungan mundur, lalu mematikan dispenser dan mengambil handuk di jemuran. Gue
juga penasaran, Grey pake sihir apa sih sampai gue begini. Gue kemudian
menyetel lagu Teddy Adhitya, dan meletakkannya di sebelah pasta gigi. Salah
satu indahnya dunia kos: nggak ada yang bawel ketika kita bawa hape ke kamar
mandi.
Selesai mandi, gue
nggak bisa napas.
Grey benaran ngirim
foto.
Di depan cermin dia
mengangkat Juka. Baru kali ini gue iri sama kucing. Gila, gue nggak tahu mau
nulis apa untuk mendeskripsikan dia. Grey ya tetap Grey yang dari awal gue
tulis. Kalau pun ada orang yang nanya, ‘Grey tuh yang mana sih? Gue mau balikin
buku’ ya gue pasti jawab yang rambutnya pendek. Udah. Kali ini bajunya jenis
berkancing, gue gak tahu jenis-jenis baju. Warnanya krem, atau putih, atau
cokelat muda, pokoknya itu lah. Mungkin ini adalah jawaban dari pertanyaan es
krim kemarin. Kalau gue tahu semuanya, pasti gue udah ngubek-ngubek seluruh
medsosnya. Udah tahu cerita-cerita lamanya tanpa dia cerita. Udah liat foto
yang di-tag teman-teman kampusnya. Liat cara dia bikin story di Instagram. Tahu
apa yang dia suka dari omongannya di Twitter. Dan dengan cara itu, gue nggak akan
bisa benar-benar menikmati rasanya.
Maaf ya Grey, lama
balesnya.
Mau kirim foto juga,
tapi ngerasa nggak ada yang layak untuk dikirim.
HARI KESEMBILAN
Sepulang kantor gue
baca di salah satu artikel katanya, kita akan terbiasa melakukan suatu hal
kalau sudah melakukannya 21 hari berturut-turut. Sekarang baru hari
ke-sembilan. Setengah juga belum. Masih sangat jauh untuk melanjutkan step dari sekarang.
‘Pantes ya aku gak
fokus skripsinya? Baru tiga hari udah K.O. Auto jadi sobat rebahan.’ Grey
bilang setelah gue menceritakan hal yang barusan.
‘Nikmatilah, kawan.
Kamu gatau betapa kangennya aku sama tidur siang,’ gue bilang gitu. Ini dari
hati banget sih. ‘Kemaren gimana abis dicorat-coret Pak Firman? Bentar ya, aku
ambil minum dulu kalo-kalo kamu emosi aku bisa sambil minum.’
‘Katanya kurang
dalem. Auk deh apanya yang dalem.’
Gue melihat
tanda-tanda kegelapan di tulisannya. Dia pasti tahu apa yang dimaksud Pak
Firman, tapi males cerita hal yang bikin dia bete. Maka gue belokin ke, ‘Kamu
suka dateng ke acara konser musik gitu nggak sih? Bulan depan bukannya ada
Synchronize Festival ya?’
‘Nggak begitu sih.
Sebetulnya, aku aja baru 2 kali ikut festival musik. Yang pertama tahun lalu,
sama temen berdua. Yang kedua, beberapa minggu lalu. Aku nonton Didi Kempot! Hahaha.
Itu bukan festival musik sih ya. Gara-gara deket aja dari rumah, dan anak
kampus pada ngajakin. Jadi ya udah deh. Jadi sobat ambyar. Kalo kamu gimana?
Weits, bentar. Aku tebak ya. Pasti kamu tipe yang suka beli di tiket presale
ya? Soalnya kan waktu itu kamu aja nyebut band yang aku nggak tahu. Apa
namanya? Rex Orange Country? Sama Rich.. Rich Hina? Enaknya yang udah punya
penghasilan sendiri.’
Gue cuma ketawa
sendiri. Malas ngetik panjang, gue merekam suara, ‘RICH CHIGGA WEEY. ATAU RICH
BRIAN. ORANG INDONESIA ITU. Sama Rex Orange County, bukan Country.’
Gue lalu menjelaskan
bahwa gue tidak pernah menonton konser musik sebelumnya. Buat gue, lebih asyik
menonton konser lewat Youtube sendirian di kamar. Performernya bisa keliatan
jelas, bisa joget-joget juga. Dan lebih aman. Atau dengan kata lain: gue takut
ketabok orang moshing.
‘Kenapa harus bingung
si tempat rame? Aku pikir yang gitu-gitu cuma ada di internet aja.’
‘Gitu-gitu
maksudnya?’
‘Iya, tipe orang yang
kamu bilang tadi. Yang lebih seneng sendiri, takut dan canggung ke tempat
ramai. Hobi baca buku, tapi nggak begitu suka baca buku sastra, karena kenapa
tadi kamu bilang?’
‘Aku bego.’
‘Nah iya kamu bego.’
‘Ini kamu mau cerita
apa mau ngatain aku sih?’
‘Hahaha. Bukan aku
yang bilang ya.’
Lalu dia melempar
emoji lidah melet.
Lalu gue pengin
bilang, coba kamu kayak emoji itu deh, tapi nggak jadi. Kayaknya dia bakal chat
panjang.
‘Iya, aku kira orang
kayak gitu nggak benaran ada di dunia nyata. Masa sih ada orang yang takut
ngumpul, secara kan kita makhluk sosial gitu lho. Enak banget malah, bisa
melepas penat. Aku kalo stres skripsian, pasti nge-chat temen. Kalo ada yang
sama-sama stres ngumpul deh. Berbagi keluh kesah. Berteman dalam duka dan duka
(lho?). Gara-gara kamu nih, aku jadi ngaco gini.’
‘Apa bedanya ketemu
ngobrol dan ngobrol kayak gini? Selain kalo kamu ketawa, kamu bisa mukul orang
di sebelah.’ Gue membuat susu hangat, menyalakan lampu tidur, menyambungkan bluetooth ke speaker dan memainkan lagu acak.
‘Lho, kok tahu sih?
Hahaha. Aku beneran gitu tahu. Temenku tuh sering jadi korban dan protes.
Untung kamu nggak ada di sini. Bisa babak belur aku pukulin terus tiap kamu
ngelawak. Eh, kamu udah jadi beli galon?’
‘Juka apa kabar?’
‘Tuh, lagi main sama
si adek.’
‘Udah tadi. Sekarang
punggung aku encok kayaknya nih.’
‘Aku bilang juga kan
kamu pindah aja ke lantai satu.’
‘Nggak mau ah.’
‘Kenapa sih?’
‘Males aku jadi yang
pertama buat kamu.’ Sebelum dia merespons, gue gempur duluan. ‘Eanjaaay. Alay.’
Dia cuma ketawa aja.
HARI KESEPULUH
‘Iya, waktu itu aku
udah keburu tidur padahal,’ tulisnya. ‘Kaget aja sih. Soalnya emang nggak
pernah dikasih surprise gitu. Dianya kan juga lagi di Jakarta. Mana rame-rame
sama anak SMA. Kata Adek aku, awalnya dia dengar suara Dita manggil dari luar.
Terus nggak lama banyak motor klakson-klakson. Keluar lah si Bapak. Diomelin
dong. Mungkin mereka mikir aku yang bakal keluar duluan. Eh, ternyata salah.
Akunya udah terkapar kayak kebo.’
‘Itu mereka rame-rame
bawain apa?’
‘Bawa kerusuhan
doang. Hahaha.’
‘Romantis versi kamu
unik juga ya...’
Dia melempar satu
emoji nangis ketawa besar.
‘Hmmm.’
‘Ya abis emang nggak
pernah ngerayain ulang tahun juga kan sebelumnya. Makanya kaget digituin.’
‘Hmmmmmm.’
‘Ih bener tahu.’
‘Hmmmmmm.’
‘Ih jangan hmm hmm
gitu. Sekarang gantian. Pengalaman kamu diromantisin kayak gimana?’
‘Nggak ada sih.’
‘Hmmmm.’
‘Jangan ngebalikin
wey!’
Gue melempar satu
emoji nangis ketawa besar.
Gue lalu menekan
tombol record dalam aplikasi Secret. ‘Selama ini, jarang ada orang yang tahu
aku suka main yoyo. Maksud aku, temen-temen aku tahu aku suka yoyo, tapi di
antara mereka nggak ada yang main. Teman main yoyo aku cuma di komunitas aja,
dan itu nggak banyak yang jadi temen deket sampe sekarang. Lalu ketika si
perempuan ini inisiatif nanya-nanya soal yoyo, menurut aku itu seru banget. Dia
maksa aku buat bongkar koleksi yang nggak pernah aku mainin lagi sejak SMP. Dia
nanya kapan aku beli yoyo pertama, gimana cara mainnya. ‘Dan pas ulang tahun,
aku dibeliin mainan yoyo. Iya, benaran mainan yang dijual di toko mainan anak
kecil. Tujuh belas ribu lima ratus. Bahkan tulisannya masih nempel di kotaknya.
Yoyonya sih aku jadiin pajangan aja, karena emang susah mainin yoyo itu.’
‘Itu mah lebih gembel
dari aku!’
‘...kalo
dipikir-pikir bener juga sih.’
HARI KESEBELAS
Mantannya Grey cuma
satu.
HARI KEDUA BELAS
Hari ini Grey baru
bales chat gue malem. Menurut lo
gimana? Apa gue minta nomor hape-nya aja?
HARI KETIGA BELAS
Kacau kacau kacau.
Semalem gue ketiduran lagi. Parah banget nih. Banyak yang bilang kalau anak kos
identik dengan insomnia. Tapi kok gue nggak ya? Ya ngapain lagi coba di kosan.
Kegiatannya kan itu-itu aja. Mandi, makan, buka hape atau laptop. Itu aja
sambil tiduran karena gue pegel seharian duduk di kantor. Orang yang terbiasa
insomnia ini ngapain aja sih kalo di kosan? Menanam wortel?
Anyway, ternyata Grey
kemarin sibuk ngurusin skripsi seharian. Dia harus ke Pak Firman, balik ke
rumah, ke percetakan lagi, ke kampus lagi, lalu lanjut ke rumah temennya. Baru
sampai rumah malem dan kirim Secret ke gue.
Hari ini juga dia
masih sibuk. Seharian di kampus bawa laptop. Biar selesai bimbingan langsung
dibenerin.
Ini udah pukul
delapan aja belum pulang.
Sungguh tekad anak
muda zaman sekarang memang luar biasa.
HARI KEEMPAT BELAS
‘Bangga aku nih sama
kamu. Terlalu rajin memang.’
Gue melempar gif
kucing ngetik.
‘Iya kali ya? Makanya
ini bangun siang. Kamu pasti udah di kantor ya. Temen kamu masih ada yang cuti?
Jangan ngopi dulu sebelum sarapan ya.’
Gue memasukan sumpit
beserta mie ayam ke mulut. Gelas kopi di depan masih kosong. Setelah jalan ke
dispenser dan mengisinya dengan air putih, gue balas, ‘Yah, udah terlanjur
ngopi nih.’
‘Dasar bandel. Aku
bilang kan jangan! Awas lho. Ini aku mandi dulu.’
Dia melempar foto
Juka yang lagi duduk di kasur.
‘Meong Meong... Meong
meong meong...’ gue mengeong pake nada Indonesia Raya.
Temen sebelah gue
nengok. Ekspresinya kayak lagi ngeliat orang berak di meja.
HARI KELIMA BELAS
<3
HARI KEENAM BELAS
Entah kenapa gue suka
cara Grey ngedumel di voice note.
Kadang dia gatau tempat dan mencerocos sesukanya. Diawali dengan ‘Kamu tahu
gak…’ lalu merembet ke mana-mana. Kadang di sebelahnya ada panggilan, ‘Yo,
ojek, neng! Ojek!’ Kadang sepi, kadang napasnya terdengar ngos-ngosan, kadang
lagu-lagu yang dia putar di kamar menjadi soundtrack ocehannya. Salah satu
keuntungan berparas cantik: kalau cuek, orang pun akan menganggap santai. Kalau
gue di pangkalan ojek ngedumel sendirian, bisa-bisa si abang ojek tersambar
amarah dan melindas jempol kaki gue.
‘Dilan gatau aja,
yang lebih berat tuh ngerjain skripsi dibimbing Pak Firman.’
Gue bales kirim voice
note, ‘Sekali-kali kamu kalo ngedumel nyetel musik instrumental dong.’ Gue diam
sebentar, lalu melanjutkan, ‘Nanti jadi kayak nge-rap gitu.’ Gue lalu menirukan
suara saxophone, lalu ngedumel.
‘Aku kesal skripsi
direvisi.. yow yow... aku pun pulang… untuk merevisi...’
Gue emang gak jago
bikin rima.
‘Males ah kirim voice
note ke kamu,’ kali ini dia memutuskan untuk nge-chat. Mungkin trauma.
Gue menarik napas
panjang. ‘Tapi aku suka.’
Kirim. Panik. Balikin
handphone. Putar Spotify dari laptop,
ambil snack dari lemari. Kampret,
gini amat sih ngekos. Mati gaya kalau nggak ada hape. Bunyi notifikasi Secret
terdengar dua kali, tapi gue menggasak oreo di meja. Kencing, lalu minum, lalu
makan oreo lagi, lalu ngaca, lalu benerin rambut. Kaos hitam luntur dan celana
pendek. Matiin lampu di sebelah lemari. Dansa, lalu lompat ke hape di karpet.
Senderan ke kasur.
Bismillah…
‘Ah masa?’ tanya
Grey. Iya, cuma dua kata yang diakhiri tanda tanya. Tapi tiga huruf ‘a’ di bagian
‘masa’ membuat gue jumpalitan. Gue naik ke kasur. Sujud sukur. Kepala gue
mendem di bantal.
‘Ngomong-ngomong kamu
udah main Secret berapa lama?’
‘Belum ada dua bulan
kok,’ tulisnya. ‘Aku sebetulnya takut main aplikasi baru kayak gini. Apalagi,
orang-orangnya anonymous semua. Kamu tahu, kan, aplikasi kayak Twitter dan
Instagram aja banyak orang yang bisa malsuin identitas orang, gimana Secret?
Tapi, aplikasi ini bikin aku sadar sih. Jadi, begini, toh, isi hati orang yang
mereka nggak sanggup ngomong ke orang di luar. Kadang aku ngeliatnya agak
gelap.’
‘Gelap gimana?’
‘Coba aja kamu buka homepage. Itu, status yang ketiga dari
atas.’
Gue menuruti apa yang
diminta Grey. Di sana tertulis:
“Lo pernah nggak sih ngerasa kecewa dan nyalahin diri lo
sendiri? Sampe ngerasa diri lo nggak berharga banget di mata orang lain?
Ngerasa useless. Ngerasa mau mati aja. Gimana sih caranya ikhlas?”
Gue hanya menelan
ludah, lalu kembali ke chat room.
‘Aku bisa ngerasain
lho, betapa sedihnya hidup orang ini. Mungkin di dunia nyata dia nggak punya
orang yang bisa dipercaya untuk ngomongin betapa kecewanya dia. Mungkin masalah
orang ini terlalu berat. Atau mungkin, karena, kamu tahu, kan, kebanyakan orang
kita cuma iya iya aja biar cepet ketika ada orang yang mau beneran curhat.
Nggak sepenuhnya peduli sama orang lain? Emang, sih, pada akhirnya kita yang
harus bikin hidup kita happy. Kita yang harus ngerti dan care sama diri
sendiri. Tapi, ketika kita punya beban itu, dan kita harus ngerjain aktivitas
mekanis kayak kerja, atau kuliah, itu serem nggak sih? Pada akhirnya, Secret
jadi tempat mereka untuk, paling nggak, bisa ngeluarin itu dan ngerasa bebas.’
Gue nggak tahu harus
membalas chat Grey kayak gimana.
Benar juga sih. Gue
jadi ingat make happy, sebuah pertunjukkan stand
up comedy-nya Bo Burnham. Dalam pertunjukkan itu, seolah Bo mau ngasih tahu
kalau ini kan yang lo mau? Jadi happy,
tanpa peduli gue jadi gimana? Tanpa disadari penonton, Bo tidak sedang happy.
Bo tidak bisa meng-handle perasaannya
yang dituntut untuk terus menyenangkan penontonnya. Kalau di sinetron-sinetron,
ada satu bagian di mana cewek yang disakiti bakalan bilang, ‘INI KAN YANG KAMU
MAU? PUAS KAU?! PUAS, PEREMPUAN JAHANAM!!!’
‘Kamu sendiri pernah
make Secret untuk itu?’ Akhirnya gue beraniin diri untuk nanya.
‘Maksudnya?’
‘Ya, untuk, yang kamu
bilang tadi. Ngeluarin beban yang nggak bisa kamu buang di dunia nyata.’
‘Nggak pernah sampe
kayak orang itu sih. Untuk takaran aku, minta tolong orang asing buat
nyemangatin biar skripsinya cepat selesai aja udah aneh. Ya, tapi, kan, takaran
tiap orang beda-beda.’
‘Aku kalo lagi
belanja di Carrefour terus tiba-tiba ada yang nepok bilang, “Mas, bantuin
skripsi saya dong.” juga bakalan aku sabet pake kangkung sih...’
HARI KETUJUH BELAS
‘Tebet itu di mana
sih?’
Baru aja mikir kalau
hari ini adalah hari yang pas untuk pindah ke aplikasi lain, dia udah nanya gue
tinggal di mana duluan. Emang, deh, kalo jodoh nggak ke mana. Apa gue tanya
terus langsung samperin nanti malem ya?
‘Itu lho. Masa kamu
nggak tahu? Keren deh. Tempat yang kalo dibalik sama aja.’
‘Hah?’
‘Tebet. Dibalik
tebet.’
Dia menggulingkan
tiga titik.
‘Di Jakarta Selatan,
dekat Pancoran.’ Malas menjelaskan lebih detail, gue berdalih. ‘Di sini nggak
bisa share loc sih. Emang kenapa, Grey?’
‘Oh di Jakarta ya.’
‘Sebentar, emang kamu
di mana?’
HARI KEDELAPAN BELAS
Apa yang salah sama
Jakarta?
Udah malem gini dan
gue masih nggak dapat kabar sama sekali dari Grey. Bangsat. Kenapa gue mendadak
takut? Dia di mana sih? Gue buka seluruh chat dia. Gue screen capture semuanya.
Totalnya 331, lengkap dengan Juka dan foto gue. Rekaman suara nggak bisa di-save.
Tai.
HARI KESEMBILAN BELAS
</3
HARI KEDUA PULUH
Mendekati pukul satu
pagi. Entah udah berapa kali gue muter Why Would I Be di kos. Mungkin Teddy
Adhitya-nya aja udah bosen nyanyi itu mulu. Di kantor tadi, temen ngeliatin gue
kayak ngeliat orang yang lagi berak di atas meja… tapi masih pake celana.
Banyak yang komentar kalau Grey nggak tinggal di Jakarta. Banyak yang bilang
“Mungkin dia trauma LDR, Bang.” beberapa menyalahkan gue yang “Kelamaan nggak
pindah aplikasi”.
Gue cuma tahu nama
dia Grey.
Semua fotonya yang
dia kirim benaran baru diambil dan itu nggak ada di internet. Seharusnya gue
minta foto lama aja. Sekarang gue nggak tahu harus bangga atau kecewa sama
foto-foto itu. Dan iya, beberapa komentar juga bilang kalau nama “Grey” terlalu
umum dan kurang Indonesia. Terus gimana? Gue harus nyari cewek yang namanya
Supriyati aja?
Fuck you and all of
your comments.
Gue mau tutup aja
kolom komentarnya.
Masa dia segitu
sensitifnya sama Jakarta?
Gue bahkan belum tahu
nomor teleponnya. Belum tahu siapa dia versi dunia maya. Belum pernah liat
adeknya.
Tahu apa yang paling
menyebalkan dari ini semua? Ketika seharusnya besok menjadi hari di mana gue
terbiasa dengan kehadiran dia. Dan itu nggak akan terjadi.
Karena hari ini dan
sebelumnya, dan sebelumnya lagi, dan sebelum sebelumnya lagi, gue juga udah
terbiasa.
Ternyata segitu nggak
siapnya manusia kehilangan sesuatu,
yang bahkan belum
kita punya.
Gue buka Secret. Di
bagian homepage, gue tulis status,
“Grey, where are you?”
HARI KEDUA PULUH SATU
Baterai handphone gue lowbat ketika paginya gue dapat Secret dari Grey. Dia kaget karena
gue sampai bikin status pakai namanya. Sekarang gue tahu, namanya benaran Grey.
Dia udah ngasih tahu siapa nama aslinya, dan gue pun begitu. Dia juga ngasih
tahu alasan kenapa tiba-tiba menghilang. Dan ada beberapa komentar yang bener
tentang ini. Dia nggak mau ngejelasin ini pakai voice note karena suaranya
serak. Pelan-pelan dia cerita, dan gue juga nggak bisa apa-apa karena gue bukan
siapa-siapa.
Gue mengirimkan
beberapa foto situasi kosan yang berantakan gara-gara dia. Dia cuma ketawa, dan
mengirimkan kondisi kamarnya yang gak beda jauh. Kali ini, gue berdiri di depan
kaca, membombardirnya dengan foto-foto baru tanpa mikir mana yang lebih bagus,
dan mana yang harus di-edit terlebih dahulu.
Di akhir foto, gue
memberikan tiga kata.
Dia membalas dengan
foto yang tetap cantik tanpa effort, meski matanya sembap.
Di fotonya, dia
melampirkan empat kata.
Terima kasih sudah
menjadi rahasia di dua puluh satu hari gue.
Anjinglah keren banget!
ReplyDelete