Momen fucked up-nya
adalah ketika kita bangun dari kasur, pikiran kusut, seakan tidak tahu mau
melakukan apa, tidak punya tujuan hidup, dan jauh, di dalam kepala kita, saat
itu kita merasa sedang terkurung.
Mari kita tunjuk corona
sebagai biang keladinya.
Semua percoronaan ini
membuat satu roller coaster besar di hidup kita. Ada saatnya gue merasa ini
jadi tempat merayakan diri di dalam markas. Dengan semua kesoliteran ini. Dengan
semua kebebasannya, keterpisahan, semua jarak di antara setiap orang. Ada
saatnya gue merasa ini menjadi momen ternyaman karena tidak perlu berdekatan
dengan siapa-siapa. Namun, ada saatnya gue merasa ini semacam penjara. Dikurung
dalam sebuah ruangan kecil penuh ketidakpastian, sementara pikiran berkeliaran
sendirian.
Kemudian kita jadi
sadar: dalam hal-hal sepi, suara kita selalu jadi yang berteriak paling
lantang. Terkadang itu membuat kita jadi lebih mengenal diri sendiri. Mengobrol
dalam hati, memikirkan hal-hal yang tidak bisa dibicarakan orang lain. Tetapi,
di waktu yang lain, ia bisa jadi pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan. Atau
sekadar pikiran gelap yang diam-diam mengerogoti diri kita.
Situasi saat ini
membuat akhir pekan terasa tidak sama lagi. Hari-hari bebas justru membuat kita
berpikir lebih keras tentang hal-hal apa yang harus kita lakukan. Musim kemarau
tidak sama lagi. Jam kosong tidak sama lagi. Mungkin ini menyadarkan gue bahwa
sebetulnya gue tidak sesuka itu dengan kesendirian.
Setiap dari kita pun
berusaha mencari pelariannya masing-masing. Ada yang memasak; membeli bahan
baku, mencincang daging, mencuci sayur, mengiris bawang, menuangnya ke
penggorengan. Bunyi minyak panas, aroma bawang setengah gosong, asap yang
memenuhi dapur, kita jadi menikmati prosesnya. Ada yang berkebun. Memesan
benihnya di toko online, mengeruk tanah, memegangnya, menggenggamnya, meliatkannya,
mengisi pot demi pot, menusukkan jari telunjuk untuk membuat lubang, memasukkan
benih, menyiramnya setiap pagi dan sore. Tiap pagi dan sore. Melihat daunnya
hijau dan kecil, dan hijau dan kecil dan basah. Kita jadi menikmati prosesnya. Kita semua mencari kebahagiaan-kebahagiaan
kecil dari keterpisahan ini.
Gue? Udah banyak hal
random yang gue lakukan untuk menghibur dan mengisi waktu. Mulai dari beli
kamera analog dari Febri, bikin akun youtube dan belajar membuat video, mainan
Tiktok, menanam sayuran, memasak, mengecat rambut (yes, you read it), sampai memotret
di tempat-tempat yang tidak banyak manusia.
Lalu, pada momen itu
gue melihat semuanya.
Mobil-mobil di jalan
raya. Penjual sekoteng. Orang-orang bermasker. Para pesepeda itu. Lampu lalu
lintas. Dedaunan yang bergoyang. Layang-layang yang mengudara. Awan yang
bergerak. Air danau yang bergemericik. Dan gue yang duduk sendirian. Gue
menarik napas, menyesap kopi yang gue bawa dari rumah.
Kenyataannya, apapun
yang ada di dalam kepala gue, semua kekhawatiran ini, bumi akan tetap bergerak. Dan paling tidak, itu memberitahu gue bahwa semuanya baik-baik saja. Situasi sekarang banyak melahirkan patah hati, tapi kita perlu bertahan.
Situasi sekarang banyak melahirkan kekacauan. Di dalam pikiran, dalam
tembok-tembok sempit kos-kosan pinggiran Jakarta. Dalam bangsal-bangsal rumah
sakit. Tapi kita perlu bertahan. Momen ini akan mengubah banyak hal, tapi kita
perlu bertahan.
Lucu bagaimana makhluk sekecil
itu bisa berpengaruh sangat besar. Orang-orang berdebat, terpecah belah, manusia
jadi sensitif. Tapi, biar bagaimanapun, kita perlu bertahan. Bayangkan orang yang pertama kali menemukan cara berpelukan. Mereka mencoba berbagai cara; menempelkan sikut, mengaitkan kaki, saling menggesek ubun-ubun sampai akhirnya... ah. kita coba tempelkan saja badan kita sambil saling mengusap punggung. Lalu otak melahirkan dopamin yang membuat kita bahagia.
Lalu, bayangkan pencarian-pencarian itu terjadi lagi karena situasi sekarang. Cara kita mengirimkan afeksi dari jarak jauh. Paling tidak, di kepala gue sendiri, percobaan-percobaan itu menimbulkan sedikit tawa.
Karena kita cuma perlu
bertahan. Pelan-pelan saja. Satu tarikan napas, rasakan. Lalu satu tarikan
napas lagi.
Mengirimkan afeksi dari jarak jauh hanya efektif pada awalnya. Seiring berjalannya waktu, efektivitasnya akan berkurang lalu hilang karena tetap tidak bisa mengalahkan sentuhan fisik, bagaimanapun.
ReplyDeletePernah bangun tidur tahu-tahu nangis selama pandemi ini. Awalnya enggak tahu apa sebabnya. Mimpi buruk? Mungkin. Tapi akhirnya gue tahu satu hal: semua pikiran yang kian memburuk dan menghasilkan mimpi buruk ini menumpuk sejak adanya Corona. Tadinya biasa berbagi hal remeh dengan ketemu beberapa teman dekat, sialnya sekarang terhalang. Komunikasi via pesan instan atau medsos belum seampuh pertemuan langsung.
ReplyDeleteTapi gue enggak punya pilihan lain selain menjaga jarak. Lebih sering di rumah aja sekalipun bosan mampus.
Mana di medsos juga ribut-ribut melulu. Bingung cari pelarian dunia nyata ke dunia maya sebelah mana selain nonton konser-konser di Youtube, atau nonton anime.
Gue enggak mau mikir yang terlalu berat dulu terkait apa pun, khususnya pertumbuhan ekonomi dan karier. Yang penting masalah makan dan tidur bisa tetap tercukupi. Bisa tetap bertahan hidup tahun ini.
Semoga kita semua sehat-sehatlah ya. Aamiin.
Aku menikmati masa corona ini, bisa dibilang 90% lah. 10% nya masih menyisakan ingin main ke pantai atau pergi ke kos an adek di Malang, atau sesimple ke gramedia dan makan sendiri di tempat makan favorit.
ReplyDeleteTapi sebagai manusia, kita kan yang harus menyesuaikan? Karena waktu terus berjalan dan bumi tetap berotasi, mau nggak mau kita yang harus mengentas kekhawatiran kita sendiri. Ada rencana-rencana besar, tapi harus ditunda, yaudah.. pergi diskusi lagi dan mencari jalan tengahnya sama yang bersangkutan, biar atinya sama-sama tenang.
Biar makin sehat jasmani dan rohani, sebisa mungkin konsumsi berita dibatasi dan konsumsi segala pertikaian sosmed juga begitu. Aku mulai rajin menggerakkan tubuh, walaupun niatnya bukan olahraga, tapi gara-gara pandemi jadi sering ngedance. Lumayan berat badan masih stabil karena g kebanyakan diem sama makan doang.
Semoga kamu yang di sana sehat beserta keluarga, aamiiin..
Baru mampir ke tempat lo lagi nih Di, ternyata tampilan blognya udah ganti ya. kece! keep save and stay health buat lo dan keluarga yak~
ReplyDeleteLucu bagaimana makhluk sekecil itu bisa berpengaruh sangat besar. -> bener. banget. gue baca bagian ini sampe berulang2 :(
Bagian "Lucu Bagaimana makhluk sekecil itu bisa berpengaruh sangat besar." hits really hard hahaha. Enggak pernah kebayang sebelumnya, bakal sampai di situasi begini, di mana makhluk sekecil yang bakal enggak bisa kita lihat saking kecilnya, bisa menjungkirbalikkan hidup banyak orang. Mau bilang dinikmati aja, tapi yaaa selama ini juga bisa apa selain menikmati sampai mual? Hahaha.. Stay health, semoga semua ini segera berlalu :)
ReplyDeleteUdah lama gak balik kesini. Nyari tulisan baru ternyata belum ada lagi. Gak apa, tulisan lama masih bisa dibaca dan masih ninggalin kesan yang sama (((:
ReplyDeleteMemang si Coro satu ini betul-betul mempengaruhi hidup setiap lapisan umat manusia, mas Adi ~ saya sampai pusing sendiri dibuatnya hahahaha. Dari yang awalnya berusaha menerima, menjalani dengan lapang dada, kemudian di tengah-tengah menjadi kesal karena kok nggak sudah-sudah plus bertanya, "Kapan hilangnya nih si Coro satu?" sampai akhirnya sekarang berada pada mode pasrah dan berusaha menjalani hidup serta menikmatinya day by day agar tetap waras :D
ReplyDeleteMas Adi semoga dalam keadaan selalu sehat meski sudah lama nggak update blognya :)