Seperti halnya penulis cupu lain, setiap tulisan pertama yang kita
buat adalah sampah. Atau mengutip bahasanya Hemingway: “Every first draft of
anything is shit.”
Gue adalah salah satu orang yang percaya kalimat itu. Draft tulisan
pertama seorang penulis hanyalah tumpahan isi pikirannya aja. Dalam bab Kertas
di Dalam Amplop, misalnya. Gue melakukan pengeditan ulang sampai 4
kali sebelum akhirnya memutuskan untuk “yak, kayaknya ini udah lumayan”.
Di hari yang baik, pengeditan mungkin hanya dilakukan untuk
mengubah diksi, atau penambahan unsur komedi, atau penggantian cara penyampaian.
Di hari yang sial, seorang penulis bisa saja membaca ulang tulisannya, memblok
beberapa halaman penuh kemudian menghapusnya gitu aja. Triska Idekaman,
misalnya. Dalam pembuatan buku Cadl, dia menghapus 50 ribu kata tanpa belas
kasih.
Sungguh kejam memang kehidupan seorang penulis.
Dalam bab Kertas di Dalam Amplop, hal ini juga terjadi. Meskipun
nggak segila itu, tapi ada satu halaman yang gue buang. Halaman ini awalnya
ditujukan untuk memberitahu kondisi gue saat pertama kali masuk di start
up itu.
Ini dia halaman yang hilang dari Bab Kertas di Dalam Amplop:
--
Sejak kuliah, gue selalu mengidamkan ruang kerja yang ada biliknya.
Entah otak gue terpengaruh film apa, tapi rasanya seru aja punya tempat kerja
yang dipisahkan bilik-bilik. Kita bisa menghias meja kerja sendiri. Kalau mau
komunikasi pun tinggal datangin bilik rekan kerja tanpa harus menjadi pusat
perhatian. Beda kalau kita bekerja di tempat terbuka. Semua gerak-gerik kita
akan terlihat. Apalagi kalau kerja sambil pantomim
Sialnya, gue nggak pernah mendapatkan kesempatan itu. Ruangan
tempat gue bekerja adalah ruangan yang biasa aja. Cuma ruang dengan meja-meja
besar dan kursi hitam yang enak disenderin.
Pertama kali masuk ke ruangan, posisi di bagian ujung penuh.
Sementara meja di dekat pintu masih kosong. Jadi masih sisa 6 orang? Hmmm. Yang
datang siang pasti duduk dekat pintu, biar nggak ribet, pikir gue.
Gue menoel perempuan yang belakangan gue tahu namanya Tia. Dia
berkerudung dan kacamata dan anak magang RESPEK banget sama dia.
“Mbak,” gue menunjuk bagian meja yang kosong. “Di situ kosong, kan,
ya?”
Dia menatap mata gue. Lalu balik ke layar laptopnya kayak nggak ada
yang terjadi.
RESPEK, BOS!
Dengan penuh kepercayaan diri, gue jalan ke meja itu. Membuka tas
dan keluarin laptop. Anto, orang yang kerja menggunakan komputer, menyetel
video dengan suara kencang. Kayaknya lagi meriksa video. Sementara yang lain
terlihat sibuk sendiri di depan laptop.
Sementara gue bingung mau ngapain. Gue
nangis. Gue pengin punya bilik...
Tahu-tahu pintu dibuka. Cowok berkepala bulat dengan rambut tipis
masuk terburu-buru. Dia mengambil laptop di lemari, lalu gerakannya berhenti
sewaktu melihat gue.
“Kamu?”
“Iya, saya?”
“Kamu Kresnoadi?”
“Iya saya Kresnoadi.”
“Saya Alvin.”
“Iya mas Alvin.”
“Saya manager di sini.”
“Saya budak di sini.”
“Saya duduk di situ.”
“RESPEK, MAS ALVIN!”
Gue langsung pindah ke kursi di sebelahnya sambil celingak-celinguk
nyari kresek yang bisa dipake buat nutup muka. Kenapa nggak ada yang bilang
kalo kursi yang gue dudukin itu kursi atasan? Rasanya pengin gue bom aja satu
ruangan.
--
Sekarang udah beberapa bulan gue di kantor ini. Atasan gue udah
bukan mas Alvin. Ruangan gue pindah ke ruang L. Ruangan yang gue kasih nama
sendiri karena bentuknya L. Gue dapat tempat paling pojok bagian belokan.
Sebelah gue Ari. Kita duduk lesehan. Pakai meja lipat. Kadang gue bingung, ini
mau kerja atau berangkat pengajian.
--
Sebetulnya gue pengin banget masukin halaman ini. Tujuannya, untuk
ngasih tahu kalau gue mendambakan bekerja dengan bilik. Selama ini kan di
film-film “pekerja kantoran” selalu diidentikkan dengan bilik-bilik yang
memisahkan tempat kerja satu karyawan dengan karyawan lain.
Kenyataannya, selama bekerja gue nggak pernah ngerasain bekerja di
bilik. Sebaliknya, pekerjaan yang punya kesan “anak muda” selalu didesain
dengan konsep open space—yang mana menghilangkan privasi bekerja. Katanya,
sih, konsep open space dibanggakan karena lebih enak untuk
berkomunikasi. Sementara buat gue, ada hal-hal merugikan dari tempat
kerja open space. Kayak kalau ada karyawan yang diomelin, suasana
tegangnya jadi berpengaruh ke satu ruangan besar (KARENA HALO SEMUANYA KAN JADI
DENGER YA?! ANDA YANG DIOMELIN KITA YANG PANIK) dan alasan bodoh lain: anak
baru bisa jadi kagak tahu di mana tempat duduk atasan.
Bagian “gue kerja pakai meja lipat” pun gue taruh di paragraf
pertama setelahnya. Bagian komedi di awalnya adalah mengganti meja lipat dengan
“meja pengajian” yang kemudian gue callback di beberapa paragraf
setelahnya.
Setiap pagi, rutinitas gue di kantor kayak gini: bikin kopi, naik
ke rooftop, bengang-bengong sendirian, balik ke ruangan, dan mulai ngaji.
“Di, gimana tulisan yang kemarin. Udah kelar? tanya atasan gue.”
“Bentar, Mas. 2 ain lagi.”
Tapi setelah gue baca lagi, seluruh bagian ini nggak berpengaruh
apa-apa ke cerita. Jadi mau nggak mau gue pangkas deh. Kalau gue hilangin pun
orang tetap bisa mengikuti ceritanya dengan baik. Gue juga bisa ngasih tahu
suasana kantor dengan cara yang lebih sederhana.
On the Project Ch. note, sampai saat ini gue masih bingung mau
ngelanjutin tulisan di chapter yang mana dulu. Kerjaan di kantor juga
lagi lumayan sinting. Jadi sabar ya. Konten selanjutnya gue mau masukin ebook Keriba-Keribo
versi revisi, ebook interaktif Teka-teki, dan Tunggang Langgang.
Semoga setelah itu semua gue naikin, tulisan gue buat chapter selanjutnya
udah kelar.
See you!
Kasih tahu ya kalau suka konten kayak gini. \(w)/
*) tulisan ini pertama kali dipublish di karyakarsa.com/keribakeribo
Biar di proyekannya paragraf ini dihempas, tapi seengaknya pas ditaruh di keriba keribo pembaca kayak gw malah jadi bisa baca kan, hehehehe, terus jai tau deh sepenggal apa yang kira2 sepai adi lagi buat, walau baru sepenggal klo yang disini #punten blom sempat mampir ke yang premiumnya
ReplyDeleteAduh ngmongin bilik meja kantor, kenapalah baca ini aku jaf kangen kantor ya hahahhahaha
Uda berapa lamaa ya aku ga ngantor sejak resign hihi
Tapi kalau open space aku juga ga suka #gabisa curi curi kesematan buat yutuban atau streaingan atau buka buka web unfaedah wakaakak
Btw starupnya ruang guru ya #waktu itu kayak pernah baca dari si howhaw
Uwoooooow, mahakarya keriba-keribo, teka-teki, sama tunggang langgang bakal dikeluarin juga.
ReplyDeleteHormat nunduk, senpai.
Oh ternyata ada halaman yang dibuang ya mas, hehehe. Kebetulan saya sudah baca cerita versi full-nya di KaryaKarsa dan menurut saya ceritanya menarik dan mengalir apa adanya :)) tau-tau selesai saja dibaca nggak sadar juga -- :D
ReplyDeleteMenurut saya penggalan cerita di atas bagus mas, meski kalaupun dihapus nggak akan mengurangi isi cerita, tapi dengan diberikan detail seperti di atas (mengenai mas yang bermimpi punya bilik kantor personal) akan membuat pembaca semakin tau secara detail karakter tokohnya (mas Adi dalam hal ini) seperti apa :D istilah kata jadi semakin kenal ~ ehehehe.
Derita karyawan baru; berusaha welcome ke senior-senior di kantor, tapi dicuekin. Giliran kita cuek, dibilang sombong. Hedeh...
ReplyDeleteSaya pernah ngalamin dua-duanya itu. Kerja lesehan, sebenarnya enak-enak aja. Tapi ya itu, privasi memang kurang terjaga. Dan jujur, punggung sama pantat jadi cepet pegel.
Kerja pakai meja, pernah juga, walaupun nggak dapet meja berbilik layaknya karyawan di tv-tv. Karena waktu itu, satu meja panjang ditempati 3 orang. Batesnya cuma tumpukan-tumpukan buku sama rak kecil. Hahaha.
Itu Mas Alvin cabut dari kantor setelah kursinya loe dudukin, Di? *eh, cabut apa naik jabatan?*
RESPEK, KRESNOADI!
Jd inget pas aku jd staff baru, sbnrnya ga ngerasain dijutekin senior sih, apalagi aku beruntung dpt penempatan di cab yg staffnya ramah2, kecuali kepala cabangnya hahahaha. Tp yaaa kepala cabang mah di mana2 ekbanyakan EMG nyebelin kan :p.
ReplyDeleteAku kalo disuruh milih jg LBH suka ruangan yg ada sekat2 bilik. Sayangnya di tempatku ga pake sekat juga. Wkt itu ada atasan yg ngomong, Krn kantor kita berkiblat ke Eropa, yg mana kantro di sana LBH suka lugas tanpa sekat, ya mau ga mau di kantor cabang indo jg sama. Yg pake sekat2 GT kebanyakan kantor Jepang. Aku sih LBH suka begitu ya, Krn alasan privacy aja sih
Ini sih Fanny dcatqueen kalau nulis EMG LBH suka GT ya?
DeleteWah gila sih ini content creator kebanggan rakyat Cibubur karyanya udah tak terhingga sepanjang masa. Gue kan jadi nyesel gak minta tanda tangan waktu ketemu tahun lalu. Gue yakin kalau ketemu lagi gue bakal disuruh bayar sih kalau minta tanda tangan. Iya gak?
ReplyDeleteEh, lu bukan orang Cibubur ya ternyata?
Bagian yang dibuang aja bikin aku cekikikan sendiri bacanya Mas.
ReplyDeleteKalo aku sendiri lebih suka pake sekat sih, karena bisa lebih tenang buat berpikir dan berkreasi.