“Dek, apa itu Zoom?”
Nyokap bertanya ketika gue baru membuka laptop, bersiap untuk kerja.
Hari itu Nyokap harus meeting dan, akibat wabah mahanyebelin ini,
ia harus melakukannya secara online. Nyokap adalah seorang pustakawan di
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Usianya sudah lebih 60 tahun.
Selesai menyetel perangkat Zoom di laptopnya, gue kembali duduk. Nyokap mulai mencerocos dengan kencang. Sepertinya ia lupa bahwa di laptopnya ada
fasilitas bernama mikrofon. Apa yang ada di hadapan gue kelihatannya sepele, tapi
pikiran gue beterbangan. Meski hari-harinya diliputi jurnal-jurnal ilmiah, nyatanya Nyokap berjarak dengan teknologi.
Mungkin sedari kecil kita sudah akrab dengan teknologi. Tapi tidak
demikian dengan generasi di atas kita. Di kondisi seperti ini, orang-orang
seperti Nyokap harus bekerja lebih keras. Bagi sebagian kaum, teknologi
adalah mukjizat. Tapi bagi sebagian yang lain, teknologi mungkin serupa hantu
yang bergentayangan.
Dan Nyokap, beserta orang-orang yang sebarisan dengannya, saat
ini harus menaklukan hantu tersebut.
Sepuluh hari semenjak meeting pertamanya, UNESCO
memperkirakan ada 138 negara yang melakukan penutupan sekolah nasional. 1,37
miliar murid dirumahkan dan 60,2 juta guru keluar dari ruang kelas.
Satu di antara 60 juta guru tersebut adalah Pak Avan. Ia mengajar
di SDN Batuputih, Sumenep, Jawa Timur. Ketika ia menelepon wali murid kelas 6
agar mengirimkan pekerjaan rumah anaknya melalui Whatsapp, ia justru mendapat
jawaban: “Apa itu Whatsapp?”
Pertanyaan itu berujung pada jawaban lain: 16 dari 20 muridnya tidak
punya aplikasi Whatsapp. Boro-boro melakukan pembelajaran online dengan
efektif, perangkatnya saja tidak punya. Kalau Pak Avan anak gahul
bilangan selatan Jakarta, mungkin reaksinya adalah menghela napas sambil berkata, “Hadeuuuh.” Tapi ia lain. Dibandingkan menggerutu dan menerima nasib,
ia nekat mengajar dari rumah ke rumah.
Tidak bisa dimungkiri, ada banyak tantangan yang harus dihadapi
dengan sistem pembelajaran online. Berdasarkan Pew Research (2018),
orang dewasa di Indonesia yang mempunyai smartphone hanya 42%. Data OECD
mengatakan bahwa 34% saja orang Indonesia yang mempunyai komputer untuk
bekerja.
Di Amerika, kondisinya sebetulnya tidak berbeda jauh. Ada 56,6 juta
anak sekolah yang dirumahkan. Berbagai distrik juga gelagapan dengan kondisi
baru ini. Nikolai Vitti, kepala Komunitas Sekolah Negeri Distrik Detroit
bilang, “Lebih dari setengah murid saya tidak punya akses terhadap perangkat
pembelajaran online dan internet.”
Persoalannya, Detroit bukan satu-satunya. Berdasarkan sensus data
dari Associated
Press, sekitar 17% murid Amerika tidak punya komputer dan 18% (3 juta murid)
tidak memiliki akses internet.
Suka tidak suka, kita harus memilih satu di antara dua pilihan yang
tidak sedap: jika tidak mengadakan pembelajaran online, murid akan
ketinggalan pelajaran. Di sisi lain, menjalankannya akan menyebabkan ketimpangan di antara murid yang punya akses dan tidak.
Di Singapura, sejak April, proses pembelajaran online hanya
terjadi satu minggu sekali. Antara hari rabu sampai jumat, tergantung jenjang.
Pembelajaran dilakukan antara 4-5 jam dan sekitar 2 jam belajar dengan tatap
layar.
Di Jepang, orangtua juga belum terbiasa. Okamoto, direktur
eksekutif SHO-zemi Innovation Venture mengatakan, “Orangtua berharap anaknya
masuk ke sekolah yang bagus agar bisa menciptakan lingkungan yang cocok sebagai
gerbang ujian, yang mana menggunakan kertas.” Jepang masih meramu cara terbaik
untuk belajar di tengah pandemi.
Di sisi lain, diperlukan keahlian khusus dari seorang guru untuk mampu
mengajar secara online. Kekuatan utama dari pengajaran adalah hubungan
antara guru dan murid. Oleh karena itu, murid perlu benar-benar merasa
diperhatikan jika pembelajaran dilakukan secara online.
Mengajar lewat aplikasi chatting pun bukan tanpa tantangan.
Bayangkan kamu harus merespons 30-an anak melalui ketikan. Pertanyaan demi
pertanyaan berhamburan dan kamu harus bisa membaca, mencerna, mencari solusi,
kemudian mengetiknya dengan cepat. Kamu tidak bisa melihat raut wajah murid.
Kamu tidak bisa benar-benar tahu apakah materi yang disampaikan dicerna dengan
baik. Hasilnya, guru lebih banyak menyebarkan PR untuk dikerjakan secara
mandiri oleh murid.
Menariknya, laporan dari The Lancet Child and Adolescent Health
mengungkapkan kalau saat wabah SARS melanda China, Hongkong, dan Singapura,
penutupan sekolah tidak berpengaruh terhadap pengontrolan wabah.
Penelitian The
Lancet Child & Adolescent Health pernah melakukan penutupan sekolah
nasional dan 25% kampus di Inggris. Hasilnya, persentase kontak di rumah antara
keluarga dan anak meningkat 50% dan kontak di komunitas meningkat 25%.
Penelitian tersebut juga menyatakan kalau penutupan sekolah hanya mencegah
angka kematian 2-4% di UK akibat SARS.
Ada berbagai
cara social distancing lain yang sebetulnya bisa dilakukan di
sekolah. Misalnya, melakukan suspend terhadap kelas yang terjangkit/jenjang
tertentu, atau mengganti struktur organisasi sekolah untuk menghindari
percampuran antarmurid, meniadakan aktivitas dan rapat yang tidak penting,
memperpendek jam sekolah, dan membagi waktu jam istirahat berdasarkan jenjang
atau kelas tertentu.
Tapi tentu saja, rencana itu tidak akan berhasil tanpa kedisiplinan
tingkat tinggi. Kita bisa saja berencana ini dan itu tapi di saat seperti ini,
keberhasilan sebuah rencana ada di tangan bersama.
Saat ini, yang sedang duduk di meja belajar bukan cuma kamu dan
guru, tapi sistem pendidikan kita. Jika Nyokap sedang menghadapi Zoom dan Pak
Avan melawan keterbatasan, kamu bebas memilih jadi siapa saja. Disadari atau
tidak, saat ini di bahu kita ada benda yang sama. Dan sewaktu kita berhasil
mengangkatnya, bersama-sama, pendidikan kita akan jauh, jauh lebih baik lagi.
Selamat Hari Pendidikan,
Kresnoadi DH
Bagus esainya, mas :D
ReplyDeleteSuka nggak suka, memang harus diakui, kalau ketimpangan masih ada di sana sini ~ dan kenyataannya, masih banyak murid-murid yang nggak punya akses untuk bersekolah online, entah karena nggak punya laptop, nggak punya handphone atau nggak punya data internet :[ dan dari sisi gurunya pun yang pernah saya baca, doing online study sangat berat karena harus standby dengan ponsel melebihi batas waktu kerja yang ditentukan. Sebab, ada orang tua yang baru bisa kirim laporan tugas sekolah anak saat malam tiba (mungkin karena siang harinya harus bekerja) dan alasan-alasan lainnya.
Well, apapun itu, semoga persoalan ini cepat mendapat solusi, jadi jikalau one day akan ada kejadian lain yang menyebabkan murid harus online study lagi, seluruh murid dan orang tua murid nggak akan kaget lagi :) meski kita tau, itu butuh waktu dan efforts penuh, untuk bisa punya level kualitas pendidikan lebih baik. Tapi bukan berarti nggak mungkin :D hehehe.
And for the last,
Selamat Hari Pendidikan <3
Tapi gabisa ngebayangin kalo masa2 kayak gini terus sekolah dibuka kembali, aku udah pesimis bakal sekacau apa nanti.:( ditempatku anjuran di rumah aja dan karantina buat pendatang, dianggap lelucon, "halah cuma guyon",semua terlihat masih normal. sesantai itu.
ReplyDeletesolusi terbaik menurut saya sebagai seorang pengamat adalah...
ReplyDeletekita musnahkan teknologi.
ahahaha, aku tiap hari bergelut dengan pertanyaan anak2, karena keterbatasan teknologi di lingkunganku. proses belajar mengajar cuma bisa dilakukan dengan whatsapp, rasanya geregetan banget karena biasa ngajar cuap2 depan mereka. blm lagi kl ortu mereka kurang memperhatikan perkembangan si anak, susah banget rasanya sistem belajar di rumah bakal sukses. laaah malah aku curhat kan jadinya, hhh
ReplyDelete"Penelitian tersebut juga menyatakan kalau penutupan sekolah hanya mencegah angka kematian 2-4% di UK akibat SARS."
ReplyDeleteAku tetap setuju sekolah ditutup sementara Mas, karena kedisiplinan anak di sekolah tuh susahnya minta ampun. Lanjutannya, mengurangi 2-4% itu tetap suatu pengurangan yang bila digabung dengan parameter pengurang lain akan makin "terasa".
Ini admin ya yang ngepost? Hehe. Cnd.
ReplyDeleteIni yang gue bayangin pas pertama kali tau sekolah diliburkan dan ada pembelajaran online. Infrastruktur yang paling pertama sih. Gak semua orang punya laptop bahkan akses internet. Bahkan ada guru yg harus datengin rumah muridnya satu satu tuh gue baca berita. Sedih liatnya.
Sebagai anak desa, ini unek-unek yang paling saya takutkan.
ReplyDeleteKetimpangan infrastruktur teknologi untuk menunjang pembelajaran online yang harus dilakukan di tengah pandemi sekarang ini.
Selama masa belajar di rumah, guru anakku LBH suka nyebarin materi pelajaran dr wag . Ga prnh pake zoom ato aplikasi apapun. Alasannya, Krn ga semua ortu murid mampu menyediakan laptop, apalagi jaringan internet yg stabil.
ReplyDeleteJgnkan pake zoom , lah disuruh ngirim tugas nth itu video ato pr tertulis aja melalui WA, ada bbrp ortu murid yg ngeluh. Krn itu butuh kuota gede utk kirim. Apalagi kalo hp yg dipake msh jadul, memory sedikit, mqkinlah mereka komplain ga bisa kirim Krn alasan itu.
Kasian sih... Tp gimana lagi.. anakku sekolah di SD negeri. Aku paham ga semua ortu muridnya mampu. Aku sendiri kenapa keukeuh nyekolahin anak di sini, supaya dia bisa berbaur dengan segala macam teman2. Yg iya nya, aku jg takut kalo dia aku sekolahin ke swasta yg mahal, ntr jd ketularan minta dibeliin segala macam gadget mahal kayak temen2nya :p. Gpp lah, konsekwensi yg aku hrs trima di masa sekolah di rumah gini.
Tp nambahin ilmu si kakak, aku palingan minta dia jg ngikutin bimbingan belajar online kayak zenius . Yg ptg ada tambahan pokoknya :D.
Mamah saya guru juga, dan sama agak berjarak sama teknologi, belakangan suka kesel karena saya harus ngajarin beragam teknis remeh-temeh (kalau dipikir2, saya pas kecil pasti lebih ngeselin juga ketika diajarin hal2 dasar soal hidup).
ReplyDeleteKalau ngeliat negara maju aja masih ada gap kayak gitu, apalagi di sini. Pandemi kali ini udah nunjukin kalau kita belum siap ke sana, dan harusnya bisa jadi bahan evaluasi.
Sebuah esai yang cuamik!!!
ReplyDeleteGue merasa teknologi membuat banyak pihak berjarak kok. Nggak cuma soal gap generasi, tapi ya soal daerahnya juga. Tapi lain daripada itu, gue jadi inget ada anak temen gue yang nggak ngerti gimana caranya ngisi soal dari googleform. Terus akhirnya mau gak mau ibunya yang ngerjain tugasnya karena si ibunya kerja dan gabisa dampingin anaknya belajar.
Masalah kayak gini aja menurut gue udah gak efektif buat pembelajaran siswa di rumah. Gue skeptis aja sih sebenernya, karena belum semua sekolah bisa nerapin teknologi buat belajar. Apalagi di musim kayak gini.