Udah tiga bulan gue mendekam di rumah. Kerja di rumah. Main di
rumah. Ngapa-ngapain di rumah. Saking lamanya di rumah, kayaknya gue udah lupa
rute-rute jalan deh. Bisa-bisa begitu semua ini berlalu dan gue pengin ke
Pondok Indah Mall, gara-gara lupa jalan gue malah nyasar ke Pondok Pesantren.
Gue tersesat ke jalan yang lurus.
Kalau rumah gue segede Nia Ramadani sih seru-seru aja (ya, saking
gedenya, dia pernah nyasar di rumahnya Ardi Bakrie. Beneran. Nih beritanya: Nia Ramadani nyasar di rumahnya sendiri). Di situ ditulis kalau dia “salah
jalan keluar”. Harusnya belok kiri, eh dia ke kanan. Nyasar deh. Lah rumah gue?
Kalau pun pintu keluar gue di kiri dan gue ke kanan, paling mentok-mentok
nyundul jemuran.
Di berita itu juga tertulis kalau kasur Nia Ramadani berukuran 4
meter. Ini kasur sama kos-kosan gue gedean kasurnya Nia Ramadani. Jadi
kepikiran, kasur sebesar itu dipakai untuk apa aja ya? Hmmmm. Pasti dipakai
untuk ngegebukin pakai raket rotan dong. Berotot berotot deh tuh tangan. Dengan kasur
sebesar itu, Nia Ramadani pasti nggak pernah ngerasain lagi tidur, lalu badan
berasa kayak mau jatuh, kaget, dan kebangun sendiri.
“Astaghfirullah! Hampir aja!” sambil nepuk-nepuk dada.
![]() |
Sumber: https://ragamhandicraftrajapolah.wordpress.com/ |
Sementara gue? Ya, gitu-gitu aja. Rute perjalanan gue cuma kamar – meja makan – kamar mandi. Di rumah juga gue cuma berdua sama Nyokap. Kalau udah kelamaan di rumah kayak gini, obrolan jadi nggak seru. Berikut adalah cuplikan dialog yang biasa terjadi antara gue dan Nyokap.
Gue: lagi ngapain, Bu?
Nyokap: (mem-pause lagu-lagu jawa dari youtube di hape) Hah?
Gue: Nggak jadi deh.
Nyokap: Sakarepmu!
Lah, dia ngegas.
Inti dari segala intinya: gue mulai bosan.
--
Pertama kali kabar corona masuk ke Indonesia, gue lagi di kantor. Di
grup divisi kami, salah satu teman kerja nge-share video berisi
pengumuman dari Presiden Joko Widodo bahwa ada warga Depok yang positif
terjangkit corona.
Virus yang bermula akhir Desember tahun lalu di China, sekarang
udah masuk Indonesia. Ketakukan akan penyakit misterius ini mulai nyata.
Situasi langsung chaos.
Berhubung tempat gue bekerja adalah start up yang
berbasis pendidikan, kami berbagi tugas. Tim media sosial dan penulis menaikkan
tulisan tentang ciri orang yang terkena virus corona dan pencegahannya.
Desainer menggambar dan membuat infografik. Beberapa yang lain berinisiatif membeli sabun
dan hand sanitizer. Semua sibuk. Satu-satunya yang diam di ruangan cuma
telepon di sebelah gue.
Hari itu berlanjut dari riset ke riset. Karena corona, kerjaan gue cuma
baca-baca jurnal yang berhubungan dengan virus ini. Mencari tahu apa saja
jenis-jenis virus serupa yang pernah muncul. Gimana cara virus ini menyebar. Kayak
apa reaksi orang terhadap itu. Sampai gimana penanganan berbagai negara. Gue
yang awalnya parno, sekarang mulai bisa lebih santai meskipun tetap waspada. Ternyata
benar kata orang, kalau udah kenal, kita jadi nggak grogi. Makanya, ngobrol.
Jangan nebak-nebak dari jauh aja.
Fokus, Fulgoso!
Pencarian-pencarian ini membuka mata gue terhadap beberapa hal. Pertama,
kenyataan bahwa hidup kita terus berubah dan perubahan-perubahan ini, mulai
dari kepadatan penduduk, ekosistem, iklim, global warming, dan teknologi, mau
tidak mau juga akan berimbas pada satu hal: penemuan penyakit baru.
Pertengahan tahun lalu, Kelsey Piper menulis bahwa pengaruh urbanisasi dan perubahan iklim akan
berdampak pada habitat nyamuk yang meningkat pesat. Artinya, penyakit kayak
zika, cikungunya, demam berdarah bakalan makin parah. Masih gara-gara ini, penelitian
nature microbiology berjudul Past and Future Spread of the
Arbovirus Vectors Aedes aegypti and Aedes albopicus bilang kalau di tahun
2050, nyamuk Aedes aegypti akan menginvasi 19,91-23,45 juta kilometer.
Penemuan yang kedua adalah perilaku warga menanggapi ini. Mulai dari
harga masker dan hand sanitizer yang mendadak mahal gara-gara ada
penimbun yang bikin kita menghela napas seraya berucap, “Astaghfirullah” sampai
penimbun yang meratapi nasib karena maskernya tidak laku dan bikin kita menghela
napas sambil, “Astaghfirullah, mampos!”
![]() |
Ini gue, bukan penimbun |
Di era post truth ini, banyaknya informasi bikin kita kalang kabut dan
keliyengan sendiri. Pagi hari ada berita kalau corona adalah virus yang bisa
disembuhkan dengan minum air panas, lalu sorenya ada berita lain yang
membantah. Besoknya, tersebar berita bahwa virus corona adalah buatan elit
global. Sengaja dibuat untuk menebar ketakutan. Berita-berita yang semakin
dibaca malah semakin bikin stres.
Kebebasan kita, tuh, udah terkekang dengan di rumah terus. Eh, begitu
buka hape untuk refreshing, malah makin emosyen.
Saat kayak gini, gue keinget satu kalimat yang pernah ditulis
Pandji Pragiwaksono di blognya. “Save the cow,” Dia mengumpamakan kalau kita lagi di jalan, lalu
melihat sapi terjebak di lumpur, yang pertama kali dilakukan adalah selametin
dulu sapinya. Baru mikir, kenapa si sapi bisa ada di sana? Apakah si sapi
begini gara-gara predator? Atau ada orang iseng? Atau sapinya diceburin sama eLiT
9l0B4L? Lih de mas ug .
Kan! Tulisan gue jadi ilang-ilangan! Pasti ini ulah elit global
yang baca dan mengincar gue!
Seruan PSBB yang setengah-setengah juga bikin kita bingung sendiri.
Sebetulnya, boleh nggak, sih, kita keluar? Seberapa ketat seseorang dianggap
melanggar PSBB? Kalau di jalan ada operasi penertiban PSBB, seperti apa
caranya? Kayak penilangan motor? Penilangan motor bukannya bikin macet yang
mana kalo macet berarti dempet-dempet dan dempet-dempet berarti ngumpul dan
ngumpul bukannya gak boleh? Apa operasi penertiban ini sengaja diciptakan untuk
menebar ketakutan? Biar para pengendara motor dari jauh udah. “Astaghfirullah!
Petugas keamanan!” lalu deg-degan dan puter balik? Apakah operasi ini buatan elit
global yang menguntungkan 8iLl gAt3S?
Memasuki bulan keempat ini, rasanya kita sudah bergerak
sendiri-sendiri. Yang memutuskan di rumah, ya di rumah. Yang berjuang sebagai
tenaga medis, membantu di lapangan. Yang merasa ini buatan elit global… install
windows bajakan biar bill gates sebel? APA KONTRIBUSI ANDA HEEEEYY?!
Agak menyedihkan melihat orang-orang ini acuh dan menganggap korban
sebatas angka-angka yang beredar di internet. Tidak bisa dimungkiri banyak yang
pendapatannya berkurang, atau pekerjaannya menghilang, atau pendidikannya
terhambat gara-gara ini.
Buat gue, virus ini menelanjangi aspek kemanusiaan. Mempertebal
gambaran kita sebagai manusia. Mana yang baik, yang tulus, yang memanfaatkan
keuntungan, yang picik, yang pasrah dan nggak bisa berbuat apa-apa. Semua jadi
terlihat dengan jelas.
Sekarang, tiap orang cuma bisa membantu sesuai porsinya
masing-masing. Berusaha untuk tidak menulari yang lain, dan yang merasa punya
gejala terjangkit virus, kamu bisa melakukan rapid test supaya
tidak menebak-nebak kondisimu sendiri.
Buat kamu yang ada di Jabodetabek, Halodoc, sebuah start up kesehatan, bisa membantumu untuk melakukan uji layanan rapid test. Caranya gampang banget. Kamu
tinggal buka aplikasinya, lalu cek lokasi rapid test drive, pilih waktu
dan tempat. Dan tinggal unggah foto KTP (untuk orang dewasa) dan KK (untuk di
bawah umur). Hasil pemeriksaannya akan keluar satu hari setelah kamu periksa
melalui SMS atau aplikasi. Well, paling nggak ini jadi salah satu alternatif pengetesan yang bisa kamu lakukan. Daripada diliputi rasa takutmu sendiri.
Ngomongin Halodoc, gue pernah kehabisan stok obat untuk paru-paru di rumah sakit. Sementara gue harus minum obat di hari
itu, atau gue harus mengulang proses penyembuhan selama enam bulan. Akhirnya,
gue coba beli lewat Halodoc, dan ternyata ada. Aplikasinya secara otomatis
mencari apotek terdekat yang punya obat yang gue cari. Beruntung banget gue sore
itu.
Semoga kali ini dan besok, kita masih punya keberuntungan itu.
PSBB? Intinya jangan keluar kalau emang ga urgent sungguh. Ya, perlu kesadaran dari diri sendiri sih kalo begini. Keknya nunggu pada kenak dulu baru pada sadar aowokwowkowkw.
ReplyDeletedan terjadi lagi.. lg serius2 baca mengambil hikmahnya, ternyata iklan. tp okelah semoga aplikasinya bisa bermanfaat khususnya bagi warga jabodetabek :)
ReplyDeleteAwalnya ngerasa serem. Trus sempet beberapa waktu kemarin jadi ngerasa losss aja. Yaa ngelihat keadaan lingkungan, yang 'baik-baik biasa aja'. Tapi abis itu baca tentang pola curve flu Spanyol, mengerikan. Jadinya awas lagi.
ReplyDeleteSemoga segera berakhir. Terserah deh sama yang ga taat PSBB. Yang taat, makasih.
Kalau hasil tesnya positif, apakah beberapa jam kemudian akan dijemput paksa oleh petugas medis dengan APD lengkap?
ReplyDeleteMemang ya cororo ini bikin aduhlaaaah berantakan. Huhu
ReplyDeleteUntung saat ini ada layanan Halodoc yg bisa membantu deteksi dini, beberapa kali aku juga pke layanan Halodoc mas. Praktis dan mudah, lumayan buat ngirit tenaga dan wkt ke RS
Alhamdulillah dapet hidayah kalo beneran tersesat ke pondok pesantren :D
ReplyDeletelama lama udah nganggep corona kayak TBC ya
ReplyDeleteenggak setakit dulu tapi tetep hati hati sih
aku juga takut lupa tar ke stasiun malah ke spbu saking lamanya engga keluar rumah