Betrugen Alternate adalah cerita spin off yang gue buat berdasarkan cerpen
Nfirmansyah di blognya.
Cerita asli Betrugen bisa dibaca di sini.
--
Di Jalan
Apa yang lebih buruk dari melihat pantat di siang hari? Ya, keluar
dari pantat untuk jalan kaki di trotoar Jakarta siang hari. Lihat, lihat.
Orang-orang ini naik skuter seperti Jakarta adalah kota... apa? Metropolusi?
Gue agak lupa sebutannya kota-kota keren dystopia 2038 neo itu.
Cih, naik skuter. Mereka pikir tinky winky?
“Iya, misi, Mas,” kata gue, membalas kalimat pria berjas yang tidak
ada. Gue memiringkan badan, menempel di tiang listrik kayak cicak supaya dia
bisa lewat. Setelah berhasil lewat, gue merentangkan tangan. “Berpelukan!”
Pria berjas ini berhenti dan nengok.
Gue meluk tiang listrik.
Hampir aja gue bilang, “Pelukan, Mas?” untuk menetralisir situasi,
tapi di sisi kanan tiang listrik ada bongkaran semen yang terbuka. Kayaknya
bekas pohon. Gue memilih masuk dan berjalan ke pertokoan. Beruntung sekali dia
ketemu orang kayak gue. Hihihi.
Orang ini memang beruntung, tapi tidak dengan perempuan di kantor
tadi.
Siapa namanya? Marissa? Annisa? Prisa?
Kayaknya dia cewek baru deh. Nggak mungkin, kan, sengaja pakai rok
sobek kayak gitu demi bisa diterima? Memangnya ini 1998? Tahu, kan, satu kasus
di tahun itu di mana Budiman SP membuat kebijakan untuk mengubah taman kota
menjadi... tanah? Dia menyebutnya sebagai “Lapangan 3.0”. Bapak bahkan masih
menyimpan koran Pantauan Rakjat yang membahas soal itu. Salah satu kutipan yang
gue ingat begini:
Di taman kita cuma bisa duduk-duduk, bersandar, dan ongkang-ongkang
kaki seperti orang tidak punya kerjaan, maka saya buat yang lebih: tempat di
mana kamu bisa duduk, tiduran, berdiri, sikap lilin, roll depan (tergantung kemampuan)!
Tempat di mana bumi dipijak dan langit dijunjung! – Budiman SP
Beritanya berisi pendapat Budiman tentang perbandingan antara
lapangan 3.0 dengan taman pada umumnya.
Dan kita tahu itu perintah istrinya.
Konon istrinya menyukai bintang-bintang. Konon istrinya sakit dan
menyukai bintang-bintang. Konon istrinya sakit pusing dan di atas kepalanya
berputar bintang-bintang. Konon di malam hari sang istri pernah terbangun lalu
mengelus kepala Budiman. Dia bilang, “Bud… Bud.. aku ingin bintang.”
“Bintang begimana maksudmu?”
Istrinya membentuk gambar bintang dengan telunjuk di dada Budiman.
“Kamu gambar lambang freemason ya?”
“BINTANG, BUD! BINTANG!”
“Oh,” Pak Budiman akhirnya paham. Ia memiringkan badannya ke istri
dan menyentuh hidungnya dengan lembut. “Ngomong dong. Di kulkas ada dua kalo
gak salah…”
Kalimat itu membuat kepala Bu Budiman panas seperti digampar bulan
dan bintang. Dan, kata orang-orang, itu lah awal mula terciptanya Lapangan 3.0.
Lapangan 3.0 yang tersisa saat ini hanya Lapangan Banteng.
Di Mobil
Aku tahu skuter sedang menjadi polemik, tapi manusia, kan, punya
otak. Aku merapikan jas dan masuk ke mobil. Hari yang menyebalkan. Tiga kali
presentasi sama dengan tiga kali pengalaman buruk. Pemutar musik di mobil
menunjukkan pukul 21:33.
Won’t be home for now
I’m on a break
Detaching for a while
Pertama: Mobil sudah kuparkir jauh dan naik skuter demi tepat waktu
mendatangi klien ini. Biar kuklarifikasi. Siapa yang suka skuter? Kamu pikir
aku naik itu karena sedang tren? Kamu pikir skuter itu keren? O jelas tidak.
Dan aku rasa semua penduduk bumi setuju denganku. Kalau skuter itu keren, pasti
lah ada orang bernama Tony Hawk Pro Skuter.
Skater itu keren, tapi skuter? Jenis sepeda (?) yang bahkan lebih
cupu lagi. Tidak ada orang yang tingkat kekerenannya bertambah karena naik
skuter. Malah yang macho jadi lemah. Bayangkan Deddy Corbuzier naik skuter.
Sama menggelikannya dengan membayangkan Deddy Corbuzier mandi pakai gayung
bentuk love warna hijau.
Harkat martabatku sudah turun tapi apa? Tapi pak Budiman tidak ada
di tempat. Nomornya tidak bisa dihubungi. Dan aku tidak tahu tanggal lahirnya
untuk kukirimkan ke santet online. Tanpa pemberitahuan minta memundurkan
jadwal ke minggu depan. Bagaimana bisa, sih, dunia ini membuat orang kaya mampu
membeli waktu?
Aku sudah punya rencana untuk minggu depan. Sebelum berangkat, aku
akan mengirimkan pesan “Saya berangkat ke tempat bapak.” begitu dia balas, “Ok”
langsung aku sikat dengan “tapi boong~”.
I’m flying solo
I’ll fly without you
I’ll go by myself
Kedua: Awal meeting berjalan lancar. Sampai aku sakit
perut entah karena apa. Konsentrasiku buyar seketika. Klien bertanya hal
terpenting dari desain ini dan kujawab dengan: “KAMAR MANDI, JENDERAL!” lalu
ruangan itu hening tiga detikan.
Butuh tiga part untuk menceritakan sisanya dan sepertinya
aku hanya akan mengatakannya pada Anisa.
“Aku sudah sampai.” Kukirimkan pesan ke Anisa. Kutembakkan lampu
dim dua kali ke pagar rumah Alex. Kejutan di dalam dashboard sudah
kusiapkan. Sebentar lagi semuanya akan meledak. Dan aku mercon tahun baru yang
disukai anak-anak.
I’m flying solo
I’ll shed my own tears
I’ll walk my own fears
Kutekan klakson panjang. Ia keluar dengan blazer krem. Langkahnya
tidak sengaja seirama dengan jantungku.
Di Rumah
“Maaf, tadi sudah kumasukkan ke mesin cuci,” jelas Alex.
“Maaf, sekarang kuganti dengan piyama ini.” Anisa mengaduk mesin
cuci, mencari blazer dan roknya, menanggalkan pakaiannya, menatap Alex,
memasukkan piyama ke tumpukan paling bawah. “Langsung dicuci. Jangan
dibayangkan.”
“Kalau dici-“
“Diam.”
“Kenapa, sih, kamu perlu memakai piyama hanya untuk berjalan dari
kamar ke tempat cuci?”
“Bisa tanya hal lain?”
Bisa. Di kepala Alex banyak pertanyaan lain. Kenapa Anisa setakut
ini? Kenapa tidak kita lawan saja pria busuk tukang ngeluh di luar? Kenapa dia
tega membuat kamu seperti ini? Kenapa kamu tega membuatku seperti ini? Kenapa
pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa keluar. Abort mission. Ternyata
gabisa.
“Ingat. Langsung dicuci.”
Anisa berlari-lari kecil dari bukit pakaian kotor ke bukit
peralatan dandan di kamar Alex. Alex menyusulnya. Di depan kaca Anisa
berlenggak-lenggok, menyemprot parfum dan memainkan rambut.
“Menurutmu aku gimana?”
Alex menjawab dengan pelukan dari belakang.
“Aku harus pergi.”
Tok tok tok!
“Assalamualaikum!” Di depan pintu, orang ini berdiri, dengan
bingkisan kecil di tangannya. Di sebelah bel tertulis “BUDIMAN SP”
Monyet. Apa aku taruh dashboard lagi aja ya?
Di pemberhentian
Gimana hari ini? Aku ingin cerita tentang tiga
pengalaman burukku. Aku juga ingin cerita tentang tiga pengalaman burukku.
Menurutmu lebih buruk mana, tiga pengalaman buruk atau satu? Tentu tiga. Tapi
aku tidak siap saat satu pengalaman buruk lebih buruk dari tiga pengalaman
buruk. Semua orang harus siap bukan? Itu lah kenapa ada hitungan mundur tiga
dua satu sebelum pistol ditembakkan dan kaki-kaki pelari melontar keluar garis
start.
Kamu siap?
Aku juga tidak.
Tapi menurut kamu?
Menurut aku aku salah. Dan aku tidak tahu harus bilang apa lagi
karena aku memang salah. Tapi semua orang punya salah dan aku adalah bagian
dari orang-orang itu.
Tapi apakah kita dilahirkan untuk menentukan yang salah dan benar
atau soal menyelotip luka? Tapi bagaimana kita bisa menyelotip kalau lukanya
belum lahir. Bagaimana kalau lukanya masih tidur? Haruskah kita membangunkannya
atau kita tunggu saja sampai pagi datang. Bagian mana yang harus diolesi
alkohol. Kulit atau tenggorokan. Tahu apa yang lebih menyebalkan dari melihat
pantat di siang hari? Melihat mata dari spion mobil. Melihat mata dari spion
mobil dan mengetahui bahwa mata tidak cukup pintar untuk melihat bahwa kita
tidak lebih baik dari pemutar musik di dalam mobil soal hal-hal intim.