Malam ini gue sengaja
pulang lebih larut dari biasanya. Rasanya seperti ada hal-hal yang ingin gue
keluarkan dari kepala, lalu membiarkannya terbang bersama angin malam.
Meninggalkan gue yang berada di belakang Avanza hitam ini.
Gue membelokkan
sepeda motor ke food street di Pondok Indah. Memesan segelas cappuccino
panas dan memilih untuk duduk di meja paling ujung.
Di depan gue, home
band mengalunkan lagu Via Vallen. Sesekali berinteraksi dengan pengunjung yang
bersorak di bagian lagu tertentu.
Sewaktu di pom bensin
tadi, gue menengok ke barisan sepeda motor yang sedang antri. Di belakang
mereka, menjulang apartemen Gandaria yang gue gatau namanya.
Ini ngebuat gue
mikir;
Bagaimana rasanya kalau
gue tinggal di tempat itu.
Mungkin malam itu, di
lantai enam belas, gue membuka gorden lebar-lebar. Memperhatikan Jakarta dari
atas. Cahaya kuning yang menyala, berkelap-kelip dari berbagai bangunan di
bawah.
Lalu dia keluar
kamar. Meletakkan telunjuknya di bibir dan duduk di samping. Mengatakan ‘Jagoan
udah tidur’ tanpa bersuara. Gue emang jarang ngobrol serius. Tapi sejujurnya,
gue menyukai situasi ini. Saat mata bertemu mata. Jari bertemu jari. Dan di
hadapan kami ada lampu mobil yang bergerak perlahan-lahan.
Gue merasa bebas.
Gue merasa waktu
berjalan lebih lambat dari biasanya dan gue suka itu.
Sampai petugas
pengisian bensin bertanya dan gue memberikan uang dua puluh ribuan. Mendorong
motor, mengangkat selang dan mengarahkannya ke tangki. Dan pada akhirnya, gue
memutuskan untuk membeli kopi dan menuliskan ini di buku catatan.
Di antara
tulisan-tulisan random ini, pikiran gue malah makin ngaco.
Lo pernah gak sih
mikir gimana jalan hidup orang lain?
Kayak salah satu
pramusaji berbaju hijau yang ada di depan. Mungkin pagi tadi shampo di kosannya
abis, dia mandi terburu-buru, mengeringkan rambut di depan cermin sambil
mengingat perkataan bosnya kemarin malam. Berusaha bodo amat pada apa yang baru
aja menimpanya.
Atau gitaris di home
band yang kini menyanyikan don’t look
back in anger. Bisa aja, sesaat sebelum berangkat, ia memetik beberapa lagu
yang belakangan ini terngiang di kepalanya. Berharap kalau venue malam ini akan ramai. Berandai-andai bahwa satu, atau dua
tahun lagi dia tampil di televisi. Atau manggung di kota-kota yang belum pernah
ia jamah.
Sampai kemudian ia
mengemas gitar itu, lalu berangkat ke sini.
Kita semua tahu tidak
ada formula yang pasti tentang hidup ini. Apa yang akan terjadi dalam beberapa tahun
lagi, atau bahkan besok, semuanya sangat fluktuatif. Bisa saja di satu
kesempatan, warung makan kita didatangi oleh orang penting, lalu keesokan
harinya mendadak ramai. Atau justru hancur karena diricuhkan oleh orang-orang
yang tidak mau dagangan kita laku. Atau kalau ingat jaman dulu: Bagaimana kisah
hidup Norman Kamaru saat di kepolisian, lalu menjadi artis besar, lalu katanya
sekarang jualan bubur manado.
Menurut gue, gak ada
yang salah sama semua itu. Timothy Goodman pernah bilang kalau tujuan kita
hidup sebenernya bukan untuk bahagia. Bukan untuk sukses. Tapi we live for experiencing something. Kita
hidup untuk merasakan pengalaman-pengalaman yang ada. Bisa aja bagi satu orang,
pengalaman itu adalah makan kepiting bakar di pulau terpencil bersama kekasih.
Bagi yang lain, bisa aja pengalaman itu berupa kehilangan laptop, lengkap
dengan data-data yang harus kita presentasikan besoknya.
Tujuan kita hidup,
katanya, adalah untuk merasakan apa yang seharusnya kita rasakan. Dan menurut
gue, salah satu perasaan paling menyenangkan adalah, ketika kita bisa berbagi
pengalaman itu dengan seseorang yang kita inginkan.
walaupun berbagi pengalaman itu sekedar via chat, “tadi siang aku makan bubur ayam Norman kamaru loooh, enaak!” ya, sesederhana itu emang.
ReplyDeleteGue seringnya mikirin apa yang kira-kira dipikirin sama orang-orang yang gue lihat di jalanan.
ReplyDelete*berasa pengen ngerepost ulang tulisan ini*
ReplyDeleteBAGUS!
Udah baca ulang, dan saya tetep bingung mau komentar apa. :( Bentar, mikir dulu.
ReplyDeleteNgomongin soal tujuan kita hidup itu bukan untuk bahagia, tiba-tiba saya keingetan sajak Dea Anugrah, "Manusia mati dan tidak berbahagia. Lalu kepada apa menuntut jawab?"
Intinya sih berbagi itu menyenangkan ya.
ReplyDeleteGak hanya buat diri kita sendiri, pastinya juga buat orang lain.
Semoga bisa terus berbagi walau dengan hal2 kecil yang sederhana :D
Btw ngomongin food street jadi laper, wkwkwk :))
Bisa berbagi pengalaman dengan orang yang diinginkan. Ini termasuk alasan kenapa suka sharing di blog nggak sih? Sambil berharap doi baca. Atau emang orang yang diinginkannya banyak? :P
ReplyDeleteTapi emang iya, hidup itu untuk nyari pengalaman, nyoba hal-hal baru. Mungkin ini sejarahnya tercipta istilah "kalau sekadar hidup babi hutan juga hidup", karena manusia selama hidupnya selalu haus akan hal-hal baru. :D
Bang Adi, di tanggal 10 Mei lo lagi di Pondok Indah menatap gedung di Gandaria. Gue kebetulan lagi di Gandaria City Mall dan semesta nggak ngasih tau kalau kita ada di jarak terdekat.
ReplyDeleteseharian di kantor gabut, gw blogwalking aja. nemu postingan ini yg sebenernya udah pernah gw baca sebelumnya. keren banget ini tulisannya, tulisan paporit ke-2 gw nih setelah yg "teruntuk Kresnoadi Muda" kalo gasalah judulnya.
ReplyDelete