Tulisan review pengalaman liburan di pulau pari: spiritual journey ini akan panjang kayak satu bab di buku sendiri. Jadi, ada baiknya siapkan teh atau camilan untuk teman menikmati. \:p/
Semua ini bermula di
malam tahun baru kemaren. Sambil menunggu pergantian tahun, gue, Ucup, dan Alam
makan serabi di depan kompleks rumah. Setelah berbagai wacana seperti yang dilakukan
orang-orang di grup whatsapp pada umumnya, kami mutusin buat ngumpul dan
ngobrolin hal ini: rencana jalan-jalan bareng.
Ucup memotong serabi
keju di piring, memasukkannya ke mulut dengan garpu. Suara ledakan kembang api
terdengar di antara kami.
‘Pokoknya gue gamau
jalan-jalan biasa. Gue maunya kita spiritual journey!’ Ucup meletakkan garpu ke
atas piring.
‘Maksudnya apa tuh?’
tanya Alam.
‘Ya journey gitu…
tapi spiritual,’ Ucup berusaha ngejelasin. Walaupun caranya sama kayak orang
ngejelasin bakso bakar dengan bilang ‘Ituloh… bakso… YANG DIBAKAR GITU DEH.’
Setelah beberapa sesi
pembicaraan tidak penting ini, kami memutuskan untuk pindah obrolan di rumah
gue. Baru kali ini rumah gue dijadiin tempat yang ngebahas hal-hal penting
kayak gini. Hmmm jadi ini yang dirasakan Laksmana Maeda waktu rumahnya dijadiin
tempat perumusan naskah proklamasi.
Di dalam kamar, Ucup
dan Alam duduk di kasur kecil di lantai. Alam mengeluarkan laptop dari
ranselnya. Sementara Ucup di pojokan tembok. Menyenderkan badan ke dinding sambil
menyelonjorkan kaki ke arah meja. Gue yang merasa sebentar lagi akan terjadi
perbincangan sengit, ke dapur mengambil biskuit Monde.
Laksmana Maeda gak
pernah nyuguhin kue monde.
Begitu masuk kamar,
gue tanya, ‘Jadi, gimana nih?’
‘Gue sih yang penting
spiritual journey,’ kata Ucup, masih aja.
Gue hampir jawab
dengan ‘Kalo gitu… gimana kalo ke masjid An-nur?’ tapi keburu dipotong Alam
yang bilang, ‘Karimun Jawa kayaknya asik nih.’ Alam lalu menunjukkan foto-foto
pantai dari laptopnya.
![]() |
karimun jawa |
Kita langsung kagum.
‘Gila! Itu pas banget
sih! Kita harus ke sana! Keren banget itu…’ Ucup nunjuk ke gambar yang
menampilkan pantai dengan laut biru yang jernih. Dia lalu melanjutkan, ‘…buat
ganti profile picture.’
Memang tidak bisa
dipungkiri, kami bertiga adalah tipikal anak rumahan yang jarang pergi. Alhasil,
foto yang kita punya sebatas itu-itu aja. Biasanya, sekalinya punya foto baru,
langsung dipake buat ganti foto di akun whatsapp, twitter, facebook, Instagram,
blibli, pegipegi, e-ktp. Semuanya deh. Prinsip kami: satu foto untuk semua.
Dengan ditentukannya destinasi,
kami mulai riset mengenai segala hal di sana. Di mana daerahnya, penginapannya,
kapal yang digunakan untuk menyeberang. Kami juga baca pengalaman orang yang
pergi ke sana. Semua berakhir dengan satu kata: gampang.
Kami sudah tahu kalau
untuk ke sana, kita harus naik kereta dari Pasar Senen menuju Semarang. Selama
perjalanan, bisa sambil pesan hotel lewat traveloka. Kami juga mencari tahu kapan
waktu menunggu kapal feri buat nyeberang. Kami bahkan udah bookmark satu
artikel yang menjelaskan cara jalan-jalan ke sana a la backpacker yang mampu
menginap 4 hari 3 malam hanya dengan 750 ribu.
Pas ngecek tiket
kereta: eh penuh.
Bangkai.
Dengan hati yang
tergores, kami terpaksa mencoret Karimun Jawa dari daftar jalan-jalan. Ucup
yang dari awal paling semangat, memberikan alternatif, ‘Yogya aja deh.
Spiritual juga itu!’ Ucup emang belum pernah ke Yogyakarta sama sekali. Dia
orang keturunan Arab yang besar di Pontianak, baru merantau ke Bogor karena
kuliah dan sekarang bekerja di Jakarta. Dia emang semacam manusia versi rainbow
cake.
Kami kembali mencari
tiket kereta ke Yogya: abis.
Perasaan mulai gak
enak.
Tiket kereta yang
kami maksud habis adalah tiket untuk perjalanan 16 Februari, hari jumat yang
saat itu memang tanggal merah. Bayangin, di saat orang lain tahun baruan
barbeque-an, kita malah ngumpul untuk nyari tiket kereta bulan depan… dan masih
gagal. Kalau Laksmana Maeda tahu, pasti kita udah diusir dari kamarnya (LAH
SIAPA KITA?!).
‘Ya udah, ya udah.’
Alam menenangkan kami yang udah mau nangis. ‘Yang deket aja deh. Yang penting,
kan, bukan ke mananya, tapi hepi-hepinya. Bandung aja gimana?’
Cek tiket kereta ke
Bandung: abis.
INI KERETA MAUNYA
APA?!
Kandasnya rencana
bertubi-tubi ngebuat Ucup yang tadinya semangat langsung diem. Ini kita belum
apa-apa aja udah gagal duluan. Kalau ini benaran pembicaraan saat proklamasi, ibarat
lagi mau nulis teks proklamasi, eh jempol ketusuk pulpen. Cupu abis.
Suasana mendadak gak
enak. Suara petasan udah tidak begitu kedengaran. Kekecewaan menyelimuti kamar
ini. Kalau inget lagu Padi jaman dulu, jam dinding pun ketawa. Berhubung ini
ngomongin kereta…
‘Jadi gimana?’ Alam
membuka suara.
‘Tahu nih,’ Ucup
geleng-geleng kepala. Dia menundukkan wajah dan melanjutkan, ‘Masa gak jadi,
sih, perjalanan spiritual kita?’
Di antara keheningan,
gue berbisik, ‘Gimana kalo… ke masjid An-nur aja?’
--Review liburan pulau pari: spiritual journey bagian satu--
Karena semua khayalan
keren kita udah gagal duluan, kami memutuskan untuk nyoba pergi ke tempat yang
gak jauh. Gak ribet. Gak butuh banyak riset dan persiapan.
Kami pergi ke pulau
seribu.
Tepatnya ke pulau
Pari.
Dua minggu berselang,
kami, tiga orang bodoh yang di ITC Fatmawati aja nyasar, memutuskan untuk
menjelajah pulau Pari. Emang, sih, kesannya rada jauh dari rencana awal. Dari yang
awalnya Karimun Jawa, pindah ke Yogya, ke Bandung, lalu berakhir ke pulau seribu.
Kalo ini sampe gagal juga, bisa-bisa kami ke pulo gadung.
Dalam perjalanan
coba-coba ini, kami benaran pengin random aja. Kami hanya mencari tahu lokasi
tempat kapal menuju pulau Pari. Sisanya… kami serahkan kepada takdir Tuhan.
Yah, orang males emang ada aja alasannya…
Perjalanan menuju
pulau Pari dimulai hari sabtu. Demi mempermudah perjalanan, jumat malamnya kami
sepakat untuk menginap di kosan Ucup.
‘Kata temen gue,
kapal di Muara Angke berangkat ke pulau Pari jam 7. Jadi kita harus berangkat dari
subuh!’ Ucup mengomandoi gue dan Alam… yang sibuk main ps.
Besoknya, kami
berangkat pukul 5.
Sampe Muara Angke
setengah 6.
MAO NGAPAEN?!
Sebagai gambaran, Muara Angke adalah pelabuhan yang di dekatnya terdapat pasar ikan. Begitu kami
keluar mobil, campuran aroma amis dan asin menusuk hidung. Dingin, tapi berbeda
dengan dingin di daerah gunung. Sumber dinginnya adalah kencangnya angin yang
bertiup, bukan dari udara sejuk.
Saat ini kami sama
sekali gak punya bayangan mau ke mana. Di depan kami ada semacam jalanan
menjulur ke ujung dermaga. Di sisi kanan kirinya penuh berbagai macam perahu.
Dari mulai perahu kecil untuk nelayan, perahu dengan tingkat di atasnya, sampai
perahu seperti feri.
Kami bertiga
berpandangan. Berhubung Ucup anak marketing yang dengan kata lain…jago sepik.
Akhirnya dia nanya-nanya ke orang di sana. Lalu ternyata, di sebelah kanan kami
terdapat satu bangunan seperti kantor. Kami masuk, dan begitu sampai di dalam,
seperti anak cupu lainnya, bukannya ngantri di loket kami malah membentuk
lingkaran.
‘Bantai nih?’ tanya
Alam.
‘Yok bantai lah!’
‘Siap yok bantaai!’
Tapi gak ada yang gerak.
Bantai pala lo gue
bantai.
Di antara kesotoyan
kami, tiba-tiba muncul satu bapak-bapak berbadan besar. Bahunya tegap seperti
bahu nelayan yang suka memburu ikan Marlin di televisi. ‘Pada mau ke Pari?’
Dia lalu menyodorkan
tiga lembar tiket kapal. ‘Ini sama bang Andi aja,’ katanya. ’45 ribu.’
Kami berpandangan
kembali. Kalau dilihat secara fisik, Bang Andi sekilas tampak seperti nelayan
yang ada di sini: tubuhnya besar, ototnya tangannya tercetak jelas, dan
kulitnya cokelat karena terbakar matahari. Senyumnya pun lebar dan tampak tidak
mencurigakan.
Eh tapi, bukannya
orang baik yang datang tiba-tiba itu justru mencurigakan? Kayak mantan yang
tiba-tiba ngabarin, ngajak ngobrol, eh ternyata cuma kesepian. :)
Meskipun diam dan
saling berpandangan, tapi mata kami berbicara. Berikut adalah pembicaraan di
dalam hati yang gue kira-kira sendiri:
Ucup: ‘Kayaknya ini
calo deh, Di, Lam. Ngantri aja gak nih?’
Alam: ‘Bentar, kita
liat harganya dulu di loket.’
Gue: ‘GUE BELOM MAO
MATIIII?!’
Setelah mencocokkan
dengan spanduk di loket, kami baru sadar kalau ternyata harga tiket di loket
dan di Bang Andi sama aja. Ini membuat kami punya dua kesimpulan: 1) dia orang
baik, kalo calo pasti harganya dinaikin, 2) dia pura-pura baik supaya kita
percaya, lalu begitu sampe kapal kita disekap, dibawa ke Nigeria lalu dijadikan
budak selamanya.
Akhirnya, kami beli
ke bang Andi.
Kapal yang kami
tumpangi bernama KM Diamond. KM Diamond adalah kapal tingkat dengan bagian
bawah berisi kursi seperti di bus sementara bagian atasnya ruangan luas dari
lantai kayu yang ditutupi atap. Berbeda dengan di bagian bawah yang sisinya
ditutupi kaca jendela, bagian atas merupakan ruangan terbuka yang langsung
mengarah ke laut. Itu artinya, kalau kami mual dan muntah bisa langsung
lemparin ke laut. Dan ada kemungkinan muntahnya terbang kebawa angin sampe kena
orang di belakang.
Kami memilih untuk
duduk di atas. Di bagian pinggir dekat dengan kayu pondasi.
Biar kalo ada salah
satu di antara kita yang muntah, bisa langsung kita tendang ke laut.
Malu-maluin nama
keluarga!
Sambil menunggu
keberangkatan, kami memerhatikan penumpang yang naik. Ada satu rombongan anak
muda membawa tas gede dan gitar. Salah satu cowok berikat kepala warna hitam memainkan
gitar tersebut, berhenti sebentar, lalu tertawa kencang. Ini perahu belum
jalan, udah ada yang mabok aja.
Ucup menyenggol gue.
‘Liat tuh, Di. Gaya banget. Muntah aja tahu rasa! Hahahahaha.’
Gue ikut ketawa
maksa.
‘Eh tapi nanti gue
ngomong gini malah gue yang muntah lagi.’ Ucup ketawa semakin lebar.
15 menit kemudian…
‘DI! KANTONG KRESEK!’
‘GUE BELOM MAU
MATII?! ALLAHUAKBAR!!’ Gak nyambung abis respon gue.
Ucup lalu ngelompatin
pembatas tempat duduk dan pergi ke pinggir dek. Dia muntah… 10 kali.
Karma itu nyata.
Cuaca emang kacau
abis. Angin bertiup kencang, ombak datang dari berbagai arah. Beda banget sama
yang gue liat sama ombak peselancar di tv. Masalahnya, entah kenapa di
saat-saat penuh guncangan seperti ini, gue malah kebelet pipis. Perut biadab. Badan
gue udah lemes banget. Jangankan buat gerakin badan, buat tiger sprong aja
susah (iyalah!). Terus terang, gue gak tahu apakah di kapal ini ada kamar
mandinya. Sayup-sayup di kepala gue muncul suara, ‘Di sebelah laut tuh… Bukalah
celanamu Adi…. Bukaa... Berikan bagian dari tubuhmu itu kepada dewa laut…’
Seperti yang kita
tahu, guncangan akan memengaruhi kekuatan kita dalam “menahan” pipis. Gue
mencengkeram kayu di sisi kapal. Memejamkan mata. Berusaha untuk mengalihkan
konsentrasi dari selangkangan ke cengkeraman tangan. Gue ngebuka mata sedikit.
Di depan, Ucup masih muntah dengan khusyuk. Bang Andi dari dek depan berjalan
ke sisi-sisi kapal, seperti ingin menghampiri Ucup. Di tengah situasi genting,
gue mendengar suara cowok,
‘GUE MO BOKER?!’ suara
itu begitu jelas terdengar. Ingin rasanya gue menjawab dengan: ‘MAMPOS LO!’
Tapi ngeledekin orang
sambil megangin selangkangan kayaknya kurang keren.
Jadi gue diam aja.
Gue diam dan merhatiin
dia. Si laki-laki di sebelah kiri gue ini celingak-celinguk ngebangunin temannya
yang tiduran di lantai kayu ini.
Gue gatau apa yang
terjadi sama cuaca di dunia ini, tapi semakin lama, perahu-perahu lain berputar
arah. Kembali ke Muara Angke. Sambil terus menahan perih di selangkangan, setan
di telinga semakin besar untuk bilang ‘KENCINGIN LAUTNYA!’ tiba-tiba orang yang
tadi pengin boker berdiri dan berjalan ke tangga. Ekspresinya lega. Entah
karena tahu di bawah ada kamar mandi atau karena udah berceceran aja.
Gue ngikutin dia ke
lantai bawah.
Ternyata di lantai
bawah benaran ada dua kamar mandi!
Si cowok tadi masuk
ke kamar mandi sebelah kiri, gue langsung meluncur ke sebelah kanan. Begitu
pintu gue tutup, hal pertama yang gue rasakan adalah lega. Gue langsung buka
ikat pinggang, narik resleting, dan mengarahkan senjata pamungkas ke lubang
jamban.
Baru merasakan
sensasi kemenangan di dalam dada, kapal tiba-tiba goyang kencang.
Gue hampir kejengkang.
Beruntung tangan gue langsung menahan tembok. Sensasi kemenangan berubah
menjadi sensasi mual di perut. Gue langsung pengin muntah.
Kapal kemudian
bergoyang-goyang gak beraturan. Gue berusaha nahan dengan menekan kaki sekencang-kencangnya. Bayangkan, lo kayak berada di dalam kotak, kemudian kotak itu
digoyangin dengan random. Lo gatau kapan kotak itu bergoncang. Lo gatau goncangannya
bakal ke sebelah mana. Dan lo… harus ngarahin pipis ke lubang kecil di bawah.
KENAPA GINI AMAT SETAAAN?!
Setan: KAN UDAH GUE
BILANG KENCING DI LAUT AJA!
Review pengalaman perjalanan liburan ke pulau pari: spiritual journey lanjut ke bagian 2
Sampai sini gw belum tau perjalanan spritual itu kyak gimana di. Apakah pergi berlibur ketempat berhantu atau jlan2 liburan trus balik2 langsung tobat.
ReplyDeleteTulisan ini gak sepanjang yg gw kira. Part dua nya gampang ketebak sih. Ending tulisan ini kapalnya brgoyang2. Pasti part duanya kyak difilm Titanic.
Padahal ini tulisan terpanjang yang pernah gue post di blog ini. :))
DeleteUdah lama ngk mampir kesini.... hihihi
ReplyDeleteJangan bilang krn perahu brgoyang senjata pamungkas lo berjuntai kesana kemari... LOL
Hah? Gimana? Bambang Pamungkas ngapain?
DeleteSebaiknya segala bagian dari tubuh yang kiranya kurang bisa berkoordinasi dengan baik selama melakukan perjalanan laut, ditinggal saja di rumah. Taruh di bawah bantal.
ReplyDeleteKalau sudah begitu kan repot.
100%. Bahlul ente!
Deletengakakkk~ belom sampe aja udah menderita yak.
ReplyDeletebtw kok gak pasang foto ber3 yg lagi mabok laut. :p
BEDIRI AJA SUSAH INI LAGI MAU FOTOO YAA. HANTAM JUGA NIH. :(
DeleteBagian 2 cepet2 deh dipost. Kupenasaran~~~
ReplyDeleteGue kira bakal smpe 2 hari baca post ini, trnyata 5 menit kelar. Uh. Ga sepanjang yg kukira😂
ITU BARU AJA DIPOST. YUHUUUU. *bales ininya aja satu bulan berikutnya. :(
DeleteBuwakakakaakakakakakakakakakakkkkkkkkkakakaakakk pas kapal goncang random, gw yakin air kencing loe juga random ciprat sana ciprat sini. Gak lupa cebok kan cuy?
ReplyDeleteGak perlu cebok kayaknya. Yang penting ikhlas. :)
Deleteboleh ngakak kan?
ReplyDeletehttp://www.cakapcakap.com
Gak.
DeletePlis lanjutin buruan. Penasaran apaqa bg adi berhasil mengarahkan pipisnya ke lubang kecil di kamar mandi itu?
ReplyDeleteTUNGGU KELANJUTANNYA!!
JENG JENG JENG
MARI KITA TANYA KEPADA LUBANG KENCINGNYA!
DeleteSelalu ngakak kalau mampir ke sini ya Allah XD
ReplyDeleteIni ujiannya lebih sulit dari gaji diundur besok, bang wakakak
Ditunggu kelanjutannya!
Makanya. :(
DeleteBiasanya orang-orang udah pesen tiket dari tiga bulan sebelum hari H, Di. Makanya itu ludes semua.
ReplyDeleteEh, saya baru tau malah kalo ada antrean loket resmi gitu. Soalnya dulu pas ke Pari ya udah langsung bayar paket dan terima beres. Temen yang urus. Jadi saya pikir itu emang naek perahunya sama nelayan macam Bang Andi.
Mantaplah, lanjutkan~
Bukannya sekarang maksimal itu 3 bulan ya?
DeleteTemen yang urus?
Wah, dasar laki-laki lemah. :)
Setelah baca tulisan ini, spertinya perjalanan spiritual ke Masjid An-Nur lebih "aman" dibandingkan ke Pulau Pari, deh. Tinggal jalan 5 langkah dari rumah sampai. Nggak harus nahan muntah dan pipis di atas kapal.
ReplyDeleteItu harga tiket 45 rebu per anak, apa udah bertiga?
Per anaaak. Jadi tolong jangan beranak di tengah jalan biar lebih murah.
DeleteHARUSNYA KENCING DI TEMPAT TADI DUDUK, SAMBIL PEGANGAN, LALU KELUARKAN, DAN LEGA! BIARKAN! BIARKAN AIR ITU
ReplyDeleteDIAM.
DeleteTiba-tiba pingin kue monde itu 😔
ReplyDeleteKamu muntah di laut???
issh, ini sebabnya aku gak pernah mau berenang di laut. Airnya terkontaminasi dengan pipis para surfer yg lagi nanggung nungguin ombak, muntahan orang2 yang mabuk laut. Aku belum pernah naik kapal besar. Pernah naik speedboat dari bali ke lembongan.. itu bikin mual, tapi gak sampe muntah. Alhamdulillah..
Nggak. Itu ssi Ucup yang muntah di lauut. Muahaah. \:p/
Deletehahaha harusnya banyakin juga dong fotonya waktu ke sana biar bisa lebih liat ceritanya
ReplyDeleteIya banyak kok. Tapi kan ini belom nyampe. Mohohoho. Hati2 matamu ya.
DeleteGeli-geliiii... Hahaha
ReplyDeleteNgakak daiam-diam bisa ga ya.
Bisa. yang nggak bisa diam dalam ngakak.
DeleteSeru juga...apalagi sambil makan mie diatas kapal dan bergoyag secara random dan kencang hahaaaaa...
ReplyDeleteSIAPE YANG MAKAN MIE?!
DeleteUdah, ke Pulogadung juga gak usah nyampe pulau pari, ahaha
ReplyDeleteKlo ke pulau seribu biasanya ikut open trip klo gua
Ih parah! Mentang2 di pulau maunya trip yang open2...
DeleteGiliran GIF gambarnya gede2, giliran foto kamu gambarnya seuprit banget, malu2in keluarga!
ReplyDeleteHahahah salah itu. Aslinya gede. Tapi pinggirannya banyak putih2nya. Keliatan gak? Yakan... (Apakan yokan yakan!)
DeleteGue pernah naik kapal selama 8 jam dan yang gue rasain cuma sakit perut doang. Agak mual dikit sih, karena saking lamanya. Dan itu kapal gede yang di pake untuk nyeberang dari pulau sumatera ke pulau jawa. Enggak tau deh sensasinya bakal sama atau beda.
ReplyDeleteYea, gue tau rasanya, Di, karena dulu gue pernah pipis di dalam bus dan itu susah banget buat ngarahin senjata pamungkas ke arah lubang jamban karena jalannya waktu itu berliku-liku. Pernah sekali tangan gue kecipratan pipis sendiri karena kaget busnya tiba-tiba berbelok. Saat itu gue membatin kesal :')
Kalo kapal gede kayaknya lebih tahan terhadap ombak gak sih? Ini kapal kecil ada ombak dikit aja udah mau muntaber. Muntah sambil beraksi.
Delete