Di postingan bulan lalu ini, gue pernah cerita soal pembuatan komik Neko. Di situ gue bilang kalau Neko sebetulnya berasal dari sebuah cerpen. Nah, di postingan ini, gue mau share kayak apa sih cerita Neko dalam bentuk cerpen. Buat yang belum sempat baca komik Neko, klik aja gambar di bawah ya!
Well, get your snack and enjoy this short story! \(w)/
--
Entah sudah kali ke berapa aku naik ke rooftop sekolah ini. Belakangan ini pikiranku aneh. Jantungku berdebar keras setiap bangun dari mimpi itu. Aku tiba-tiba tersenyum. Dan, kalau di komik-komik, mungkin mataku digambarkan menyala seperti api. Di sini, sambil memperhatikan atap rumah di depan itu, entah kenapa adrenalinku terpacu. Aku berjalan ke pinggir. Anginnya mengibarkan baju seragamku. Seolah mendorongku supaya jauh-jauh dari tempat ini. Entah kenapa aku suka sekali di sini. Dan bukan cuma aku. Lihat itu, para senior di sebelah sana. Bermain gitar sambil tertawa heboh. Kutebak, mereka anak kelas 3 IPS.
Well, get your snack and enjoy this short story! \(w)/
--
Entah sudah kali ke berapa aku naik ke rooftop sekolah ini. Belakangan ini pikiranku aneh. Jantungku berdebar keras setiap bangun dari mimpi itu. Aku tiba-tiba tersenyum. Dan, kalau di komik-komik, mungkin mataku digambarkan menyala seperti api. Di sini, sambil memperhatikan atap rumah di depan itu, entah kenapa adrenalinku terpacu. Aku berjalan ke pinggir. Anginnya mengibarkan baju seragamku. Seolah mendorongku supaya jauh-jauh dari tempat ini. Entah kenapa aku suka sekali di sini. Dan bukan cuma aku. Lihat itu, para senior di sebelah sana. Bermain gitar sambil tertawa heboh. Kutebak, mereka anak kelas 3 IPS.
Aku lalu teringat
sesuatu: ranselku mana ya?
Duh, ketinggalan.
Aku mengambil Chupa Cups
dari kantung celana, lalu mengemutnya.
Sambil bersandar di
tembok, aku duduk meluruskan kaki. Belakangan ini aku merasa kalau kelas 2 SMA
adalah masa-masa membosankan. Bukan. Ini bukan berarti aku menginginkan
kehidupan SMA yang seru seperti di tengah-tengah belajar, tiba-tiba ada godzila
menyerang ruang guru. Lalu kami libur dua minggu.
Walaupun sepertinya
itu akan menarik.
Meskipun begitu,
sekolahku cukup seru.
Aku tidak tahu dengan
sekolah lain karena di sini kami hanya diwajibkan menggunakan seragam dengan
rompi biru. Selebihnya, tidak ada peraturan aneh. Seperti misalnya, masuk kelas
harus roll depan.
Walaupun, sepertinya
itu akan menarik. Besok coba ah.
‘No!’
Aku menengok ke pintu
di belakang. Di sana berdiri Vanessa dengan handphone
di depan wajahnya. Ranselku di dekat kakinya.
‘Ehm, nmgapaimnn, shih,
Nhes, fhoto-fhoto?’ tanyaku, sambil mengemut permen.
‘Biarin aja, sih,’
katanya. Lalu mengetik sesuatu. Aku tebak sedang meng-upload foto barusan ke salah satu akun media sosialnya. Dia
kemudian memasukkan ponselnya ke kantung dan duduk di sebelah. ‘Ke sini mulu
deh perasaan?’
‘Enmggak khok. Ini mhmmau
phulamng.’ Aku berdiri.
‘Kalau ngomong
permennya dilepas!’
Aku memegang permen.
Memainkannya di ujung bibir. ‘Iya ini mau pulang.’
‘Pulang?’ tanyanya, mengangkat
kotak bekal dan menjatuhkan ranselku begitu saja. ‘Makanan dari aku belum
dimakan?’
‘OH IYA!’ Aku buru-buru mengambil ransel, mengorek isinya dan melahap roti isi telur
yang dia buat.
Kalau dipikir-pikir,
aneh juga Vanessa ini. Sejak kelas 1 dulu selalu membawakanku bekal makanan. Aku
sendiri lupa bagaimana ini bisa terjadi. Tapi, mumpung gratis. Aku sikat aja.
‘Emangnya enak makan
roti pake permen gitu?’
Aku membuka mulut.
Memperlihatkan sisa batang putih dari permen yang kumakan tadi. ‘Kan udah abis.
Weeeek!’
Aku lanjut
menghabiskan makanan. Dia duduk di sebelah. Samar-samar terdengar alunan lagu
dari senior di bagian lain rooftop
ini. ‘Kamu tahu nggak, Nes? Kenapa, ya, karakter di dalam komik bisa makan
banyak? Padahal, kan, mereka nggak kerja. Punya uang dari mana coba?’
‘Hah?’
‘Kalo aku, sih,
untung ada kamu.’
Lalu hening begitu
saja.
‘Nes,’ kataku.
Mengembalikan kotak bekalnya. ‘Mulai besok aku nggak mau sekolah.’ Aku kemudian
berdiri. Menunjuk atap rumah di bawah sana. ‘Aku mau jadi petualang.
Menyelamatkan dunia.’
Vanessa malah ketawa.
Aneh dia.
--
Tembakan laser itu
mengenai batu di sebelahku. Aku terlempar jauh. Beberapa bagian celanaku sobek.
Adrenalinku terpacu. Napasku terengah. Aku berusaha lari, dan lari, dan
melompat masuk ke bangunan kosong di depan. Kacanya kupecahkan dengan sekali
tendang. Aku menuju ruangan lain. Kutatap wajahku di cermin. Rambutku… biru?
Bajuku? Kenapa begini?
Kulihat pakaianku
berwarna hitam dengan beberapa garis hijau menyala.
Di mana ini? Aku
masuk ke ruangan paling belakang gedung ini. Ternyata semacam dapur. Kutarik
satu laci. Lalu beralih ke laci yang lain. Di luar terdengar suara berdebum.
Sial, kenapa aku bisa lupa ingatan di saat seperti ini.
Apa ini? Di sabukku
ada benda menyerupai belati kecil, tetapi tumpul di kedua ujungnya. Aku yakin
ini pasti senjata. Tapi, kok, aku tidak tahu cara menggunakannya ya?
‘HEYAAH!’ Aku
gelindingkan benda itu sambil menutupi wajahku dengan panci.
Tidak ada reaksi.
Ah! Apa ini detonator
bom? Aku pernah lihat di dalam game ada
detonator seperti ini. Aku mengambil benda itu lagi. Kali ini bagian atasnya kutekan.
Aku menutupi wajahku pakai panci lagi.
Masih tidak ada yang
terjadi.
BENDA TERKUTUK APA
INI?!
Aku ketok-ketok ke
meja. Ke panci. Ke blender. Lalu kutendang saking kesalnya.
Dan seketika saja,
benda itu
mengeluarkan cahaya biru dari ujungnya.
‘LIGHTSABER!’ Aku
melonjak girang.
BOOM! Dalam sekejap,
bangunan yang kutempati meledak. Lubang hidungku tersodok centong.
Aku terbangun. Bajuku
basah penuh keringat. Dan di lubang hidungku… ada apa ini? Semacam tongkat
hitam halus menyodok sampai ke dalam. Semoga upilku baik-baik saja.
‘Thol… Lhongg.. Akhh..
Khu.. Gghakk.. Bishaa.. Naph.. Hahs..’ Aku berusaha bernapas dengan mulut.
Padahal, mah, lubang yang kiri aman-aman aja.
Kucing siapa sih ini?
Makhluk mungil ini melepaskan sodokan ekornya di lubang hidungku. Dia berputar,
kulihat bola matanya yang berwarna biru di antara seluruh hitam tubuhnya. Dua
lonceng kecil di lehernya menandakan kalau dia adalah peliharaan seseorang. Dia
lalu meloncat ke atas kepalaku. Pikiranku rasanya masih agak pusing. Entah
karena mimpi entah sodokan di hidungku.
Oh jam berapa
sekarang? Tujuh? Delapan? Kamarku saat ini sudah tidak ada bentuknya. Laptop di
atas meja masih menyisakan anime The Law of Ueki yang tadi malam ter-pause. Buku-buku komik berserakan, aku
sedang tidak ingin membereskannya. Malas sekali rasanya berangkat sekolah hari
ini.
Teleponku berdering.
Ah, Vanessa. Bawel
sekali perempuan itu. Aku angkat sebentar dan hanya kujawab dengan ‘Iya. Halo.
Iya. Heeh.’ tanpa benar-benar mendengar apa yang dia katakan. Mungkin kalau
tadi dia bilang ‘Kamu narkoba ya?' sudah terlanjur aku iyakan
juga.
‘No.’ Aku samar-samar
mendengar suara anak kecil. Kulihat sekitar, tidak ada orang.
‘Hei, No. Kalau
dipanggil jawab dong.’ Ekor kucing muncul di depan mataku, lalu bergoyang ke
kanan dan kiri. Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi.
Sampai beberapa saat
kemudian, kucing itu melompat ke depan kasurku. Dia kembali mengeluarkan suara.
‘Ku-kucing? Ini kamu
yang ngomong?’ Kutoel-toel kepala kucing ini.
Si kucing menengok
kanan dan kiri, lalu menatapku. ‘Memangnya ada orang lain di sini? Aku Neko.
Cupidmu.’
‘Co-copet?’
‘Cu-pid, bodoh!’
‘Cupid bukannya anak
bayi telanjang yang bisa terbang itu, ya?’ Setelah mimpi aneh, kenapa tiba-tiba
hidupku yang jadi aneh? Apakah ini… petualangan? Mataku langsung
berbinar-binar.
‘Aku juga anak bayi,
kok. Telanjang juga,’ jawab Neko, santai. Dia kemudian duduk di telapak
tanganku—ukurannya memang sekecil itu. Menggoyangkan tubuhnya sedikit, lalu,
terserah mau percaya atau tidak, muncul dua sayap berwarna putih di sisi
tubuhnya. Dia terbang dan hinggap di kepalaku. Keempat kakinya terasa empuk. Ekornya
mengenai mataku sebentar, sampai kemudian dia memutar tubuhnya, searah dengan
kepalaku. ‘Iya. Aku cupid kamu. Aku mau kasih tahu siapa jodoh kamu di masa
depan.’
Aku berjalan ke depan
cermin, melihat Neko menggaruk telinganya dengan kaki belakang. ‘Jodoh? Buat
apa jodoh? Aku masih kelas 2 SMA! Aku ingin jadi petualang!’
Neko lalu bercerita
panjang.
Dia bilang kalau dia
adalah kucing dari masa depan. Sewaktu dia bilang ini, tentu aku langsung
berteriak, ‘CIYE DORAEMOON!’ dan sekarang di mataku ada bekas cakar 3 biji. Katanya, dia ingin membantuku
menemukan jodoh supaya hidup manusia di masa depan menjadi lebih baik. Katanya,
kalau aku memilih orang yang salah, akan lahir anak yang salah juga, yang
kemudian membuat masa depan menjadi salah juga. Itu berarti… anakku akan jadi
petualang!
Tapi… Kenapa harus seperti
ini, sih? Aku memang ingin petualangan, tapi bukan begini caranya.
‘Hei, Doraemon,’
kataku kesal, sambil menutupi wajah dengan bantal. ‘Jadi, untuk memulai petualangan di masa depan, aku harus
bertualang mencari jodohku dulu? Ah, nggak asik.’
Selanjutnya, dia terus
saja mengikutiku ke mana pun aku pergi. Padahal aku sudah berlari sekuat
tenaga, tapi dia selalu saja berhasil menemukanku. Belakangan aku sadar, aku
lari di treadmill.
Anehnya, lama-kelamaan
aku mulai menyukai Neko. Selain bulunya yang halus, dia juga bisa berubah
menjadi gelang hitam dengan dua lonceng kecil di ujungnya. Aku pun sudah
bertanya banyak hal. Mulai dari apa makanan kesukaannya, dan dia menjawab
meskipun tidak makan, dia tidak akan mati. Aku bertanya bagaimana rasanya
terbang. Lalu dia bilang kalau itu menyenangkan. Aku pun tertantang untuk
terbang dan loncat dari atas lemari. Hasilnya… pelipisku sobek enam jahitan. Aku
juga bertanya mengenai diriku di masa depan. Aku di masa depan, kan, akan
bertemu istriku yang kemudian melahirkan anak yang menyelamatkan dunia. Jika di
masa depan aku sudah bertemu dia, kenapa di masa sekarang aku harus mencarinya?
Rasa penasaranku ini hanya dijawab Neko dengan: beginilah caramu bertemu jodohmu nanti.
Sial. Masih SMA sudah
disuruh ribet cari jodoh. Katanya masa SMA adalah masa paling indah. Tapi, apa
indahnya kalau aku harus mencari jodoh seperti ini? Aku ingin jadi anak SMA
seperti dalam komik-komik. Menjadi pembuat roti seperti Yakitate Japan. Atau quarter back dalam Eyeshield 21. Atau
melawan monster seperti Nube. Walaupun sama-sama monster, melawan jodohku saat
PMS nanti tampaknya tidak bisa dianggap petualangan, deh.
Setelah aku pikir
lagi, aku rasa, tidak apa-apa kalau Neko aku pelihara saja. Dari dulu aku
selalu ingin memelihara kucing. Kapan lagi punya kucing yang bisa dibawa ke
mana-mana.
Karena dia mengaku
datang dari masa depan, dia pasti tidak tahu tempat-tempat sekitar sini. Aku
pun mengajaknya jalan-jalan. Mulai dari kompleks, pasar, tepi sungai, taman
bermain, kemudian berakhir di salah satu stasiun kereta. Niatku adalah
membawanya ke tempat sate terenak yang berada di sebelah stasiun ini. Maklum,
sebagai kucing masa depan, dia pasti tidak tahu betapa nikmatnya sate itu.
Aku menggoyangkan
lonceng di gelang, dan sayap Neko keluar begitu saja. Dia perlahan-lahan
mengubah wujudnya menjadi kucing dan naik ke meja. Sambil menunggu pesanan, aku
baru menyadari kalau hari ini aku benar-benar tidak jadi sekolah. Seharian ini
aku juga tidak mengecek handphone. Besok
pasti Vanessa berisik sekali.
‘Ini, Mas.’ Si
pelayan meletakkan pesananku ke meja.
‘Makasih!’ kataku,
lalu mengelus Neko. ‘Ayo kita habiskan, Neko!’
Terus terang, tempat
ini sudah berubah jauh. Dulu, sewaktu aku Sekolah Dasar, aku ingat sering
membeli sate ayam bersama Ayah di sini. Tempatnya hanya gerobak dengan
pinggiran lebar, yang dijadikan meja tempat pengunjung makan. Sekarang, tempat
ini sudah menjadi kios dengan puluhan meja. Para pengunjung yang datang sampai
antre di luar. Di meja sebelah terdapat satu pasangan tua kakek-nenek yang
duduk memesan teh. Di depannya, ada pasangan lain saling menyuapi sate, yang,
entah kenapa membuatku mangap sendiri.
Aku menatap Neko.
‘Hei. Memangnya
jodohku seperti apa?’
Neko tetap makan,
mengabaikanku.
‘Ne. Ko.’ Aku merebut
sate dari mulutnya. Mengangkatnya ke telapakku. Dia tidak berani mengeluarkan
sayap di tempat terbuka seperti ini.
‘Aku sudah tidak
peduli dengan jodoh-jodohan. Aku ingin sate.’
Aku mengangkat ekor
Neko. Lalu berbicara kepada pelayan yang kebetulan lewat. ‘Mas, di sini kucing
bisa dijadiin sate nggak, ya?’
Neko kemudian
memberontak, mengeong—aku baru tahu ternyata Neko bisa mengeong juga—dan aku
melepaskan genggaman. Dia tampak kesal, aku hanya terkekeh. ‘Aku tidak tahu
siapa jodohmu,’ jawabnya.
Aku mengambil satu
tusukan sate, lalu menatap Neko dengan pandangan bagaimana-kalau-matamu-kucongkel-saja
dan dia kembali bicara tanpa kutanya.
‘Aku tidak tahu, tapi aku tahu ketika orangnya muncul.’
‘Aku tidak tahu, tapi aku tahu ketika orangnya muncul.’
--
‘Bukan,’ kata Neko. Ini
sudah keduapuluh kali aku mencari perempuan yang menurutku akan menjadi
jodohku. Sebenarnya, tanpa bantuan Neko aku memang agak ragu kalau Kendall
Jenner adalah jodohku.
Akhirnya aku lelah juga
dan memilih untuk tiduran saja. Ternyata, menemukan jodoh tidak segampang yang
kukira. Kunyalakan televisi dan terpampang biduan dangdut sedang berjoget.
Kuliirk Neko.
‘Bukan, Juno.’ Dia
duduk di perutku. ‘Kamu mau masa depan nanti ditentukan dengan goyangan
dangdut?’
Aku lalu membayangkan
dua Negara yang sedang berperang. Bukannya mengirimkan tentara, kita malah menyebar penyanyi dangdut ke kampung-kampung. Biduannya joget, lalu musuh pada kelojotan, mimisan, dan mati kekurangan darah. Serem juga.
‘Nggak, deh. Nggak
seru.’ Aku akhirnya mulai sadar kenapa jodoh itu penting bagi peradaban manusia.
Apalagi bagi aku, yang ingin menjadi petualang sejati. Apa jadinya jika
petualang sepertiku berjodoh dengan biduan dangdut? Anakku pasti jadi petualang
dangdut. Melawan monster dengan gendang dangdut tedengar tidak keren untukku.
--
‘Kamu ke mana, sih,
kemaren?’ Vanessa menghampiriku. Seperti yang bisa kutebak, wajahnya akan
menjadi… tunggu?
Kenapa seperti ada
yang berbeda ya?
Aku mengemut Chupa
Chups sambil memperhatikan Vanessa lebih detail. Kok sekarang aku ingin
tersenyum?
‘Kenapa, No?’ Vanessa
memberikan bekal makan.
‘Kamu yang kenapa?’
Lonceng di tanganku berbunyi
pelan.
‘Yuk. Buruan ke
kelas. Kita kan ada ujian Biologi!’
‘HAH?! PENYELAMAT
DUNIA HARUS UJIAN BIOLOGI?!’
Vanessa menjitak
kepalaku.
--
Napasku sesak. Kaki
kananku terjepit batu. Bunyi sirine membuat telingaku berdengung. Kulihat di
udara satu helikopter berputar-putar. I.. ini tempat yang kemarin?
Aku memfokuskan
tenaga di bagian kaki. Lalu, kutendang batu yang menindih kakiku itu. Aku kaget
karena kekuatanku berhasil menerbangkan batu itu ke langit. Menabrak
helikopter. Menuju Nigeria.
Menghantam singa yang akan menerkam anak kecil. Warga Nigeria memuja dewa langit.
Belum sepenuhnya
sadar akan apa yang terjadi, sirine kembali berbunyi keras. Kepalaku sakit. Terdengar
teriakan ‘Berhenti!’ dan derap telapak kaki entah dari mana. Beberapa detik
kemudian, gedung sebelah kanan meledak.
‘APA-APAAN INI?!’
Aku kembali berlari.
Gedung-gedung ini, semuanya sudah tidak berpenghuni. Apakah kota ini akan
dihancurkan sepenuhnya? Atau ini tempat hasil perang? Beberapa kali terdengar
tembakan. Jantungku berhenti sesaat.
Aku memutuskan
mencari tempat aman. Di lorong depan, sebelah kiri. Di antara dua bangunan itu.
Tapi,
aku justru bertemu
tiga orang. Dua menghadapku. Bapak dan Ibu. Saling memegang tangan satu sama
lain. Entah kenapa aku seperti kenal dengan mereka. Tapi siapa? Sementara satu
orang lain menghadap mereka. Tidak jelas. Seseorang berjubah dengan tudung
warna putih. Aku jalan mengendap-endap.
‘HEYAH!’ Kugebuk
tengkuknya pakai balok kayu. Eh, dia pingsan.
Kedua orangtua ini
melonjak girang. Kami berpelukan seperti teletubies. Mereka bercerita, dan,
anehnya, aku tidak mengerti apa yang mereka katakan. Pandanganku kabur. Badanku
seperti terbang. Lalu samar-samar, kulihat sinar laser merah menembus dadaku.
--
Aku masih tidak
percaya apa yang dikatakan Neko. Vanessa adalah jodohku? Sudah gila apa dia.
Bel berdering. Suara
langkah sepatu berderap cepat. Lalu hening. Kelas kosong. Papan tulis berisi
sisa coretan kapur. Di bawah meja, ranselku sedikit terbuka. Memperlihatkan
kotak bekal pemberian Nessa tadi pagi. Nessa? Tunggu. Sejak kapan…
Aku menggoyangkan
gelang, mengeluarkan Neko. Senyumnya menyebalkan sekali. Kuangkat ranselku dan
berjalan ke rooftop. Di sinilah aku
sekarang. Berpikir tentang semua kejadian aneh yang belakangan aku alami. Kugigit
roti isi telur itu, lalu, kukunyah pelan-pelan. Kurasakan angin perlahan-lahan
menyapu rambut. Sebentar, aku harusnya bisa fokus. Tapi kenapa malah jadi
mengantuk begini. Payah.
‘Mau sampai kapan di
sini terus?’ Nessa, seperti biasa tiba-tiba datang. Aku melirik ke kotak bekal
di samping ransel. Oh iya, gara-gara ini.
Aku berdiri. Menutup
kotak bekal kosong itu. Berjalan ke arah Vanessa. ‘Nessa. Kamu jodohku.’
‘Hah?’
‘Kamu jodohku.’
‘A-aku. Jodohmu?’
‘Iya.’
‘Aku jodohmu?’
‘He eh.’
‘A-aku? Jod-oh?’
‘IYEEEEE!’
Vanesa tertawa
kencang. Aku lihat air matanya keluar sedikit.
Kemudian, dia
memelukku.
Aku benar-benar tidak
mengerti soal perempuan. Tapi, aku mencium aroma stroberi.
--
Sekarang, aku harus
apa?
Aku mengingat kejadian
tadi sore. Setelah dia memelukku, kami hanya duduk bersender di dinding.
Memandangi atap rumah di depan. Entah kenapa Vanessa yang biasanya cerewet
mendadak diam. Aku kemudian bercerita soal keinginanku menjadi petualang. Lalu
soal mimpi-mimpiku. Saat aku meledakkan bangunan. Saat aku tertusuk laser
merah.
Di topik itu, Nessa
mulai seperti biasa. Kembali ke gerakan tangannya saat bicara yang berlebihan
itu. Ketukan kakinya di lantai ketika mendengarkanku. Saat itu, dia akhirnya
mengungkapkan alasannya memberikanku bekal setiap hari.
‘Memangnya menurutmu
kenapa aku mau seniat itu memberikanmu bekal?’
‘Biar… Aku bisa kayak
karakter di komik?’
‘Bukan, bodoh.’ Nessa
tertawa.
Dia bilang itu yang
dulu dilakukan Ibunya ketika Ayahnya masih hidup. Membawakan bekal ke kantor
setiap hari. Saat itu, tentu aku merespon dengan, ‘MEMANGNYA AKU SETUA ITU YA?’
Dan dia malah tertawa kembali, yang, kemudian aku lanjutkan dengan, ‘Kalau
begitu. Tolong pijit punggung Ayah, Nak.’
‘ENAK AJA!’
‘Untung Neko ngasih
tahu,’ kataku. Mengingat sesuatu. ‘Kalau tidak, bisa-bisa aku berjodoh dengan
penyanyi dangdut.’
‘Neko?’
‘Iya.’ Aku
menggoyangkan lonceng di tangan kiri, dan mengubah gelang menjadi Neko. Aku menjelaskan
semua hal tentang Neko. Tentang kedatangannya yang langsung menusuk lubang
hidungku. Tentang kesukaannya terhadap sate langgananku sewaktu SD. Tentang dia
yang mengaku sebagai Cupid dan akan mempertemukanku dengan jodohku.
Vanessa diam. Wajahnya datar. Beberapa saat kemudian, dia mengeluarkan suara. ‘Jadi, gara-gara Neko. Makasih ya.’ Dia lalu pergi.
Dan sampai sekarang,
aku tidak tahu harus berbuat apa.
Oke, setelah mimpi
aneh. Hidup aneh. Sekarang Nessa yang aneh. Kulihat Neko sedang menyundul bola
kasti di kasur.
‘Ah menyebalkan.
Semua gara-gara kamu, nih, Neko.’
Neko mengeong.
‘Neko.’
Neko balas mengeong
lagi.
‘NEKO!’
Neko tetap mengeong.
Neko, kamu kenapa?
Kutumpuk beberapa bantal dan kuletakkan Neko di atasnya. Kali ini aku menatap
wajahnya dengan seriius. ‘WINGARDIUM LEVIOSA!’
Neko tetap mengeong.
Lalu pipis di bantal.
‘Neko biadaaaab!’
Kudekati dia.
Kuangkat ekornya. Dia meronta. Dan sekarang aku sadar: dia tidak bisa bicara. Aku
sudah mencoba berbagai cara. Mulai dari mengelus, mengelitiki keteknya, sampai
menyanyikan lagu terbaru Krisdayanti (selain nyoba untuk Neko, lagunya emang
asik abes!), tapi dia tetap tidak berbicara seperti Neko sebelumnya. Aku pun
sudah mencoba melemparnya, tetapi dia tidak mengeluarkan sayap.
Neko berubah jadi
kucing biasa!
--
Sudah satu minggu
sejak Neko menjadi kucing normal. Vanessa juga mulai kembali biasa. Tapi entah
kenapa, aku merasa sedikit aneh. Kok, dia tidak mau membawakanku bekal lagi
sih? Aku kan sudah lama tidak ke kantin. Maka dari itu, hari ini aku sudah berjanji
dengannya untuk bertemu di sini. Di atas rooftop.
Neko juga kubawa dalam kantung plastik.
Kuambil Chupa Cups
dalam kantung.
Lalu kuemut sambil
memperhatikan pemandangan di depan.
Perutku bunyi. Lapar.
‘Hei, No.’
Aku mengangkat tangan
tanpa berbalik badan. Sudah hapal betul suara itu. Dan, dengan tangan juga,
menyuruhnya untuk duduk di sebelahku.
‘Ini.’ Vanessa
memberikan bekal.
‘Eh? Oh?’ Saat ini,
kayaknya tampangku seperti orang yang sedang mikir: ini kentut doang atau sama ampasnya ya?
Dia membuka tutup
bekal. Terlihat roti isi telur. Bekal kesukaanku! ‘Udah. Makan aja.’
Sehabis makan, aku
malah tidak tahu ingin bicara apa.
‘Neko mana?’
Aku mengangkat
kantung plastik. ‘Ini.’
‘INI GIMANA DIA
NAPASNYA YA?’ Vanessa cepat-cepat membuka ikatan plastik Neko. Aku masih
bengong. Beberapa detik kemudian aku berpikir dalam hati: tuhkan, dia masih selamat.
‘Kamu kenapa?’
Akhirnya aku bertanya juga.
‘Kenapa apanya?’
‘Kenapa apanya
gimana?’
‘Kenapa apanya gimana kapanpun?’
‘Ya, kamunya.
Sebenarnya senang atau enggak tentang jodoh ini?’
Dia diam.
Semoga dia tidak
mengeong kayak Neko.
‘Meong.’
Aku ingin lompat
saja.
Dia mengangkat Neko
ke depan dadanya. Mengelus kepalanya beberapa saat, lalu menurunkannya kembali.
Dia akhirnya menjawab: Kalau nggak ada Neko gimana?’
‘Gimana apanya?’
‘Ya kamunya.’
Sekarang gantian aku
yang diam. Terus terang aku sama sekali belum berpikir tentang itu, jadi
kujawab jujur saja.
Dan aku juga jujur,
kalau aku terbiasa
dengan keberadaannya.
Dan juga jujur, saat
bertemu dengannya minggu lalu. Aku merasa ingin tersenyum dan… aku punya
perasaaan yang aneh.
Aku kemudian tertawa saat mengatakan ingin menjadi petualang.
‘Tapi petualang juga
butuh partner kan?’ Dia menatapku.
Jantungku berhenti
berdetak. Kutunjuk pemandangan di depan secara asal. ‘Gimana kalau kita bolos
dan keliling dunia saja? Ah! Mulai dari menumpas preman, deh.’
‘Gimana kalau kita
mulai dari lulus ujian biologi?’
‘UJIAN BIOLOGI
LAGI?!’
‘Nekuma!’ Neko
tiba-tiba kembali bersuara.
Tidak berapa lama,
muncul seekor kucing berwarna putih seukuran Neko. Dia menggesekkan kepalanya di
tubuh Nessa. Belum bisa mencerna apa yang terjadi, kucing itu mengeluarkan
sayap hitam, persis seperti Neko. Dia tersenyum kepada kami, lalu menatap Neko.
“Hai, Neko!’
Aku tidak bisa
bergerak. Jantungku berdetak kencang. Seperti berada dalam arena perang di
mimpi waktu itu. Kutatap wajah Nessa, pipinya merah. Apa yang terjadi?
Neko menatapku, lalu
berkedip. Apa jangan-jangan dari kemarin dia cuma pura-pura? Kalau benar, akan
kuhabisi dia. Neko membentangkan sayap kecilnya, lalu, bersama Nekuma terbang
ke belakang kami.
Tepatnya, ke dua orang
di belakang kami.
Dua orang yang
kutemui di dalam mimpi.
‘Kita berhasil,’ kata
si laki-laki.
Spin off:
ReplyDelete"Aku cupidmu."
"Hah? Apa? Copet?"
"Bukan bego, cupid!"
"Cupid apa?"
"CUPIDKIR AJA SENDIRI!"
*hening* *sorry receh*
Udah enak-enak baca, eh di bawah kerasukan mantra Harry Potter "WINGARDIUM LEVIOSA". Bangkay.
gambar komiknya bagus mas, ceritanya juga ringan..
ReplyDeletetapi ketika jadi cerpen, panjang juga ya hahahaha
Ternyata sepanjang ini, ya. Menurutku, versi komiknya lebih padet dan mantep, Di. :D
ReplyDeletengakak sihhh, gokil abes
ReplyDeletelubang-hdung-tersodok-centong wkwk
Aku belom baca Di, malah baru tau. Wkwkwk. Covernya lucuk. Apalagi ceritanya :D
ReplyDeleteBtw, kenapa lubang idung bisa tersodok centong? Emang lagi mau makan lontong? :(
Join dan Rasakan Kemenangan Berlipat Ganda bersama keris99
ReplyDeleteAkurasi kemenangan sangat tinggi
situs judi online keris99 Agen Sakong Online Capsa Susun Bandar Poker Judi Domino99 BandarQ AduQ dengan akurasi kemenangan tertinggi masa kini.
Daftar sekarang juga di keris99 dan rasakan sensasi nikmatnya kemenangan Beruntun jatuh hanya untuk anda para pecinta judi online.
Kunjungi situs resmi :
Agen Sakong
Agen Sakong Online
Agen Domino99
Agen BandarQ
Agen Capsa Susun
Judi Cepat Kaya
Cerita Becek
PASTI MENANG BANYAK!!
Kumpulan Trik Hack
ReplyDeleteAplikasi Hack Judi Online
Cheat Judi Online
Cara Curang Judi Online
Trik Hack Sakong
Trik Hack BandarQ
Trik Hack Domino99
Trik Hack AduQ
Trik Hack Poker
Bandar Sakong
ReplyDeleteSakong Online
BandarQ
Domino99
Poker
AduQ
Bandar Poker
Trik Menang Sakong
Trik Menang Poker
Trik Menang BandarQ
Trik Menang AduQ
Trik Menang Domino99
Trik Menang Bandar Poker
Trik Menang Capsa Susun
Trik Menang Ceme Online
Trik Menang Ceme Keliling
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete