Baca part 1 di sini
Baca segala hal mengenai Bianglara di sini
TUJUH - ENO
Ini sudah pukul
sebelas sekaligus ke empat kalinya Eno bolak-balik kamar mandi. Buat dia, ini
jadi hari galau paling aneh sedunia. Dua tahun lalu, ketika putus dengan Milly,
Eno cuman diam di dalam kamar. Tanpa suara sama sekali. Ia membuka Twitter
mantannya. Membaca status mantannya itu berulang-ulang. Terkadang berkomentar
dalam hati. Terkadang komentarnya dia balas dengan pikiran-pikiran lain yang
datang. Beberapa bulan lalu, ketika sadar kalau pada akhirnya dia akan lulus
dan berpisah dengan teman-teman kampusnya, dia duduk sendirian di ruang
himpunan. Menatap jam yang bergerak detik demi detik ke arah kanan.
Memperhatikan foto-foto lama yang tertempel di dinding saat mereka rapat.
Teman-temannya bergaya dengan berbagai pose, sementara Eno di pojok sendiri.
Mukanya terpotong setengah.
Sekarang, galau malah
sakit perut.
Di rumah Eno tinggal
sendiri. Orangtuanya sudah pensiun dan memilih untuk tinggal di Yogyakarta. Eno
berdiri di depan cermin. Dia memperhatikan dirinya sendiri menggunakan handuk
warna biru dari pantulan cermin. Dia memandangi wajahnya dari atas sampai
bawah. Lalu perlahan-lahan membayangkan sosok Windy berdiri di belakangnya, mantannya
yang baru saja putus dua hari lalu. Setelah delapan bulan pacaran, Eno baru
sadar kalau Windy ternyata berbeda dari apa yang selama ini dia kira. Atau
mungkin, Eno yang berbeda di mata Windy.
Bayangan Windy samar-samar
berbalik badan, kemudian naik ke atas kasur. Perempuan itu duduk bersender di
tembok, meluruskan kakinya ke depan, seperti yang biasa ia lakukan ketika
pacaran dulu. Eno bisa melihatnya lewat pantulan cermin di depan. Windy menarik
selimut, menutup kedua ujung kakinya. Rasa galau itu datang lagi. Eno balik
badan, kemudian duduk di samping Windy.
‘No,’ bisik Windy,
pelan-pelan menutup kepala Eno dengan selimut.
Eno berusaha
melepaskan selimut di kepalanya. ‘I-ya?’
‘BRENGSEK LO!’ Windy
loncat dan nemplok ke muka Eno.
Eno menjerit. Jantungnya
memompa cepat. Dia mengayunkan tangannya ke sana ke mari. Sepersekian detik
berikutnya, dia lompat dan menyadari bahwa sosok Windy yang dia bayangkan adalah
kecoak. Secara refleks Eno melepas handuknya, lalu menyelepet kecoak yang ada
di tembok. ‘MAMPUS LO! MAMPUS!’ tapi si kecoak berhasil terbang dan nemplok ke
sisi dinding sebelah kanan. Sepersekian detik berikutnya Eno sadar kalau
pertahanannya terbuka lebar. Dia tidak mau kecoak itu terbang ke tempat
terlarang di badannya. Akhirnya dia cepat-cepat memakai handuk dan menyambar semprotan
kecoak di bawah meja.
Eno mengarahkan
semprotan itu ke kecoak yang lagi santai di dinding. Tangannya gemetar.
‘MAMPOS LO!’ Saking
paniknya, bukannya nyemprot, Eno malah ngelempar semprotannya dari jauh. Beruntung
headshot. Ketabok pas di kepalanya. Kecoaknya
tepar dan jatuh ke bawah kasur. Eno ngos-ngosan. ‘AKU GAK BERENGSEK! MAAFIN AKU
WIN! MAAFIN!’ Eno gagal fokus.
Imajinasi Eno memang
suka berlebihan. Mungkin ini yang menyebabkan dia memilih untuk jadi penulis.
Atau gara-gara jadi penulis dia jadi suka berimajinasi berlebihan kayak gini.
Entahlah, tapi yang jelas khayalannya membuat dia seringkali lupa pada hal di
sekitarnya. Pikirannya kembali ke Windy. Seperti lensa kamera yang sedang
mengatur titik fokusnya dari buram menjadi jelas. Bayangan itu pelan-pelan
menjadi jelas. Gambaran itu adalah dua hari yang lalu. Ketika mereka duduk di
taman Central Park. Ketika pada awalnya, mereka tertawa menyaksikan anak kecil
yang bermain bola plastik warna merah. Kemudian, seperti layaknya pasangan yang
sedang kasmaran lain, mereka membahas masa depan. Lalu Eno bercerita tentang
harapan-harapannya. Tentang wajah anak mereka nantinya. ‘Pasti mirip bapaknya!’ seru Eno
sambil menunjuk hidung sendiri, bangga banget. Lalu Windy yang justru tidak
setuju dan dibalas dengan Eno yang berusaha bercanda dengan bilang ‘Emang kamu
gak suka kalo anak kamu mukanya kayak gado-gado gini?’ Lalu obrolan-obrolan itu
berbelok sedikit demi sedikit. Mengubah tawa yang beberapa saat lalu menjadi
hening yang tidak mengenakkan. Windy belum siap dengan komitmen, atau Eno yang
terlalu buru-buru membicarakan masa depan dan tidak realistis.
Dan hubungan delapan
bulan itu berakhir begitu saja.
Mereka memutuskan
untuk jadi teman dulu.
Sampai keduanya
sama-sama siap.
Itu yang dikatakan
Eno, tapi di dalam hati dia merasa kalau itu terlalu klise. Alasan yang
mengada-ada. Tapi memang kenyataannya seperti itu. Mau gimana lagi.
Eno melepas handuk,
membuka lemari, lalu menggunakan baju untuk tidur.
Handphone-nya berbunyi.
Dan untuk kedua
kalinya, dia mengambilnya. Dan memutuskan untuk tidak bisa tidur lagi.
Ternyata bunyi handphone barusan merupakan pesan dari
Ibunya untuk mengunci pintu. Orangtuanya memang sering mengatakan hal-hal
seperti ini. Jangan lupa mengunci pintu. Menutup jendela supaya tidak ada
nyamuk yang masuk. Mematikan AC di ruangan yang tidak perlu. Dia sendiri
sebetulnya bukan tipikal anak manja. Sudah satu tahun Eno tinggal sendiri dan
belum ada kejadian aneh yang menimpanya. Satu-satunya yang menjadi sumber
masalah adalah sifat pelupanya yang mencapai level ultimate. Jangan heran kalau Eno bisa bengong di depan keranjang
belanja minimarket karena mendadak lupa mau beli apa. Atau tiba-tiba pergi ke
dapur, membuka kulkas, lalu malah nanya sendiri, ‘Gue tadi mau ngapain ya ke
sini?’ Lalu kembali ke kamar dan berpikir ‘Tadi kayaknya ada yang mau diambil
deh di dapur.’ Lalu kembali ke dapur nanya, 'Tadi gue mau ngapain ya?'. Begitu terus sampai ajal menanti. Atau yang
paling sering, bersiap pergi, mengambil kunci mobil, menaruhnya di dapur, pergi
pipis ke kamar mandi sebentar, lalu berjalan ke depan mobil kesayangannya dan
bersimpuh, ‘DI MANA KUNCI MOBIL GUEEE?!’
Setelah membalas
pesan Ibunya, Eno melihat satu notifikasi DM Twitter di bagian atas ponselnya.
Dia duduk di pinggir
kasur, lalu menekan gambar burung biru di layar.
Mudah-mudahan bukan
dari Windy, pikirnya.
Eno memperhatikan
akun itu. Sedikit lega karena ternyata benaran bukan Windy. Di sisi lain, dia
merasa heran karena akun tersebut asing. Nama akunnya kayak nomor telepon. Foto
profilnya telur dengan background
biru. Seperti akun Twitter yang baru dibuat, dengan jumlah tweets 13 yang kebanyakan berisi pujian terhadap artis Korea. Seperti
‘G Dragon keren abis!’ lalu di bawahnya ‘EXO I LOVE YOU!’ lalu di bawahnya lagi
‘Nggak pernah nyesel nonton Cak Lontong!’ Yang terakhir ini kok mental sendiri
ya.
Eno awalnya malas meladeni
orang seperti ini. Tetapi dia teringat dengan salah satu video yang ditontonnya
beberapa hari lalu di YouTube. Ada
seorang komedian Inggris bernama James Veitch yang kerjaannya balas-balasin
email spam. Email yang tadinya mau
mencoba menipu, malah dikerjain balik sama dia. Ketika itu Eno ketawa sampai
keluar air mata gara-gara keisengan Veitch ini. Eno akhirnya mencoba mengikuti
permainan si orang asing, ikut coba ngerjain balik. Lumayan, pikinya, paling
tidak satu hiburan di tengah kegalauannya ini.
08778392xxx: Hei.
Eno: Iya hei juga.
08778392xxx: Passwordnya?
Eno: Susu hitam
kental manis… Enak rasanya?
08778392xxx: SELAMAT
ANDA MENDAPATKAN HADIAH DUA JUTA RUPIAH!
Eno: …
08778392xxx: Image attached
Eno membuka gambar
tersebut. Tampak sesosok ibu-ibu gemuk dengan daster kuning memegang pisau. ‘Hah?
Apa nih?’ tanya Eno. Seolah bisa baca pikiran, orang asing tersebut menjawab.
08778392xxx: Sori.
Salah kirim. Itu foto nyokap pas lebaran. Hehehe.
Eno: …
Eno: Saya udah panik
lho, Mas.
Eno: Eh, Mbak.
Eno: Atau kalau
diliat dari avatarnya, wahai Makhluk Monokotil.
08778392xxx: ((Makhluk
Monokotil))
08778392xxx: Image attached
Kali ini sebuah
gambar menyerupai kartu nama berwarna perak. Pantulan cahayanya membuat si
benda ini terlihat seperti besi. Atau memang besi? Di tengahnya ada tulisan “Dufan”
berwarna merah dan bagian bawahnya 11/5/2017. Minggu depan? Eno tidak mengerti
sama sekali maksud dari gambar ini. Caption dari foto itu tertulis: khusus pemberani.
Eno: Saya jarang ke
Dufan. Makasih voucher diskonnya.
Eno: :)
Eno: Beneran, deh.
Saya pernah bawa gebetan, sampe di istana boneka aja gemeter. Udah kayak bit stand up-nya Raditya Dika.
Eno: Tapi saya gak
sampe loncat berenang gitu lah. Cemen bener.
Eno: Saya gak bisa
berenang.
Eno: Hehehe.
Eno: Mas? Mbak?
Monokotil?
Lalu DM Twitter ini
berakhir begitu saja. Tidak ada balasan, tidak ada petunjuk apapun selain
gambar Dufan dan ibu-ibu berdaster yang sedang menyiapkan masakan Lebaran. Niat
untuk ngerjain orang seperti James Veitch malah berakhir kayak om-om desperate yang lagi gombalin anak di
bawah umur.
Eno lalu tidur. Di
kepalanya tersimpan banyak hal aneh hari ini.
--
DELAPAN - WINDY
Yohanes pulang
setelah mengantarkan Windy ke depan rumah. Ebem dan pacarnya ikut bersama
Yohanes. Windy masuk menenteng tiga plastik penuh baju bekas photoshoot-nya tadi.
Begitu sampai di
kamar, ia meletakkan kacamata di meja lalu melompat ke kasur. Hari ini
sebenarnya dia ingin diam saja di rumah. Dia merasa butuh refreshing. Ada masanya bagi setiap orang untuk menyisihkan waktu
untuk diri sendiri. Kalau saja tidak ada kerjaan, mungkin Windy sudah menonton
film apapun yang ada di laptopnya sambil minum cokelat hangat seharian.
Pada akhirnya Windy
mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu led di tembok kamarnya. Di dalam
kepalanya terputar pikiran soal komitmen. Tentang perkataan Eno dua hari lalu. Apa
iya dia yang salah karena tidak berani membahas masa depan? Tapi untuk apa
pura-pura bahagia ngomongin masa depan kalau belum tentu benaran terjadi? Bukannya
banyak orang patah hati gara-gara punya harapan yang berlebihan?
Mungkin bagi Windy masa
depan adalah sesuatu yang samar. Sewaktu kita masih 17 tahun, pandangan kita
akan masa depan masih gelap dan tidak jelas. Ketidakjelasan ini yang membuat
apa yang kita lakukan di saat itu menjadi seru. Kita bisa dikagetkan oleh dampak
dari perbuatan kita. Ini berkebalikan sewaktu kita dewasa. Semakin
kita dewasa, masa depan kita mulai terlihat sedikit demi sedikit. Kita jadi bakal
susah untuk “kaget”. Ketika dewasa, apa yang kita lakukan akan jauh lebih ketebak efeknya bagi hidup kita di
masa depan.
Windy melihat ini di
dalam orangtuanya.
Dan dia tidak mau
seperti itu.
Dia menatap
foto-fotonya di Instagram bersama Eno. Salah satu keribetan yang perlu dilalui
orang setelah putus adalah memutuskan untuk menghapus foto mantan dari sosial
media kita. Satu foto dia tekan. Terpampang wajah Eno yang mengangkat satu
tusuk sate taichan sambil menaikkan otot tangan kanannya yang tidak ada itu. Tapi
di mata Windy, foto itu lebih dari sekadar Eno yang makan sate. Itu adalah
pertama kali Eno mau diajak makan pedas bersama. Di dalam foto mungkin wajah
Eno terlihat nyengir lebar. Tapi yang orang lain tidak bisa lihat adalah, tiga
detik setelah pose itu, Eno tersedak dan langsung menghabiskan dua botol air
dingin. Matanya yang berair. Dan sepanjang perjalanan pulang di mana Windy
ngeledekin Eno yang sok kuat makan pedas dan mereka bernyanyi berdua di dalam
mobil. Bagi beberapa orang, foto mungkin punya arti yang lebih dalam daripada
sekadar gambar.
Bersamaan dengan itu,
masuk sebuah email ke hapenya. Windy
merengut karena biasanya email endorsement
harus berjudul sesuai dengan format yang dia berikan: Endorse – Nama Barang. Tapi email
ini berjudul “khusus pemberani”. Dia membukanya. Di dalamnya, terdapat sebuah
foto lempengan besi dengan tulisan “Dufan” dan tanggal minggu depan.
‘Kok gue takut ya?’
tanya Windy ke Yohanes di telepon, sesaat setelah dia menceritakan email barusan.
‘Diemin aja udah.
Orang iseng kali.’
‘Masa sih?’ Windy gak
percaya.
‘Iya. Atau sekarang gini
aja. Lo ganti password Instagram aja.
Daripada kenapa-kenapa.’
‘Kenapa-kenapa
gimana?’
‘Ya di-hack. Instagram lo diambil alih orang
lain. Dipake upload foto sembarangan.’
‘Foto gue emang
kurang sembarangan apa lagi?’ Windy lalu tertawa, mengingat sebagian besar
fotonya memang dipenuhi gaya aneh. Mulai dari foto dengan gaya lidah melet. Video
dirinya sedang memutarkan badan di tengah mal. Sampai menekan pipinya yang dia
gembungkan sendiri. ‘Oke deh, Nes. Thank you ya.’
Windy mematikan
telepon.
Sebenarnya agak aneh
Windy menelepon Yohanes. Meskipun Yohanes fotografernya, tapi dia jarang membahas
hal-hal pribadi kayak gini. Ternyata nggak ada Eno ada pengaruhnya juga untuk
dia, pikirnya. Apa biarin aja ya di-hack?
Biar foto-foto yang ada dihapus sekalian? Windy cemberut, lalu bicara
sendiri. ‘Hack aja hack. Huu. Upload sana foto yang lebih penting! Apakek. Meme kek. Atau video-video
jomblo yang endingnya item putih sambil nangis sekalian!’
Windy mendekatkan hapenya,
membuat pantulan cahayanya mengenai wajahnya. Lalu, dengan ragu-ragu menelepon
Eno.
Satu panggilan.
Dua panggilan.
Tiga panggilan.
Tidak ada jawaban.
Windy menutup
kepalanya dengan bantal.
Tangan kanannya
mengambil hape, memotret dirinya sendiri.
Kemudian di-upload di Instagram.
--
SEMBILAN – JAKA
Setelah mobil itu
menghilang, Jaka keluar rumah. Dia mengambil lempengan besi itu dan membawanya
ke kamar. Bentuknya seukuran hape, tapi lebih tipis dan berat. Kayak plat nomor
versi mini. Jaka mengangkat lempengan itu ke bawah sinar lampu, seolah mengecek
uang palsu. Di satu sisinya terdapat gambar mata yang menonjol keluar.
Sementara di sisi satunya tertulis “Dufan” dan tanggal minggu depan di bagian
bawah.
Untuk berjaga-jaga,
Jaka memotret lempengan besi itu. Dia membuka laptop dan menyimpan file-nya di sana.
Sekitar pukul tiga
sore, Rafi dan Lukman pulang. Jaka mencegatnya di depan pintu.
‘Fi! Lo harus tahu
gue nemu apa!’ Jaka mengangkat lempengan besi.
‘Apaan tuh?’ tanya
Rafi. Lukman menutup pintu pagar, lalu ikut menghampiri Jaka. Jaka mengajak
mereka ke kamarnya.
‘Hmmm… Dari beratnya,
sih, bukan Alumunium,’ jelas Jaka.
Lukman nyamber, ‘Hmmmm…
Dari warnanya juga bukan daun pisang sih.’
‘Sial lo,’ balas Jaka
lagi. ‘Maksudnya, walaupun warnanya kayak alumunium, tapi bukan alumunium. Gitu
lah.’
Rafi mengangguk
padahal tampangnya masih bingung. Jaka menyerahkan lempengan besi itu ke
mereka. Kayak ikan koi yang dilempar pelet, Rafi dan Lukman langsung berebut
memegang lempengan besi tipis itu. Mereka agak kaget karena lempengan itu lebih
berat dari yang mereka bayangkan. Jaka kemudian bercerita soal mobil yang
datang ke depan rumah dan diam-diam meletakannya ke sela-sela pintu pagar.
‘Wah ada lambang
mata!’ Lukman kembali sok jadi detektif.
‘Tandanya apa, Man?’
tanya Rafi.
‘Serem euy. Kayak dipelototin
gitu.’
Hening.
Jaka beranggapan
kalau lempengan besi ini pasti tidak cuma satu. Sengaja dibagikan ke
orang-orang terpilih. Kayak di Now You See Me gitu, kata Jaka. Sementara
menurut Rafi, lempengan besi ini lebih mirip kayak brosur tukang servis mesin
cuci yang suka dibagikan ke rumah-rumah. Pendapat ini didukung oleh Lukman yang
menunjuk tulisan Dufan dan tanggal yang ada di bagian belakang lambang mata
tersebut.
‘Ada yang mau nyobain
dateng gak? Siapa tahu aja diskon?’ tanya Jaka.
Rafi dan Lukman saling
tatap-tatapan, lalu menggeleng.
‘Gue mah sebenernya
mau,’ jawab Rafi.’ Tapi Pak Tanto minta buru-buru gue nyelesain revisi, euy. Lagi
belum mau meninggal nih.’
‘Gue juga, Jak.’ Kali
ini Lukman yang ngomong. ‘Takut dikira homo kalo malem minggu ke Dufan bareng
lo.’
Rafi kemudian
menyarankan Jaka untuk datang. Menurutnya, paling tidak Jaka bisa kembali ke
Jakarta, daripada gak jelas juga di sini ngapain. Bener juga sih,
batin Jaka. Kan seru juga kalo tiba-tiba ini petualangan. Kalo kata Forrest
Gump kan “Life is a box of chocolates.
You never know what you’re gonna get.” Lagi-lagi Jaka mengutip sembarangan.
Padahal gak tau apa hubungannya Dufan sama cokelat.
‘Nah, pas juga, sih,
momennya.’ Lukman berusaha mengingat sesuatu. ‘Lo, kan, katanya lagi pengen
yang leher lebih panjang dari jerapah gitu.’
Jaka nimpuk Lukman
pake buku. ‘Leher yang akan lebih sering melihat ke atas, kali. Film 5cm woi itu.
Pada gak nonton apa?’
Rafi dan Lukman
pura-pura bersiul.
Jaka mengambil besi
itu dari genggaman Rafi. Diam-diam tersenyum membayangkan sesuatu yang besar di
depan sana. Di tengah keheningan, dia membuka mulutnya, ‘Kalo gue diculik
gimana?’
bersambung..
Sumpah gua baru tau cara make semprotan kecoak itu dilempar, thanks.
ReplyDeleteEno yang pelupa dan windy yang salah gaul itu cocok banget sebenarnya, tinggal bagaimana mereka saling menghargai pendapat masing-masing aja sih, apalagi pendapat jaka.
Aduh, kepribadian Eno ada yang seperti gue, takut kecoa yang bisa terbang. Huhu. :(
ReplyDeleteDari awal gue juga udah sempet mikir mirip Now You See Me, eh dijelasin sama Jaka. Haha. Ntap, nih! Seru-seru. Lanjutkan, Di!
Wkakakaka iya baru ngeh kalau ini kayak Now You See Me. Orang-orang terpilih direkrut buat ikut misi apa gitu. Trus mereka dibentuk jadi Dufan Squad. Nah yang terjadi nanti, apakah mereka diikutkan kompetisi menantang ketakutan? Si Eno ditantang buat ngadepin kecoa, Windy ngadepin komitmen, Jaka ngadepin homo (ini apa dah)? Ini bikin penasaran deh~
ReplyDeletekirain yang ngirim gambar di dm twitter itu si Windy. dia sok-sokan bikin akun twitter baru biar bisa stalking akun mantan. wqwqwq
ReplyDeleteJailin mantan, gitu? Kok kayak orang yg banyak waktu luangnya giru ya.. wqwq
Deletesi eno ini ko absurd banget sih, bisa bisanya windy disejajarkan sama kecoa njir, sakit hati gue kalo jadi windy whahahaahahq
ReplyDeletePas di cerita windy gue udah mikir "kok kayak now you see me, ya?" Eh pas di cerita jaka malah dibahas haha. Ditunggu lanjutannya, bg...
ReplyDeleteIni Enonya Eno Bening atau Eno Hening. Kalau Eno Hening, iboknya Kiwrana. Happy ya.
ReplyDeleteHalah.
Wkwkwkw. Ini kayak Charlie and the Chocolate Factory. Nanti di Dufan bakal main Werewolf kayak film Hangout nggak nih?
Makin penasaran.. Cepet bikin lanjutan part 3 nya yaaa :D.
ReplyDeleteKeren , bang!
ReplyDeleteCan't wait part 3 nya!
ReplyDeleteHfff kirain Jaka yang ngisengin, tp Jaka nya juga dapet bahkan secara lgsg gitu!
Penasaran bgt sama lanjutannya;((
Semangat lanjutin buat part 3 nya, Kak! Semoga makin banyak ide-idenya :))
Wah parah. Ada apa sih di duffan? Bikin penasaran nih.
ReplyDeleteAda beberapa joke di bianglara yang ngebuat saya ketawa sendiri di kafe yang lagi rame. Terutama pas, 'ngga pernah nyesel nontong cak lontong." Asli dah.
Btw, ada flashback tentang eno sama windy ga? Seru kayknya.
Wah ada nama gue tuh disitu (Rafi), hahaha. Anjirr, password macam apa itu ?! "susu hitam kental manis, enak rasanya ?" , emang ada ya susu hitam ? setau gue paling-paling cokelat dah.
ReplyDeleteEno galaunya lebih keren dikit napa sik. Tapi yaudalah terserah Eno aja ya, hidup2 Eno :) *lah*
ReplyDelete