Sampai saat ini, gue
masih bermimpi untuk jadi penulis atau komedian. Dua medium yang menurut gue
tidak berbeda jauh. Penulis akan membuat komplain-komplain di hidupnya menjadi
sebuah tulisan. Bisa menjadi sebuah cerita sedih, atau menginspirasi. Atau melihat
perjalanan hidup gue, jatuhnya lebih ke cerita horor.
Begitu juga dengan
komedian. Seorang pelawak akan membuat lelucon dari hal-hal yang dia alami.
Tragedi yang dia pendam selama ini. Buat gue, pelawak adalah pencerita yang
malu-malu. Gue selalu yakin ada hal-hal “tersembunyi” yang ia sampaikan lewat
ceritanya.
Well, gue emang suka bercerita.
Dan gue malu.
Seringkali gue terlalu takut untuk menyebarkan apa yang sudah gue tulis. Entah sudah
berapa dering telepon yang gue dengar untuk merencanakan pertemuan. Entah sudah berapa coretan ide yang gue tulis untuk memberikan buku ini. Sewaktu di Dufan waktu itu.
Atau menyelipkannya diam-diam saat menonton Guardian of the Galaxy di Senayan.
Gue bahkan hampir melempar buku ini ke halaman rumahnya. Untung keburu ada tetangga
yang teriak maling dan nimpuk sendal.
Tapi hari ini, tekad
gue udah bulat.
--
Sampai saat ini, gue
masih bermimpi untuk menjadi penulis atau komedian. Kayak yang gue pernah bilang,
keduanya sama-sama pencerita. Keduanya mungkin malu-malu dan butuh media lain
untuk bersuara. Sewaktu gue bekerja di Kumon, gue ingat betul pelajaran itu:
kita tidak perlu bersuara untuk memberitahu sesuatu.
Kita hanya butuh satu
jari telunjuk. Ketika kita sadar ada pekerjaan yang salah, yang perlu kita
lakukan hanyalah menunjuk jawaban si anak kecil, lalu menunjuk kembali
pertanyaannya satu per satu. Ini membuat si anak berpikir sendiri tanpa diberitahu
begitu saja. Ini membuat rasa penasaran si anak terpakai untuk hal yang benar:
mencari solusi atas masalah yang dia hadapi.
Gue jadi berpikir
bahwa seharusnya hal ini juga bisa kita pakai untuk hal-hal lain. Contoh: Ketika
salah beli ukuran sepatu. Tunjuk sepatu yang udah kita beli, lalu tunjuk pacar,
lalu tunjuk sepatu yang kita inginkan. Hasil: Mata kelilipan sneakers.
Gue lalu bangun dan
mengambil kacamata yang tertutup selimut. Saat membereskan kasur, gue agak
kaget karena mendengar suara barang jatuh. Apa tuh? Gue menunduk ke bawah
tempat tidur. Memanjangkan leher ke dalam. Aneh, kok gelap banget. Oh iya, lampunya
belum dinyalain. Gue bangun, kejedot bentar, nyalain lampu, lalu kembali ke
kolong tempat tidur.
Gue melihat sesuatu
di ujung, dekat kaki tempat tidur. ‘Apaan
tuh item-item?’ Gue nanya sendiri, dan anehnya jawab sendiri. ‘Jangan-jangan… dementor!’ Gue panik sendiri.
Abnormal sekali hidup
ini.
Gue merogoh, mencoba
menggapai benda itu pelan-pelan. Agak merinding juga karena kadang tangan gue
menyentuh jaring-jaring halus. Sampai gue berhasil menarik benda itu keluar.
Benda itu,
Bando milik Salsa.
Gue mengusapnya, lalu
diam sebentar. Entah kenapa barang ini masih ada di kamar gue. Gue dan Salsa bahkan sudah tidak pernah berkomunikasi sejak tujuh? Delapan bulan yang lalu? Pokoknya
lama deh. Waktu itu dia sempat marah besar sama gue. Itu karena gue sok
perhatian dengan bertanya mengenai perubahan poninya. Apa salahnya sih nanya
poni ke orang botak pasien kanker?
Kelanjutannya, ya,
dia ngamuk-ngamuk gak terima. Dia nge-block
semua medsos gue. Telepon gue gak pernah diangkat. Rumah gue dikencingin. Kata
orang-orang, dia langsung ngedit foto avatar twitternya jadi sebelahan sama Adipati
Dolken. Idih, kan gue juga mau.
Beberapa hari
kemudian, dia minta putus.
Udah pasti gue
ngerasa bersalah banget. Erwin Schrodinger, filsuf dari jerman, pernah bilang
kalau kata-kata itu ibarat galah tajam yang panjang. Terkadang kita
mengarahkannya ke kiri, tapi yang kena imbas malah orang di sebelah kanan. Ini
ternyata bener sih. Di dalam kasus gue, apa yang ingin gue tunjukkin adalah
kalau gue perhatian sama dia. Gue pernah baca di salah satu artikel di internet
kalau cewek suka dilihat perubahan di tubuhnya. Satu-satunya yang gue tahu
waktu itu, rambutnya udah gak berponi lagi. Sayangnya, gue tidak tahu kalau efek
samping dari kemoterapi itu ternyata bikin botak.
Gue udah berusaha minta
maaf. Gue samperin langsung, tapi dia gamau ketemu. Untungnya lama kelamaan
luluh juga. Dia baru keluar rumah setelah gue nulis permintaan maaf pake pilok
di tembok rumahnya. Cewek memang sulit dimengerti.
Setelah itu hubungan
kita mulai baik lagi. Meskipun dia belum mau balikan.
Dan untungnya,
beberapa bulan setelah itu, kesehatannya membaik.
Abis itu gue malah
jadi takut dan milih untuk menjauh aja.
Tapi gue masih tidak
paham soal si bando ini. Gimana ceritanya coba bando ini bisa ada di kamar. Gue
coba inget-inget sambil pergi ke dapur, mencuci si bando. Hmmm. Kalau melihat
posisi jatuhnya bando ini, asumsi terngasal adalah kepala Salsa nyungsep di
antara kasur dan tembok. Kepalanya berhasil diselametin keluar, tapi bandonya
tetep nyangkut sampai barusan jatoh pas lagi beres-beres. Tapi… ngapain anjir?
Gue bingung sendiri.
Gue coba buka hape, mengecek kontak di LINE. Lalu mengirim foto bando di tangan.
“IH KOK
MASIH ADA?” tanya dia.
“Capslock jebol bu?”
“IYA NIH. EHEHEHE.
GATAU CARANYA AKU…. EH ITU KOK MASIH ADA?”
“Nggak coba benerin
di konter hape?” tanya gue, mulai keluar urat di kepala.
“KATA MAMA NGGAK
RUSAK DEH. ANEH EMANG. EH JAWAB YA PERTANYAAN AKU!”
“Coba pencet bagian
kiri bawah keyboardnya deh,” balas gue lagi. Urat di kepala udah berubah jadi bakso.
“Oh iya bisa.
Hehehe.”
“MASIH AJA GAPTEK
KAMU YA?”
“Capslock jebol pak?”
“Enggak. Hehehe.”
“Eh jawab dong itu
pertanyaan aku!”
Gue lalu menceritakan
semuanya lewat telepon. Mulai dari bangun tidur, sampai tentang gue yang keingat
masalah kami waktu itu. Lucunya, ternyata, dia, sama seperti gue, sebenarnya
tidak ingin putus komunikasi. Diam-diam dia masih suka membaca twit-twit gue. Dia
belum jadian lagi (ini yang paling penting) dan dia sempat mencari bando itu,
sampai kemudian beli bando baru dengan model yang sama.
Akhirnya kita janjian
untuk ketemuan.
Aneh rasanya ketika
kita ingin bertemu orang yang pernah kita sayangi setelah sekian lama. Gue
berdiri di depan kaca, senyum-senyum sendiri.
Kesan apa yang mau gue
kasih ke dia sewaktu ketemu nanti? Gue membuka lemari. Melihat pilihan baju
yang ada. Putih-putih? Gue mau ketemu mantan, bukan pemburu hantu. Hitam-hitam?
Lebih kayak mau ngelayat. Hitam putih? Kayak zebracross.
Di saat kayak gini,
milih baju kok jadi persoalan yang rumit ya?
Satu minggu kemudian,
gue udah berdiri di depan rak buku fiksi. Pilihan gue berakhir pada kaos hitam
polos dan celana jeans biru. Menjadi nyaman kayaknya pilihan terbaik untuk situasi kayak gini. Sesekali gue mengeluarkan hape, mengecek jam. Masih dua
puluh menit lagi sampai waktu ketemuan. Kalau dipikir-pikir, agak aneh juga
memutuskan buat ketemuan di toko buku kayak gini.
Sambil menunggu, gue
mengambil buku Critical Eleven. Oke, bagi sebagian orang, mungkin gue akan
terlihat banci dengan mengambil buku romance
seperti ini. Tapi mau gimana lagi? Menurut gue tidak ada buku yang terlalu
“pas” untuk cowok kayak gue. Baca-baca buku personal
literature a la Raditya Dika? Kesannya akan jadi seperti cowok yang
kekurangan teman, penyendiri, dan kekanak-kanakan. Sastra? Uh, pasti dicap terlalu
kaku. Baca buku OCD Deddy Corbuzier? Takut gak bisa tidur liat cover-nya.
Di dalam Critical
Eleven ditulis bahwa saat naik pesawat, akan ada sebelas menit krusial yang
bikin kita pasrah. Beberapa menit saat akan terbang, dan menit lainnya saat
bersiap mendarat. Kalau buat gue, bagian paling pasrah pas pesawatnya delay.
“Penumpang dengan nomor
penerbangan VY393 UU diharap menunggu karena penerbangan ditunda 15 menit..”
“Yaaaah… Abangnya mo
pulang… Abangnya mo pulang…”
Oh, itu dia. Datang dengan
totebag hitam bertuliskan “FUCK YOU,
BITCH!” Ini kenapa dia jadi sangar gini ya. Gue lalu berputar ke belakang rak,
berpura-pura tidak melihat. Dari kejauhan dia terlihat masih sama seperti Salsa yang terakhir kali gue ketemu. Badannya, ya, gitu-gitu aja. Kacamata
bulat a la Uya Kuya. Celana jeans dan sneakers. Dan rambut sebahu yang sedikit
dicat cokelat.
Dia ngeliat gue.
Dia senyum ke gue.
Mampus.
Jantung gue berhenti.
Senyumnya kayak
bilang: “Fuck you, Di!”
Dobel mampus.
Gue menarik napas, naroh
buku dengan sok cool abis, lalu
melambaikan tangan. Di sela buku-buku yang ada, dia menyambut gue dengan
hangat. Ini yang gue khawatirkan. Pertanyaan-pertanyaan di masa lalu, dan
kenyataan bahwa dia masih seperti dulu bikin gue kalang kabut. Setelah beberapa
pertanyaan kemudian, gue memberikan bandonya.
“Gimana?” tanya Salsa, langsung memasang benda itu di kepalanya.
Gue mundur satu
langkah. “Kalo aku bilang ‘najis’ pasti kamu jitak kan? Jadi ‘bagus’ deh.”
“Ih kok gitu?!” Dia
mendorong gue.
“Aaaaaaarrggghhh!!”
seru gue, pura-pura mental ke belakang. “Masih macho aja kamu ya. Kalah aku
nih.”
Dia ngegebuk gue. “Sialan!”
Entah apa yang gue
rasakan waktu itu. Tapi rasanya kayak gue menemukan dia lagi. Gue tahu ada jeda
setiap kali dia memilih kalimat tertentu. Gue juga tahu terkadang ada hening
canggung di antara obrolan kami. Tapi, entah kenapa, gue tidak ingin hari itu
cepat berakhir. Sampai kaki kami pegal dan akhirnya memilih untuk melanjutkan
obrolan di salah satu kedai kopi. Stephen Hawking punya kebiasaan berhenti
menulis di tengah-tengah paragraf supaya saat mengerjakan sesi selanjutnya, dia
tidak stuck dan bisa langsung
melanjutkan dengan cepat. Mungkin ini yang gue rasakan sekarang. Gue dan Salsa terakhir ketemu saat kami pertama kali makan di Roti Bakar Eddy. Saat itu kami
bertaruh soal penyebab ramainya tempat ini. Gue bilang karena harganya murah,
sementara dia karena makanannya enak. Di tengah obrolan, tetangga gue
mengabarkan kalau rumah gue kebakaran. Gue pergi sewaktu dia di kamar mandi.
Yha, goblok memang.
Sama kayak gue, yang
masih punya perasaan ke dia. Sampai sekarang.
Goblok memang.
--
Gue diam, menuang
botol coca-cola ke dalam gelas dan meminumnya. Di depan gue, Salsa meletakkan
buku yang baru aja gue kasih. “Bagus sih walaupun tulisan lo kayak tulisan
dokter abis disetrum. Tapi… INI KENAPA PAKE NAMA GUE KAMPRET?!”
“Uhuk! Uhuk! Ehem!”
Gue pura-pura keselek.
“DAN INI APA-APAAN
STEPHEN HAWKING YA?!” Dia menunjuk paragraf akhir dari buku bersampul hitam itu. “Setahu gue yang kayak gitu Hemingway deh. Iya gak sih?”
“OHOHEK HOEK HOEK!!”
Coca-cola muncrat dari lobang idung. Setelah agak tenang, gue bilang, “Yah,
terus terang, gue pengin banget bisa bikin tulisan kayak gitu deh. Kayak
buku-buku yang kesannya hasil riset mendalam. Yang biasa lo baca gitu. Tapi gue
kan gatau harus nyari ke mana. Gue pikir lo nggak bakal sadar, Sa. Ampun.
Jangan amputasi gue.” Gue menutup kepala dengan dua tangan, takut digebuk.
“YEE SI KAMPRET.”
Matanya kembali berjalan di sepanjang tulisan. Sampai kemudian berhenti dan melanjutkan,
“I-ini... Schrodinger juga bukannya yang kucing itu ya?”
Gue menggeleng tanda
tidak tahu. Sambil nengok kanan-kiri. Kali aja ada kantong kresek yang pas
untuk dipake ke muka gue.
Salsa kemudian mengetik
sesuatu di handphone-nya, lalu
memberikannya ke gue. Dia kemudian ngasih tahu kalau Schrodinger itu fisikawan
asal Austria. Terkenal karena teori kucing schrodinger-nya yang menjelaskan
fenomena fisika kuantum. Di saat ini, gue cuman bisa pura-pura haus dan terus
miinum… dan berharap keselek lalu modar di tempat. Malunya itu lho.
Gue menutup buku, memasukkannya ke dalam tas. “Udah,
udah, gak usah dibaca lagi. Malu gue.” Gue menatap wajahnya, berusaha merekam
adegan ini di dalam kepala. Ekspresi wajahnya. Senyum-senyum pengin
ngejitaknya. Caranya menunjuk layar handphone.
Matanya yang cokelat. Dan di dalamnya, ada gue, yang berharap, kalau gue dan dia, akan jadi cerita yang lebih baik dari sekadar tulisan fiksi bohong ini.
Hening canggung.
“Kenapa, Di?”
“Enggak. Enggak ada apa-apa Salsa.”
JADI INI INTINYA FIKSI ATAU NONFIKSI SI? GUA AMPUTASI JUGA NIH! *pencet tombol bagian kiri di bawah keyboard*
ReplyDeleteUdah ga capslock lg, makasih ya abis baca tulisan ini jadi tau cara ngilangin capslock :)
*kabur ke Nigeria
DeletePusing, tapi nikmat kaya beru keluar gitu baca ini :')
ReplyDeleteINI MAKSUDNYA APA YA TOLONG DIPERJELAS!
Deletegue juga bingung nih, jadi ini cerita nyata atau rekayasa belaka *eaa.
ReplyDeleteeh btw tanyain salsa dong beli tote bag "FUCK YOU" nya dimana hwkwkwkw
Di mana? Di rumah dia deh kayaknya.
DeleteKetika sebuah fiksi terasa nyata, itu artinya tulisanmu berhasil. Hahaha
ReplyDeleteMasih nggak bisa nyerna ini fiksi atau nyata.
Biar masyarakat yang menilai..
DeleteEmang OCD itu ada bukunya, ya? Kavernya gambar Deddy pamer otot gitu? Gue malah baru tahu pas baca ini. *googling dulu ah*
ReplyDeleteSalsa jadi liar gitu deh. Tapi kenapa tulisannya gak "HIDUP FEMINISME!" aja? Lebih keren gitu lho. :(
Karena dia gak beli itu (?)
DeleteBagus.
ReplyDeleteMakasih kak.
DeleteKAPSLOK nya zebol bang!
ReplyDeletesalsa, tetep cantik kok bando itu di kepalamu *oposih
INI KENAPA MALAH MENDADAK GOMBAL YAA?
DeleteSeinget gue, Schrodinger adanya di pelajaran Fisika atau Kimia deh. Kapan dia jadi filsafat?!
ReplyDeleteSalsa nama panjangnya Salsaparilla bukan, ya?
Ya emang bukan filsafat. ._.
Deletegua bacanya agak bingung siih..
ReplyDeleteTapi...
yaa...
bagus kok
Biar masyarakat yang menilai..
DeleteSetau gua sih Salsa itu tarian yang melengkung-lengkung kaya cacing kepanasan
ReplyDeleteITU TARI BALET!
DeleteBoleh nih kalau dibikin postingan tentang tutorial agar capslock nggak jebol. Hahaha
ReplyDeleteGue gagal paham. Kan milihnya ngobrol di kedai kopi, ya? Yang di minum kok Cola? Bukan kopi atau sejenisnya? Hmm.. :)
Well, ceritanya bagus, Di! Gue malah bingung ini fiksi atau nyata? Coba deh lu jawabin tuh komen-komen di atas. Biar mereka nggak mati penasaran. Hahaha
Karena... dia mau belinya itu (?)
DeleteAnjir nape adegan lo ketemu salsa di toko buku itu romantis menurut gue sih?
ReplyDeleteBtw, gue pernah bikin tulisan fiksi pake nama asli dan gue kasih tau ke orangnya dan orangnya ketawa-tawa doang :D
FIKSI PAKE NAMA ASLI ITU APA YAAA?
Delete