Masih terdengar jelas
di kepala gue suara tangis Agung lima belas menit yang lalu. Kalimatnya yang
terputus-putus karena harus menarik napas, menjaga supaya tidak sesak. Semakin
lama jeda kalimat yang dia buat, semakin lama gue berpikir tentang kebenaran
kabar yang dia sampaikan. Setelah telepon gue tutup, entah kenapa ada dorongan
untuk pergi ke minimarket, membeli tiga kaleng kopi, lalu naik ke lantai
tiga gedung MIPA.
Gue duduk bersender
di pilar putih,
menatap samar-samar langit
Bogor yang tertutup kabut.
Ketika ada kabar yang
datang saat kita tidak siap, hal pertama yang dilakukan adalah bertanya. Orang-orang yang mendapat
kejutan di hari ulang tahunnya akan bertanya sambil tersenyum, memeluk semua
temannya satu per satu. Seorang anak yang mendapati Ayahnya pulang kantor lebih
cepat, akan bertanya sambil mencium tangannya, membuka mungkin martabak, atau
brownies, atau apapun oleh-oleh yang dibawakannya. Orang-orang yang mendapat
kabar tentang kematian sahabatnya, akan bertanya kepada dirinya sendiri.
Matanya mengawang-awang. Pikirannya terus, dan terus berputar.
Ini yang sedang gue
alami. Setiap mengingat kalimat ‘Bobby udah nggak ada’ dari Agung lima belas
menit yang lalu, gue menenggak kopi. Mendalami kalimatnya. Suaranya. Maksudnya.
Sambil menatap jauh ke lampu jalan di bawah. Mendengarkan hening yang datang bersama
angin malam. Gue seperti orang mabuk, versi lebih cemen.
Setelah lama
berpikir, akhirnya gue menyerah. Selama ini gue menganggap kematian adalah hal
yang samar. Meskipun gue tahu setiap harinya ada orang yang meninggal di rumah
sakit, atau tewas saat perang, atau kecelakaan, tapi gue tidak pernah menganggap
itu ada. Gue melupakan satu kenyataan bahwa kematian itu benar-benar ada; dan
itu pahit.
Mendadak, gue kangen
Bobby.
Lucu bagaimana kita
lebih sering kangen ketika orang tersebut tidak ada bersama kita. Kita baru
merasakan pentingnya orang itu, justru di saat dia tidak ada. Gue ingat banget
dulu, sebelum masa game online meledak, kami sering main game Harvest Moon. Sebuah permainan di
mana kita menjadi petani yang mengurusi sawah dan peternakan. Karena permainan ini
hanya bisa dimainkan satu orang, jadilah kami bertiga mengakalinya dengan main
di rumah masing-masing, kemudian saling teleponan dan berpura-pura mempertemukan
karakter kami di satu tempat.
‘Oh, lo di toko? Mau
beli bibit apa? Tungguin ya. Gue juga mau ke sana.’ Gue menjepit gagang telepon
di antara pundak dan telinga kiri, sementara tangan sibuk menekan joystick.
Walaupun gak penting
dan kelihatannya aneh, tapi saat itu telepon rumah adalah satu-satunya alat
yang mempertemukan kita ketika jauh. Telepon menjadi penghubung yang membuat
kami semakin dekat.
Sampai kemudian, gue
sadar. Kami tidak akan bisa melakukannya lagi. Bahkan dengan zaman yang sudah
jauh lebih canggih, gue tidak bisa menghubunginya lagi.
Tiga kaleng kopi
sudah habis gue minum,
Ponsel gue berbunyi.
Satu pesan dari Agung: ‘Sekarang kita cuman bisa berdoa aja, Di.’
--
Sekarang
#IndonesiaMakinDigital. Cara kita berhubungan menjadi lebih cepat dan taktis. Dengan
menggunakan simPATI, misalnya, kita bisa menghubungkan orang-orang di mana saja.
Kita bisa menelepon orangtua di kampung halaman saat merantau. Atau traveling tanpa harus goyang-goyangin
hape di pinggir jalan untuk cari sinyal.
![]() |
nyari sinyal |
Ini karena simPATI merupakan provider dengan cakupan sinyal
paling luas. Lucunya, gara-gara sinyal ini gue dan Abang gue pernah ketakutan
setengah mati. Jadi, pas gue SMP, Nyokap tiba-tiba mengabarkan kalau dia harus
dinas di Taman Nasional Gunung Halimun Salak selama tiga hari. Berhubung ketika
itu Bokap kerja di Cirebon, Nyokap jadi cemas, takut anaknya kenapa-kenapa di
rumah sendirian. Dan lebih takut rumahnya dibakar dua anaknya ini.
Kesedihan bagi satu
orang mungkin tidak berarti bagi orang lain. Nyokap yang sedih karena bakal
ninggalin kami sendirian bukan berarti membuat kami sedih. Buat abg seperti
kami, momen ini bernama: Kebebasan! Kepala gue langsung memutar adegan-adegan party di film-film: gue mengundang
berbagai temen, nyetel musik kenceng-kenceng, makan popcorn, lalu mandi di Jacuzzi
bareng cewek-cewek. Khayalan itu pun sirna seiring gue yang inget kalo di kamar
mandi cuman ada ember dengan gambar bebek kuning. Gue merasa nyempil di
ember rame-rame nggak akan bikin keren (yaiyalah!), yang ada pantat gue migrain
karena dempet-dempetan.
Setelah Nyokap pergi,
kami pun segera menjalankan aksi masing-masing. Gue menelepon temen SMP, dan
Abang gue memanggil arwah penasaran temannya. Malam itu niat kami hanya
satu: Adu turnamen game Playstation bola!
Seperti halnya cowok
lain ketika main Playstation bola, ada aja keributan yang terjadi. Kalimat drama yang
biasanya terlontar di antaranya: ‘Stick-nya gak asik nih!’ atau ‘Kalo ngegolin
replay-nya gak usah ditonton kenapa!’ sampai ‘Pemain gue tadi lagi jelek
statusnya!’ Namun, dari semua drama abg cowok saat main game PS bola, yang
paling bikin emosi adalah mereka yang ngegolin menggunakan metode operan
satu-dua. Atau bahasa inggrisnya: one-two.
Atau dalam bahasa alay: wancu. Teknik itu membuat penyerang mampu membobol
gawang lawan dengan gampang. Makanya, ada semacam peraturan tidak tertulis yang
menyebutkan bahwa main game PS bola itu gak boleh pake wancu. Kami pun sepakat
kalau wancu adalah teknik pengecut.
Di tengah keriuhan
main game PS bola,
telepon rumah bunyi.
Suasana mendadak
hening.
Agung menekan tombol start. Mem-pause permainan, lalu menengok ke arah gue. ‘Kata lo di tempat dinas
Nyokap gak ada sinyal?’
Gue hanya menaikkan bahu.
Telepon terus berdering. Gue mengangkat telepon dan menaruh jari telunjuk di
depan bibir. Memberikan kode kepada yang lain untuk memotret diam.
‘Halooo!’ Suara yang
tidak asing. ‘Di rumah apa kabar?’
Gue diam. Lalu berniat
bikin bingung orang ini dengan bertanya, ‘Password-nya?’ tapi gue yakin Nyokap bakal
ngomel. Jadi gue jawab: ‘Baik kok, Bu. Ini di rumah lagi pada main pees.’
‘Lho, udah jam berapa
ini?’ Gue melihat jam di dinding: pukul sembilan malam. ‘Suruh pulang aja
temennya. Udah malem gini lho.’
‘Ibu kok bisa
nelepon?’ tanya gue, berusaha
mengalihkan pembicaraan.
‘Iya nih. Ibu juga
kaget. Ternyata simpati doang yang bisa di sini! Hihihihi,’ Nyokap ketawa geli.
Bangga bener.
Kalimat itulah yang
paling berkesan di kepala gue. Karena selain langsung kepikiran, ‘Wow. Keren
juga simPATI. Sinyalnya ada sampai ke mana-mana’ juga menimbulkan ‘Wow. Beruntung
sekali Agung. Gakjadi gue bantai dengan teknik wancu.’
![]() |
Connect Everywhere |
Di zaman sekarang, hal
seperti itu masih amat mungkin terjadi. Perbedaannya hanya sekarang, semua hal menjadi
serba digital. Itulah sebabnya kita sering menemukan abege yang hapenya mahal
tapi gak punya pulsa telepon. Sekarang, melalui internet, kita tidak cuma bisa
berhubungan dengan cepat, tapi juga praktis. Untuk kebutuhan sehari-hari, kita
sudah bisa teleponan menggunakan internet. Bagi yang pergi merantau dan kangen
orangtua, bisa video call dan melihat
wajah mereka secara langsung. Bagi yang posesif, bisa memanfaatkan internet untuk
mintain foto lagi di mana dan sama siapa ke pacarnya.
— Kresnoadi DH (@keribakeribo) November 13, 2016
Untungnya, tingginya kebutuhan internet ini juga didukung oleh jaringan 4G yang membuat kita tidak perlu panik dan bertanya, ‘Kamu panas dalam? Kok mukanya pecah-pecah gitu?’ saat melakukan video call. Satu hal yang mungkin banyak orang tidak tahu adalah, untuk mendapatkan akses jaringan 4G, kita harus menukar kartu SIM tersebut dengan simcard yang sudah 4G. Dan hal lain yang mungkin banyak orang tidak tahu adalah, kita tidak harus ke GraPARI buat ngurusnya:
Ironisnya, era #IndonesiaMakinDigital
ini mengubah gaya hidup kita dalam berkomunikasi. Sejujurnya, ada hal-hal yang
gue kangenin saat masih menggunakan telepon rumah. Perasaan deg-degan karena
tidak tahu suara siapa di seberang sana. Perasaan cemas karena takut salah
ngomong. Perasaan memilih-milih kalimat yang tepat, untuk meminta izin supaya
dapat menghubungkan dengan orang yang ingin kita telepon. Perasaan takut karena
yang terdengar justru suara orang asing, dan akhirnya kita menutup telepon.
Bagaimana telepon
rumah, secara tidak langsung membuat kita berpikir terlebih dahulu sebelum
berbicara. Berbeda dengan zaman sekarang di mana setiap orang punya ponsel masing-masing
sehingga bisa berbicara secara langsung. Zaman di mana orang merasa asing
berkomunikasi secara langsung. Bagaimana kita jadi takut memanggil orang saat di
depan rumah dan justru memberikan pesan kepada orang itu untuk keluar.
Bagaimana ketika baterai ponsel habis, ada sepuluh menit yang dihabiskan untuk berunding di dalam mobil tentang siapa yang akan menanyakan alamat kepada pejalan kaki.
Karena merasa ‘jauh’,
internet membuat kita jadi berani berbicara apa saja. Semakin ke sini, kita semakin
sering menemukan komentar-komentar tidak pantas. Terlebih situasi politik saat
ini yang sedang memanas. Internet dijadikan sarana untuk memaki. Menyebarluaskan kebencian kepada orang lain. Kondisi ini diperparah dengan mereka yang berlindung
di balik “freedom of speech”. Internet
membuat kita tidak sadar, bahwa sebetulnya, kita harus bertanggung jawab atas
apa yang kita lakukan.
Melihat ini,
tampaknya kita harus lebih dari sekadar bersimpati. Kalau Agung mengingatkan
gue bahwa satu-satunya cara untuk berhubungan dengan orang yang sudah tidak ada
adalah dengan berdoa,
kenapa selagi ada di dunia,
kita tidak
menghubungkan hal-hal baik saja?
Tulisannya lagi bener banget, bang. Suka! :))
ReplyDeleteGue kira peraturan wancu cuma ada di rumah gue doang. Ternyata semua orang sebel sama teknik ini. :')
Paket lengkap banget nih postingannya mas adi, sedihnyq dapet, ngehiburnya juga dapet, infonya juga dapet.
ReplyDeleteEhek
Ya gitu, aku kalau mudik lebaran, yang ada signal di kampung cuma simpati doang. Lainnya tenggelem. Segarispun gak ada.
Simpati emang udah keren dari jaman baheula. Dari jaman aku punya hape.
Bertapake goa mana dulu lu Di buat bikin tulisan serapih ini?
ReplyDeleteSamalamin buat Agung, semoga dia baik-baik aja :)*lha?!
Di awal, saya sudah bersiap untuk masuk lebih dalam. eee ternyata. hahahah
ReplyDeletebtw kalau tempat saya, cuma telkomsel yang masuk signalnya. yang lain nggak ada!
awalnya gua sedih banget bacainnya..
ReplyDeleteTapi semakin gua baca, malah jadi prihatin sama keadaan diginal sekarang ini..
memang iya lhoo..
Semua hal yang semakin memudahkan kita berkomunikasi ngebuat kita jadi enggak mikir lagi sebelum ngomong..
kangen juga nih sama era telpon rumah dulu
kalo tsel emang sinyalnya kuat dimana2. Hmmm mantab juga grafiknya.
ReplyDeleteAwalnya udah kebawa sedih. Makin ke bawah makin asik haha
ReplyDeleteMasih setia sama telkomsel buat hubungan sama mami di rumah euy :)
Gue bingung mo komen apa, stuck di kata 'udah gak ada'.
ReplyDeleteTerus mikir, kalo kita udah gak ada, apa masih orang lain inget kita? Iya sih mungkin sebulan dua bulan masih banyak yg do'a-in.. tapi perlahan mungkin kita bakalan di lupain juga.. mentok2 dikunjungi pas hari lebaran doang.. :')
Peraturan wancu kayaknya mendunia deh Di..ehehehe
ReplyDeletetulisannya rapih, ntap..
tulisannya kok bagus? aku pun pengguna telkomsel dari sejak smp... tapi mahal paaak, sekarng ngga begitu mampu membiayai :(
ReplyDeletejadi rumah lw jadi kalian bakar ???? saat bokap di cirebon dan nyokap ke halimun ??
ReplyDeleteYHA!
ReplyDeleteKOK TUMBEN.
TUMBEN BANGET NULISNYA BENER YHAAAAAAAAAAAAAA
BIASANYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA TAK PAKAI MINYAK WANGI... BIASANYA TAK SUKA BEGITU.
Sayangnya hape gue belum support 4G =="
ReplyDeleteBeliin aifon dong om beliinn
Adi kalau lagi bener tulisannya ganteng gini. :))
ReplyDeleteYeh, wancu memang cemen! Nggak ada skill-nya lah itu. Apaan dari belakang sampe ke depan bola bisa gak kerebut. :(
Tulisan lo agak bener kayak biasanya bang. Haha
ReplyDeleteBtw, HP gue belum 4G nih. :((((
Kaaak, video call-an yukkk! :D
ReplyDeleteTulisannya juarak.
Wiiiihh canggih!
ReplyDeleteKartuku masih 3G,
lemot banget kalo buat internetan.
Nemu aja lagi yang beginian. Bagus..bagus..
nice post. pembelajaran hidup terselubung lewat tips "upgrade 4G".
ReplyDeletemakasih ilmunya, Adi. You rock.