No, I really don’t.
Terus terang, gue
paling nggak bisa motivasi orang. Nyuruh orang untuk berbuat baik dengan
kata-kata bijak itu susah banget. Melihat track record yang ada, kayaknya gue
lebih sering menyesatkan orang lain deh. But now, I should do that. Gue merasa
harus memotivasi diri gue sendiri. Jadi, kayaknya, tulisan ini akan jauh
berbeda dari biasanya. Tulisan ini akan menjadi sesuatu yang gue buka dan gue buka kembali,
kalau suatu saat nanti gue down. Jadi kalo ada temen-temen yang nggak sengaja
baca ini dan berharap mendapatkan sesuatu yang lucu, lebih baik cari post lain
aja ya. Hehehe.
Dulu banget gue
pernah menulis tentang keanehan yang ada di dalam diri gue. Tentang gue yang
selalu caper dan merasa terus kesepian. Tentang gue yang merasa sendirian. Gue gatau apa istilahnya, tapi penyakit mental ini lama-lama bikin gue capek. Well,
I know it kinda sucks to share it here and make it public. Tapi gatau kenapa
gue merasa ada dorongan untuk melakukannya. Gue merasa dengan menjadikan ini
sebagai konsumsi publik, paling tidak membuat gue merasa tidak sendirian.
Belakangan ini
penyakit itu muncul lagi. Gue merasa kalau gue gak punya temen. Gue merasa
kalau gue nggak punya keluarga. Gue tidak memiliki ayah, tidak memiliki ibu,
tidak memiliki saudara kandung. This fucking disease menggerogoti gue sedikit
demi sedikit. Gue merasa tidak punya siapa-siapa. I don’t have any hand to grab
with to cross the road. Gue, perlahan-lahan dihisap masuk ke dalam lubang gelap
yang ada di dalam pikiran gue sendiri.
Dan ini menyakitkan.
Terkadang, di suatu
malam, gue mengeluarkannya sebagai bentuk kemarahan. Gue mengambil bantal, melemparnya
ke dinding sekeras mungkin. Berharap penyakit ini ikut keluar, terlempar dan
pecah di tembok kamar. Di waktu yang berbeda, gue mengeluarkannya menjadi kesedihan.
Masuk ke kamar, mengunci pintu dari dalam. Masuk ke dalam selimut, masih dengan
pakaian kerja, lalu diam menatap pintu yang ada di depan. Sampai kemudian mata
gue panas, menangis, dan akhirnya terbangun dengan kepala sakit. Gue pikir hal
seperti ini cuma ada di sinetron-sinetron, tapi ternyata tidak. Ini benaran
ada. Dan sayangnya, ada di diri gue.
Penyakit ini pun
punya rentang yang sangat lebar. Di satu waktu, gue bisa sembuh hanya dengan
mendengarkan lagu-lagu ceria, atau menonton film lucu. Di waktu yang lain, penyakit
ini bisa sangat parah. Ia bisa membuat gue berpikir kalau every conversation in
this whole world is bullshit. Gue sempat berpikir bahwa tidak ada percakapan
yang murni. Tidak ada dua orang yang mengobrol, murni karena ingin
bercakap-cakap. Semua obrolan di dunia ini terjadi karena salah satunya ingin
mendapat untung. Seorang kawan yang menceritakan kelahiran anaknya, terjadi karena
dia ingin diberikan ucapan selamat. Seorang teman yang gak kenal-kenal banget, ngechat
karena si orang ini lagi kesepian, atau ada kondisi yang mengharuskan dia untuk
pura-pura sibuk main hape. Dua orang asing yang mengobrol di bandara, terjadi
karena sama-sama tidak tahu harus membunuh waktu dengan cara apa, akibat
pesawatnya delay.
Gue sempat berpikir
bahwa tidak ada orang yang benar-benar peduli terhadap orang lain, kecuali itu
menguntungkan dia.
I know that was an
evil thought,
and I really hate it.
Masalahnya, kondisi
ini diperparah dengan gue yang introvert. Gue yang susah untuk menceritakan apa
yang gue rasakan kepada orang lain. Gue yang susah percaya orang lain, karena beberapa
kali dibohongi. (I really don’t understand with those kind of friends yang kita
harus bilang, ‘tapi jangan cerita ke orang-orang ya’ di akhir cerita supaya apa
yang kita ceritain nggak disebar. Hey, you are my friend and you don’t know
what should you keep or share? What kind of friend is that?).
Oleh karena itu, gue mulai
belajar sedikit demi sedikit untuk terbuka. Gue juga mencari tahu tentang orang-orang
yang punya ‘masalah’ yang sama kayak gue. Karena terlepas dari benar atau
salahnya, persamaan selalu membuat kita merasa lebih kuat kan? Akhirnya, gue
jadi sering baca-baca tulisannya Jenny Lawson, yang punya masalah depresi. Gue
cari artikel dan nonton stand up-nya Tig Notaro, yang pernah divonis mati
karena kanker payudara dan sempat bikin dia stres berat. Gue berkali-kali
nonton My Drunk Kitchen-nya Hannah Hart, yang juga punya mental illness, dan
harus tumbuh dengan melihat sosok ibu yang mengalami schizophrenia.
Gue tahu gue harus
lebih terbuka dan itulah kenapa gue memutuskan untuk bikin tulisan ini. Gue
sadar kalau gue harus berdamai dengan ini. Gue harus sadar kalau gue, sebenarnya tidak apa-apa dengan
perasaan kesepian ini. Kalau gue harus berdiri, bukan untuk membuktikan kepada
siapapun. Melainkan karena gue memang ingin berdiri.
I know I can beat
this fuckin disease.
Fuck you, Loneliness!