Hari sabtu kemarin,
gue sama temen-temen kantor bikin acara perpisahan ke Taman Bunga Nusantara di
puncak.
Terus terang, gue
belum pernah ke sana dan udah lama juga nggak main ke alam terbuka kayak gitu.
Seperti halnya cewek-cewek kebanyakan, temen yang lain langsung sigap mencari
lokasi foto yang cihuy. Berjalan dari satu bunga ke bunga yang lain. Bergaya dari
satu pose, ke pose lain.
Gue sendiri cuman
ngelihatin dari belakang.
Entah kenapa selalu
ada perubahan raut wajah tiap kali cewek-cewek ini berfoto. Dari yang biasa
aja, lalu, ketika kamera datang menyorot, mata mereka seketika berubah
berbinar-binar. Kamera adalah sihir terhebat yang memaksa cewek-cewek supaya
senyum.
Setelah beberapa kali
melewati lokasi bagus untuk foto, gue melewati deretan pohon jamuju (Dacrycarpus imbricatus), pohon yang
memiliki daun seperti sisik ikan. Lucunya adalah, di antara deretan pohon jamuju
ini, terdapat kawat-kawat yang tersambung dari satu ranting, ke ranting pohon
di sebelahnya. Gue lalu sadar bahwa kawat tersebut berfungsi sebagai ‘jalan’
bagi daun-daun yang baru tumbuh. Mereka akan menjalar mengikuti arah kawat
tersebut. Nantinya, deretan jamuju ini akan berubah menjadi tembok tipis
berwarna hijau.
Melihat fenomena ini,
gue nyeletuk asal ke Ratsa, salah seorang temen kantor, ‘Sa, keren, ya. Tanaman
aja bisa diatur gitu. Gak kayak manusia.’
Ratsa kemudian
menoleh sambil memberikan tatapan temen-gue-sarapan-apaan-tadi-pagi. Dia
membalas, ‘Iya juga ya. Tapi bakal ancur sih kalo gak rapih.’
Gue lalu melihat
kumpulan bunga berwarrna ungu di depan. Tanamannya dipangkas sehingga berbentuk
kotak sempurna dengan bunga-bunga yang bermekaran di atasnya. Sangat cantik dan
bikin orang pengin senyum-senyum sendiri.
Lalu gue sadar
sesuatu.
Semua keindahan ini,
warna-warni ini, timbul karena si tanaman selalu dipotong dengan bentuk yang
menarik. Karena rajin dipangkas, daun yang berada di paling atas menjadi daun
termuda, daun paling segar dan fresh. Hal ini amat berbeda dengan hubungan gue
dan Deva dua bulan belakangan.
Gue dan Deva,
sudah memilih untuk berpisah.
Mungkin, sama seperti
tanaman-tanaman di taman bunga itu, keindahan hubungan kami terbentuk pada saat
awal hubungan kami terjalin. Pada masa itu, apapun yang kami lakukan, semuanya terasa
begitu manis. Dan, sama seperti tanaman-tanaman di sana, perasaan kami
bertumbuh dengan begitu lebat. Bodohnya, kami hanya membiarkannya begitu saja.
Dari munculnya ribut-ribut kecil. Lalu, masalah demi masalah mulai datang satu
per satu, menumpuk tanpa ada yang memangkas. Hasilnya, hubungan kami menjadi
berantakan dan tidak cantik lagi.
Seandainya
memperbaiki hubungan semudah memotong ranting yang kepanjangan.
Gue akan melakukannya
setiap minggu.
Masalahnya, hubungan
yang kusut tidak semudah itu dibetulkan. Memperbaiki hubungan tidak sesederhana
mengambil gunting, mencari daun-daun yang busuk, lalu memangkasnya begitu saja.
Masalah yang kami pikir akan selesai dengan didiamkan, justru tidak pernah
selesai. Sebaliknya, masalah itu akan bertambah kusut dan kompleks.
Satu hal yang
menyedihkan adalah, satu minggu semenjak perpisahan dengan teman-teman kantor
baru, adalah hari anniversary pertama kami. Hari yang kami tunggu-tunggu sejak
lama.
Sekarang, Deva sudah
mulai menemukan pengganti gue. Seseorang, yang, bersama dengannya, akan membuat
taman baru di hidupnya. Semoga dia bahagia, bisa membuat taman yang indah.
Entah dengan siapapun itu.