Banyak yang tidak tahu, meskipun tulisan gue di blog ini kebanyakan haha hihi gak jelas, gue
juga membaca hampir semua jenis buku. Malah, dua buku lokal pertama yang
membuat gue jadi ingin menulis (setidaknya menulis di blog) adalah buku fiksi.
Nah, bicara soal
fiksi, tidak lepas dari yang namanya karakter. Untuk membuat sebuah cerita yang
kuat, kita membutuhkan karakter yang nyata. Karakter dalam sebuah cerita harus
logis, seperti manusia di muka bumi pada umumnya.
Karakter-karakter
dalam cerita tersebut, selain kita harus tahu bentuk fisiknya (rambutnya
panjang atau tidak, perawakannya, bentuk giginya) kita juga harus tahu pola
pikirnya. Bahkan latar belakang si tokoh. Kita harus membuat si tokoh
benar-benar mirip dengan manusia, ia punya agama, bagaimana takdirnya, apa yang
akan dilakukan ketika dihadapkan sebuah permasalahan tertentu. Neil Gaiman
bahkan sering main dan kumpul dengan teman wanitanya sebelum membuat tokoh
wanita di dalam novel-novelnya.
Terkadang, saking
banyaknya pilihan dalam menentukan watak dari karakter yang akan kita buat,
kita jadi bingung sendiri dan tidak konsisten. Maka dari itu, kita dapat
membuat opsi lain selain membuat si tokoh,
yakni dengan menemukan tokoh kita. AS
Laksana, penulis sekaligus pengisi Ruang Kolom Putih Jawa Pos, memberikan cara
termudah untuk itu: mewawancarainya.
Nah, jadi gue
kembali membuat tantangaaaaaaaaaaaan! (semena-mena) Hehe.
Yosh.
Kemarin gue sudah
mewawancarai tokoh Lintang di dalam kehidupannya di dunia cerita. Berikut
kutipan wawancara gue dengan tokoh Lintang:
…
Aku baru selesai mandi dan langsung
takjub ketika seluruh Anak dan Istriku duduk lesehan di depan tv, memandangi
seseorang berbicara dengan lantang. Mereka mendengar dengan serius, ruang
keluarga menjadi hening.
Selanjutnya, tidak tahu apa
yang terjadi denganku. Badanku seperti tertarik sendiri dan ikut duduk di tikar
bambu bersama mereka.
Setelah acara yang
menampilkan koar-koar orang itu selesai, aku ingin terjatuh. Badanku tiba-tiba dapat
digerakkan kembali. Penasaran, kucari tahu nama orang itu: Lintang.
Lintang tinggal di sebuah
rumah dengan atap mirip kubah, di sebuah tempat di belakang gunung. Di pagarnya
penuh tulisan ‘Awas Anjing Galak’. Namun, sudah terlanjur kuat nyaliku, maka
kuminta satpam yang sedang duduk santai untuk menemuinya. Awalnya satpam itu bilang
bahwa ia sibuk, tetapi setelah kuperlihatkan kartu nama dan ID Card wartawanku, ia mempersilakan.
Ternyata rumah orang ini
unik—kalau tak boleh kubilang eksentrik. Ruangan pertama yang kumasuki penuh dengan
guci dan lantai yang mengilap. Ubinnya besar-besar, seperti masuk ke
supermarket yang menjual guci khusus untuk orang kaya. Aku mengucap ‘permisi’
dalam bahasanya, namun satpam itu segera menyuruhku menutup mulut. Katanya, ia
sedang berada di alam lain.
Semakin ke dalam dan ruangan
berganti ruangan. Telah kulewati ruangan yang seluruhnya dipenuhi warna merah
dengan lukisan naga terbang besar di dinding. Juga ruangan yang baunya seperti
aroma melati, tapi lebih busuk. Pun dengan ruangan yang dipenuhi kursi kayu goyang,
sofa, dan televisi, mungkin itulah ruang tamunya.
Dan sampailah aku di
dalam—tepatnya di bawah tanah—kutahu karena aku masuk melalui pintu yang berada
di lantai. Di sebuah ruangan gelap itu, yang diremangi lilin-lilin di
sekitarnya, orang itu duduk bersila. Aku mengucap ‘permisi’ sekali lagi dan si
satpam segera menyuruhku menutup mulut kembali.
‘Jika kau ingin bertanya,
bertanyalah dengan menulis. Si satpam menyodorkan papan tulis kecil dan sekotak
kapur. ‘Diam dan menulislah,’ katanya lagi.
Aku kemudian menuliskan
pertanyaan pertama: ‘Apa benar namamu Lintang?’
Si satpam mengambil papan
tulis kecil itu, lalu ia menyerahkannya ke depan Lintang. Mata Lintang tetiba
terbuka dan melotot ke arah papan tersebut. Ia mengerang. Meringis. Tanganku
dingin.
Ia mengangguk.
Lalu pertanyaan lanjutanku:
‘Kenapa sewaktu kau berbicara di televisi, orang-orang seperti terhipnotis,
tidak dapat menggerakkan badannya?’
Ia hanya mengerang,
tangannya menggaruk-garuk tanah dan bebatuan di tempatnya duduk.
Aku menulis lagi, ‘Apa kau
melakukan hipnotis?’
Ia kembali mengerang.
Perilakunya seperti macan, dan sekarang kepalanya berada lima senti di depan
kepalaku.
Aku bertanya kepada satpam,
apa aku boleh membuatnya menjadi waras—agar tanya jawab ini cepat selesai dan
ia tak perlu kulaporkan apa-apa ke media—dan ia pun setuju. Sebagaimana
orang-orang kecil yang tunduk pada ancaman, satpam ini akhirnya mengambil
sebuah kendi di belakang orang itu. Ia kemudian menaburkan bebungaan lantas
mengucurkan kendi tersebut ke telapaknya dan membasuh wajah Lintang. Beberapa
jenak dan Lintang tersadar.
‘Bagaimana kalau kau sedang
tidak bekerja di sini? Apa ia akan waras dengan sendirinya?’
Si satpam hanya menaikkan
tangannya, tidak menjawab pertanyaanku.
Kami kemudian pindah ke
ruangan yang berisi kursi goyang kayu, sofa, dan televisi dan tebakanku benar
bahwa ini adalah ruang tamu. Lintang sudah sepenuhnya sadar ketika si satpam
menjelaskan kedatanganku ke sini. Ia melempar kausnya yang penuh keringat ke
atas kursi goyang. Kami duduk lesehan di depan sofa.
‘Kau tidak mau memakai kaus
dulu?’
‘Tak perlu,’ katanya. ‘Ini
kebiassaan.’
‘Baik, akan kuulang
pertanyaanku, ‘Apa benar namamu Lintang?‘
‘Apa maksudmu? Tentu saja
begitu.’
‘Lalu, kenapa sewaktu kau
bicara di televisi, kami mendadak tak dapat menggerakan badan? Semua baru bisa
digerakan ketika acaramu usai.’
‘Aku menggunakan hipnotis.’
‘Hipnotis? Hipnotis
bagaimana?’
‘Apa urusanmu?’ matanya
melotot.
Aku mengeluarkan kartu nama
dan ID Card wartawanku dan ia kembali
tenang.
‘Mungkin kau melihat ada
sekelebat benda hitam yang pergi dari rumahmu sewaktu acaraku selesai. Aku
menggunakan benda hitam tersebut
untuk menghipnotis penonton.’
Aku heran, sesungguhnya aku
tidak melihat apapun pada hari itu. Maka kukatakan hal itu padanya: ‘Aku tidak
melihat apapun.’
‘Itu salahmu,’ katanya. ‘Aku
telah menjelaskannya dengan benar dan jujur dan kau tidak memercayainya.
Wartawan macam apa kau ini?’
Aku kemudian mencatat di note kecil bahwa benda hitam itu berpengaruh besar terhadap acaranya. ‘Apa kau
menyebar benda itu ke seluruh rumah di dunia ini? Bagaimana cara kau
menyebarnya?’
‘Itu rahasia.’
‘Lalu apa motifmu?’
‘Motif?’
‘Kenapa kau melakukan semua
ini?’
‘Ini demi Ibuku.’
‘Ceritakan tentang ibumu.’
‘Tentu aku tidak akan
menceritakannya, namun kau pasti akan menggertak dengan ID Card itu lagi, maka kuceritakan seperlunya saja,’ katanya.
‘Ibuku, tadinya adalah orang yang suci. Sebelum ia bertemu keparat itu.’
‘Siapa dia?’
‘Entahlah.’
‘Lalu?’
‘Keparat itu adalah seorang
pegawai negeri. Jabatannya tinggi. Aku melihatnya pertama kali ketika usiaku 6.
Di sekelilingnya kulihat banyak benda hitam. Ia penghancur keluargaku. Ayahku
sering bertanya siapa dia dan Ibu hanya menjawab bahwa ia adalah orang yang
baik, sering membantunya di kantor. Ayah tak percaya.’
‘Nama orang itu?’
‘Entahlah. Aku tidak tahu.
Ayah mungkin juga tidak tahu. Tapi yang kutahu, ia memiliki banyak benda hitam,
seperti yang kukirim ke rumah orang-orang ketika menonton acaraku.’
‘Lalu apa rencanamu?’
‘Aku ingin sewaktu si
keparat itu menonton acaraku, ia sadar akan adanya benda hitam itu, lalu tahu
bahwa aku adalah anak dari perempuan yang direbutnya dari Ayah. Aku ingin
meninju kepalanya sampai hancur.’
‘Sekarang di mana Ayahmu?’
‘Ia ada di halaman
belakang.’
‘Sedang apa?’
‘Tidur. Di dalam tanah. Ia
mati depresi karena cintanya terhadap Ibu tidak tersalurkan. Begitulah, ia mencintai
Ibu. Ibu memilih si keparat karena benda hitam itu dan Ayah memilih tambang
untuk disangkutkan ke leher. Aku cinta Ayah Ibu.’
‘Sekarang di mana Ibumu?’
‘Entah. Makanya aku mengisi
acara itu. Orang-orang berpikir bahwa aku adalah orang yang mampu memotivasi
orang dan aku tidak peduli. Acara itu tak lain adalah alat untuk aku menemukan
Ibuku.’
‘Lantas kalau kau sudah
menemukan Ibumu, apa yang kau lakukan?’
‘Aku ingin menunjukkan Ayah
kepadanya.’
‘Hanya itu?’
‘Aku ingin meninju si
keparat sampai hancur.’
‘Hmm baiklah,’ kataku sambil
berdiri. ’Cukup sampai di sini pertanyaanku. Kupikir kau adalah orang yang
busuk. Nyatanya tak begitu, hanya caramu yang busuk. Semoga kau cepat bertemu
Ibumu.’ Aku pamit dan menyalami tangannya.
‘Kalau bertemu Ibuku, katakan
aku cinta dia juga suaminya yang dulu.’
Aku tersenyum dan
meninggalkan rumah yang dipenuhi ruangan-ruangan aneh tersebut. Si satpam
mengawalku sampai ke depan pagar. Mulanya ia meminta tip karena sudah
menghabiskan waktu majikannya untuk mengambil benda hitam, tapi kusodorkan
kartu namaku, ‘telepon aku. Uangnya akan kukirim lewat majikanmu.’
…
Kalian juga bisa
melakukan wawancara terhadap anakku,
istriku, si pegawai negeri, Ayah Lintang, maupun, Ibu Lintang untuk mengetahui latar belakangnya. Dengan adanya
wawancara tadi, mudah-mudahan kalian tidak tersesat dengan inkonsistensi watak
dari si tokoh yang akan kalian ciptakan sewaktu menulis.
Sekaraaang, dari latar belakang tokoh Lintang tersebut, kalian harus membuat cerita pendeknya. Ini dia cerita versi gue: Pertempuran Benda Hitam.
Sekaraaang, dari latar belakang tokoh Lintang tersebut, kalian harus membuat cerita pendeknya. Ini dia cerita versi gue: Pertempuran Benda Hitam.
Kalau sanggup dan
tertantang, link tulisannya silakan ditaruh di kotak komen bawah ya, biar bisa
dipajang dengan menawan!
ini maksut tantangannya meneruskan cerita itu ? bnar begitukah ?
ReplyDeleteMbikin cerita dari hasil wawancara itu. Contoh ceritanya yang Pertempuran itu. :))
Deletekeren nih penulisannya.. gue aja gak bisa segitunya..
ReplyDeleteOh gitu ya. Udah gitu aja. Bye.
ReplyDeleteIh, jangan gitu aja kali, Ma. Ikutan main. :))
Deleteoh nantang nih.. nantang...??
ReplyDeletebeneran nantang? yaudah gua cuma nanya..
Iya nantang. Cemen ih.
DeleteKita harus jadi Tuhan buat menghidupkan tokoh fiksi. Ga boleh main-main emang.
ReplyDeleteIni saya juga lagi belajar psikologi kepribadian.
Bagus banget, sayang bukan tipe bikin fiksi. Kayaknyabseru nih kalau ada yang berani jawab tantangan abang.
ReplyDeleteini tumbenan bang nulis nya kaya orang bener. _,_
ReplyDeleteHAHAHA ini komentarnya..
Deletekan jujur. :D
DeleteSori, kemaren lagi mabuk soda.
DeleteHAHAHAHA. :D *SORRY LUPA CARA MATIIN CAPSLOCK*
Deletebentar deh bang, kenapa pas baca postingan lo yang cuma haha hihi gak jelas, gue malah paham, nah giliran baca postingan serius gini, gue malah mikir keras saking gak pahamnya -__- jangan2 gue udah terkontaminasi postingan lo yang gila2 gitu?
ReplyDeleteHAHAHA RASAKAN KAU LILIS RUSMIA KUSUMAWATI SUTARDJO MANGUNKUSUMO! *ganti2 nama orang seenak jidat*
DeleteMirip konsepnya kayak wawancara tokoh di buku A.S. Laksana ya..
ReplyDeleteTokoh utama, ibu, sama ayah. Keren-keren..
Kan emang di atas bilang itu dari dia vin..
Deletesebagai orang yang bercita-cita jadi penulis juga "gue merasa gagal" Kenapa? Kenapa? Kenapa bukan gue yang diwawancara?? *Ah lupakan
ReplyDeleteIni apaan!
DeleteYup, menciptakan karakter fiksi emang sulit. Selain kita harus menciptakan emosinya, sifatnya, kita juga harus perhatiin voice nya. Brrrr....
ReplyDeleteNantang nih ceritanya ? :v
ReplyDeleteenggak ngerti :'D
ReplyDeleteiya samaa, yang bikin gue tertarik nulis itu dari cerita-cerita fiksi.
ReplyDeleteHei, lo dapet Liebster Award dari gue http://aulizaizaa.blogspot.com/2014/06/the-liebster-award.html
ReplyDelete