Seperti halnya
pertemuan, perpisahan juga merupakan hal yang mutlak terjadi. Sabtu kemarin, satu
jurusan kelas gue membuat semacam acara perpisahan menjelang perubahan status
menjadi mahasiswa tingkat akhir. Kelas kita membuat semacam malam untuk semakin
mengakrabkan diri di puncak.
Menurut gue, hal
seperti ini sangatlah asik mengingat tiap mahasiswa sudah sibuk
mengurusi penelitiannya sehingga jadi jarang ketemu…sampai Adha, sang pembuat acara, mengumumkan agar kita bermain sebuah permainan
yang bernama the guardian angel.
Satu persatu
lingkaran orang yang duduk di hall dengan
ubin yang terbuat dari kayu disuruh berdiri, lantas mengambil sebuah kertas
yang berisi nama mahasiswa lain.
‘Orang yang
namanya kalian ambil, adalah orang yang harus kalian jaga,’ jelas Adha. ‘Kalian
harus menjadi malaikat penjaga mereka selama kita di puncak ini! Sebelum pulang, nanti kita evaluasi, apakah benar kalian menjaga atau tidak!’
‘Gila, ftv banget
nih,’ pikir gue, sekilas terbayang penginapan kita bakal kebakar, kemudian gue
masuk menerjang kobaran api, keluar sambil membopong orang yang gue jaga,
temen-temen menyoraki, gue terbatuk-batuk, jatuh, terus dikubur di taman
makam pahlawan.
Namun, permainan ini malah
dimanfaatkan oleh Yogi, temen gue yang poninya hampir menusuk mata, 'Nanti gue
ngumpet aja. Kalau ada yang nyariin, berarti dia guardian angel gue!’ Yogi
menjentikkan jari, ‘Setelah itu, tinggal gue suruh-suruh deh. Ngambilin
makan, mijitin, nyari selimut. Enak banget!’
Syahrul, teman gue
yang taat beragama, menepuk-nepuk pundak Yogi, ‘Astaghfirullah Yogi..,’
katanya. ‘Bener juga yak!?’
Gue pun mengambil
kertas yang disediakan Adha. Di dalamnya tertulis nama ‘Wida’, teman satu dosen
pembimbing skripsi gue.
Buat gue, menjaga
Wida sangatlah mudah. Selain dia tidak suka kegiatan aneh-aneh yang membahayakan
keselamatan (seperti memborgol kaki sendiri dengan ban serep lalu nyelem ke
kolam), dia juga sudah punya pacar yang badannya lebih gede dan keker daripada
gue, which is lebih jago ngelindungin
Wida dibanding gue…yang kalo sendalnya ilang aja jerit-jerit kayak orang
kesurupan.
‘Yak, sekarang acara bebas!’ Adha berteriak, ‘nanti kita kumpul lagi jam 2!’
Gue bersama
mahasiswa lain langsung mencari kamar untuk menaruh barang-barang. Sepanjang
jalan dari hall, kita mencoba
mengembuskan napas, mengecek apakah keluar asap dari mulut seperti orang-orang
Eropa di musim dingin.
Meski gerimis,
orang-orang antusias untuk berenang. Gue dan beberapa teman hanya memandangi
dari balkon sambil gitaran dan nyanyi-nyanyi ngga jelas.
Pukul 2 siang, kami
kembali ke hall. Gue sudah mengganti
celana menjadi celana jeans pendek.
Adha berdiri di
tengah, membuka suara, ‘Buat pola melingkar! Kita akan bermain Truth or dare!’
Anak-anak riuh. Gue
mengusap-usap lutut sambil sesekali menarik napas, grogi.
‘Gue akan memberikan
pulpen kepada salah seorang dari kalian! Nanti Dimas akan bernyanyi, dan selama
dia nyanyi, kalian harus membuka tutup pulpen tersebut dan menaruhnya di ujung
belakang pulpen, kemudian operkan pulpen itu ke sebelah kalian. Dia harus
membuka tutup pulpennya, kemudian memasukkan ke ujung yang lain. Begitu
seterusnya!’
Dimas mulai
bernyanyi, anak-anak bersorak, pulpen mulai dioper.
‘Yak, stop!’ Dimas
keluar dari balik meja tempatnya menyanyi.
Pulpen berhenti di
tangan Arif Kampung.
Adha menyuruh si
Kampung untuk berdiri di tengah lingkaran. Si Kampung gelagapan. Anak-anak
mendesak. Pulpen kembali diputar dan berhenti di tangan Yusril.
‘Nah, elu mau truth atau dare ?’ Yusril menunjuk si Kampung.
‘Truth..’
‘Ada ga, orang yang
elu suka selama ini di kelas?’ tanya Yusril. ‘Sebutkan! Dan.. kenapa?’
Si Kampung
menyebutkan sebuah nama. Perempuan.
Cih. Permainan truth
or dare sejatinya hanya untuk asmara. Tidak lain tidak bukan. Dari zaman SD
sampai kuliah, kalau truth, pertanyaannya: ‘Siapa orang yang ditaksir’, kalau
dare, ‘coba tembak orang yang pernah ditaksir.’ Sungguh suatu pemikiran yang
primitif abis. Kalau memang niatnya mempermalukan, cobalah tantangan yang lebh
inovatif seperti misalnya: ‘ goyang oplosan pake baju ABRI.’ ,atau kalau mau
yang jahat ‘siram bulu kaki Anda menggunakan air keras.’ ,atau kalau mau yang
versi sinetron Indosiar, ‘Rebutlah harta Bu Broto! Uhuahahaha!’
Dua orang. Tiga
orang. Semakin banyak yang menjadi korban kebengisan permainan ini. Dan, benar
saja, semuanya sama. Kalau ngga menyatakan cinta, ya sebut nama orang yang
dicinta.
Pulpen kembali
diputar. Gue menengok ke kanan mengecek posisi pulpen. Dimas seperti
melambatkan lagunya. Waktu seakan menjadi pelan. Pulpen sudah berada di tangan
Arif (bukan Arif Kampung), dua orang di kanan gue. Sekarang, ia telah
berpindah posisi ke tangan Alam, samping gue. Gue gugup. Dimas berdiri dari
balik meja dengan gerakan slow motion. Gue
buru-buru merenggut pulpen dari tangan Alam. Dimas menunjuk. Gue mengoper
pulpen ke Syahrul, sebelah kiri gue. Dimas berteriak.
‘Seetoooooopp!!’
Pulpen sudah berada
di genggaman Faisal, sebelah kiri Syahrul....tutup pulpennya masih ada di gue.
Ketinggalan. Dimas kembali berteriak, ‘Udaaaah!! Udaaah!! Stopp! Stooop!!’ gue
menjerit, ‘SIMONGKEEEEYYY!!’
Pulpen kembali diputar, menentukan siapa yang akan menanyai gue.
Dan,
pulpennya berhenti di tangan Wida.
'DABELMONGKEEEEYYY!! MANA ADA MANUSIA NGERJAIN MALAIKAT PENJAGANYA SENDIRI KUNYUUKK!!??' Gue mengadu ke Adha. Namun dia tidak menggubris.
Dan, sama seperti
yang lainnya. Gue disuruh mengungkapkan perasaan kepada dia dari masa lalu. Gue berjalan ke arahnya. Semakin langkah kaki berjalan
ke depan, waktu terasa semakin mundur. Mundur jauh.
Gue telah berada di
hadapannya. Namun jantung gue entah di mana. Seperti hilang dari posisinya. Anak-anak
mengerubungi. Gue membuka suara. Mengakhirinya dengan embusan napas yang berat.
Anak-anak ramai menghampiri. Ada yang menepuk-nepuk. Ada yang memberi ucapan
selamat. Ada juga yang menyalami.
Setelahnya, gue
duduk, kembali ke tempat semula. Gue merasa, setelah ini hubungan kita pasti
semakin buruk.
Bukan karena ucapan
yang gue lontarkan,
Melainkan karena
kondisinya,
Karena situasinya,
Anak-anaknya.
Seperti halnya
pertemuan, perpisahan merupakan hal yang mutlak terjadi.
…
Malamnya, gue bersama
tiga orang teman duduk di tangga paling atas. Mengamati cahaya dari berbagai
sumber di ujung sana. Untuk menghilangkan dingin, yang dua mengobrol. Yang satu
mendengarkan lagu. Sementara gue,
berpikir,
dan berpikir
dan berpikir.
Udah tingkat akhir masih aja maen-maen nih, ngurus skripsi sana.
ReplyDeleteBerpisah bukan berarti kita tak akan pernah mengenalnya lagi. Hanya lapisan tipis yang menyekat diantara dua orang yang terpisah yaitu ruang dan waktu.
ReplyDeleteseru juga permainannya, hehe
Tuh kan, bener kata lo bang, permainan 'itu' cuma buat kelicikan, hadeh.
ReplyDeleteIni merusak kewibawaan malaikat nih. Hehe.
ReplyDeleteAndai aja bisa gitu. Misalnya ada malaikat izral yang mau mencabut nyawa bakal gue takut-takutin lebih dulu.
weisss.. ini acara prom night gitu maksudnya?
ReplyDeleteprom night versi kuliahan?? :D
cieeeee Adi.. ngungapkan P-E-R-A-S-A-A-N niyeeeee.. wahahaha
ReplyDeleteGimana, Di, dialog pas lu mengungkapkan perasaan itu? Penasaran gua. Hahah..
ReplyDeleteAdi gue baca ini hahahaa. Ngebayangin makrab kemaren
ReplyDelete