Seperti halnya karya
seni lain semisal karya rupa, menulis puisi, bernyanyi, memainkan alat musik,
atau akting, komedi merupakan bidang seni yang dapat dipelajari. Kita dapat
memelajari bagaimana membuat orang tertawa, seperti apa jurus-jurusnya. Kita dapat
mengasah kemampuan berkomedi dengan membedah dan menganalisa film-film komedi,
sitkom, maupun tulisan komedi. Namun, seringkali kita tidak sadar dan tidak
tahu apa itu sebenarnya komedi/humor. Bagaimana sesuatu yang lucu dapat membuat
kita tertawa.
D.H Monro, dalam
bukunya yang berjudul Argument of
Laughter, membagi humor ke dalam tiga kategori, yaitu teori superior,
teori keganjilan, dan teori kelegaan.
Superiority
theory/teori superior adalah sebuah konsep humor yang dilakukan atas dasar
ejekan. Telah banyak filsuf yang memandang komedi secara negatif sebab menggunakan unsur ‘cemoohan’ di dalamnya, salah satunya adalah Socrates. Ia
mengatakan bahwa tawa yang kita dikeluarkan, berasal dari perasaan senang
ketika melihat orang lain berada dalam kemalangan. Namun, Socrates berpendapat
bahwa seseorang akan memiliki pengalaman jiwa yang berbeda saat dihadapkan pada
komedi seperti ini: seseorang bisa bahagia dan tertawa saat diberikan komedi
yang memaparkan kebodohan-kebodohan, tetapi untuk merasakan kesenangan atas
kemalangan orang lain, ia harus memikirkan ‘pain
of the soul’’.
Teori ini dapat kita
temukan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sedang marak digunakan dalam
pertunjukan komedi di layar kaca kita. Seperti memukulkan properti ke badan
orang, mengolok, mendorong, memasukkan cabai ke mulut seseorang. Dan, kita
tertawa akan hal tersebut.
Tingkat kelucuan
yang dihadirkan dari perspektif ini ialah kesenjangan antara pengolok
(superior) dan orang yang menjadi korban olokan (inferior). Semakin tinggi
kesenjangan ini, maka tawa yang dihadirkan akan semakin tinggi. Kita bisa
tertawa sewaktu melihat teman nyemplung di got karena kita merasa lebih
superior dibandingkan dia. Di saat yang bersamaan, kita akan sulit menemukan
paspampres yang tertawa ketika melihat SBY nyemplung ke got.
Aristoteles dan
Plato juga melihat komedi dari sudut pandang ini. Aristoteles mengatakan bahwa
kita akan tertawa pada humor yang bersifat mengolok-olok ini sampai pada batas
terentu saja. Yakni, ketika komedi tersebut belum melewati titik ‘bodoh’ yang dirasa kasar serta menyakiti orang lain. Dan tentunya, tiap orang memiliki
batasan tersendiri atas apa yang dianggap ‘kasar dan menyakiti’.
Kita mungkin masih
tertawa saat Sule dengan tampang polosnya mau disuruh duduk di kursi gabus dan
terjatuh, karena otak kita secara reflek berkata, ‘Hahaha dia goblok. Itu kan
gabus, ya jatoh lah!’ kita merasa superior ketimbang Sule. Sedangkan kita mulai
merasa, ‘Ih, ini apaan sih?’ sewaktu Olga menjambak penonton atau mendorong rekan kerjanya hingga tersungkur. Hal ini menunjukkan bahwa menjambak penonton atau
mendorong seseorang sampai tersungkur sudah melewati titik ‘bodoh’.
Bukti empiris
lainnya menunjukkan bahwa humor dan komedi berasal dari keganjilan. Seorang
filsuf dari Skotlandia, Francis Hutcheson, menjelaskan bahwa keganjilan dapat
dinikmati karena dapat menghindarkan kita dari emosi negatif. Seorang filsuf dari
prusia, Jerman, Immanuel Kant, setuju dengan apa yang dipaparkan Hutcheson
bahwa humor diperoleh dari pengakuan intelektual akan keganjilan. Ia
menambahkan bahwa rasa penasaran yang dimiliki manusia secara psikologis akan
memberikan reaksi nyaman ketika dihadapkan pada humor dengan keganjilan.
Mengacu pada yang dibilang Kant, kita tertawa pada sebuah absurditas, sebenarnya bukan
dikarenakan pikiran kita nyaman karena dibuat frustasi (oleh sesuatu yang
absurd), melainkan karena pikiran kita berusaha untuk menerima absurditas yang
disodorkan, sehingga menyebabkan respon fisik berupa tawa.
Dalam tulisannya
yang berjudul The World as Will and Idea,
Schopenhauer, filsuf Jerman, juga mempercayai bahwa humor berasal dari
keganjilan dan frustasi intelektual dalam ekspektasi manusia. Sesuatu akan
dianggap lucu ketika otak kita ditipu oleh suatu ‘realitas’ yang ditawarkan
para komedian.
Pemikiran
Schopenhauer mengenai komedi ini bahkan pernah ditulis oleh Raditya Dika,
penulis komedi, dalam esainya yang berjudul Schopenhauer dan Konseptualisasi
Komedi. Schopenhauer berpandangan bahwa kita memiliki dua cara dalam memahami
sesuatu: melibatkan konsep abstrak dan persepsi indera. Masih kata
Schopenhauer, setiap orang akan memiliki ‘realitas’ terhadap suatu hal, dan
apabila kita diberikan keganjilan dengan membelokkan ‘realitas’ tersebut, maka
kita akan tertawa.
Contoh sederhananya
seperti ini: di dalam pikiran kita, untuk naik pesawat dari Jakarta menuju
Denpasar, kita tinggal datang ke bandara Soetta, naik pesawat yang ke Denpasar,
duduk, tunggu landing, lalu sampailah kita di Denpasar. Namun, ketika ada orang
yang naik pesawat penerbangan ke Denpasar, lalu minta turun di Surabaya dengan
berteriak, ‘Bang, kiri, Bang! Surabaya ya!’ kemudian loncat begitu saja keluar
pesawat, kita akan tertawa. Mengapa? Karena kita tidak memiliki ‘realitas’ atau
pandangan bahwa orang yang naik pesawat bisa turun sembarangan. Di sanalah
keganjilan itu terjadi.
Pandangan ini
mengingatkan kita untuk kembali kepada dasar komedi, yakni setup-punchline. Di
saat selesai setup, otak kita akan membuat persepsi tentang hal yang akan
terjadi selanjutnya. Ketika kita kaget karena persepsi kita ternyata dibelokkan
oleh punchline, kita akan tertawa. Perihal setup-punchline sebagai dasar
komedi, pernah dibahas di sini.
Contoh lain: kita akan tertawa apabila melihat Roma Irama joget iwak peyek. Hal tersebut dikarenakan bahwa persepsi kita atas Roma Irama adalah seorang pedangdut yang macho, sedikit bergerak, berbadan besar, dan berwibawa. Maka, saat kita menyaksikan Roma Irama joget Iwal Peyek dengan memutar-mutarkannya kepalan tangannya ke udara, kita akan tertawa.
Contoh lain lagi: Percakapan antara Denholm dan Jen dalam serial IT Crowd.
Denholm: Aku akan menempatkanmu di departemen IT karena di-CV mu tertulis bahwa kau punya banyak pengalaman dengan komputer!
Jen: Ya. Aku menuliskan itu di CV-ku. Aku punya banyak pengalaman dengan komputer... secara keseluruhan.
Kau tahu? aku mengerti email.. mengirim email, menerima email, men-delete email.
Semakin kita dibuat nyaman oleh sebuah setup, maka efek keterkejutan dari punchline juga akan semakin tinggi. Hasilnya tawa kita semakin besar. Tentunya, hubungan antara setup dan punchline harus erat.
Namun, dalam buku The Sense of Beauty, George Santayang
mencatat bahwa kita juga tertawa pada situasi yang tidak melibatkan keganjilan:
kita tertawa saat mendapatkan kemenangan, saat bersimpati dengan orang lain,
dan kita juga tertawa ketika digelitiki. Hal-hal semacam ini, dikategorikan
oleh Herbert Spencer, dalam The
Psysiology of Humor, sebagai Relief theory (teori kelegaan).
Teori kelegaan
adalah pandangan mengenai humor di mana tawa yang dikeluarkan adalah hasil dari
pembebasan ketegangan emosi yang ada di dalam tubuh. Spencer mencatat bahwa di
dalam tubuh manusia, seringkali kita menyimpan kelebihan energi ‘tegang’.
Sewaktu energi ‘tegang’ ini dilepaskan dari dalam tubuh, tawa akan muncul.
Contoh paling
gampang adalah seorang mahasiswa abadi seperti Alit Susanto yang menyelesaikan
studi kuliahnya. Sesaat setelah dosen penyidang memutuskan, ‘Anda, Alit
Susanto, disahkan telah lulus sebagai mahasiswa,’ dapat dipastikan Alit bakalan
nyengir kuda karena melepas beban energi ‘tegang’ yang telah dibawanya selama
ini.
Teori-teori tentang
humor tadi menyiratkan bahwa komedi merupakan sesuatu yang dapat dipelajari dan
dianalisa. Tawa, dapat dihasilkan dengan berbagai cara tergantung sudut pandang
seseorang dalam penentuan unsur humor/komedi di dalamnya.
Dan Indonesia adalah negara paling humoris.
ReplyDeletewah. bisa jadi bahan skirpsi juga nih. analisanya mendalam banget. keren.
ReplyDeletebuset ada teorinya .___.
ReplyDeleteManteb nih, Di.
ReplyDeleteIni adalah sebuah pencerahan untuk orang yang suka komedi.
Btw, lo menganalisa seperti ini? punya bukunya, ya? Ah, gue juga mau beli deh.
Iya, keren nih. Bacaan cerdas&membuka wawasan. Sukses terus bro!
ReplyDeletegue adalah salah satu dari banyak komedian gagal dan itu bukan karena gue ngga lucu, itu karena gue belum mempelajari cara berkomedi yang cerdas kayak artikel diatas, hehehe (ini dalem banget)
ReplyDeleteSumpah, ini keren! Gue harus membaca tulisan ini berulang-ulang biar makin paham :))
ReplyDeletebuku rujukannya dari mana aja bang?
ReplyDeleteminta bukunya.....joooosssss
ReplyDeletegilaaa. sampek sefilsuf ini ya analisanya mas.
ReplyDeletegak nyangka ternyata komedi ga semudah HAHAHA aja.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete