Gue punya dua kabar
untuk mengawali postingan kali ini.
Kabar buruk:
Pertama, gue udah lama banget ngga posting di sini. It kills me slowly. Akhir-akhir
ini gue sibuk ngurusin penelitian buat skripsi. Kedua, besok gue UTS.
Kabar baik: Pertama,
gue sekarang nulis lagi. Hore. Akhirnya ada jeda sebelum UTS untuk gue menulis.
Gue rindu menulis. Gue rindu blog ini. Kedua, persetan dengan UTS. Kalau kata
anak selow, masih besok ini. Kalau kata orang Sunda, sabodo teuing lah. Kalau
kata Nyokap gue, Astaghfirullah, Nak. Belajarlah kamu..
Tapi serius,
Gue rindu berat
nulis di keriba-keribo.
Udah hampir dua
minggu gue ngga nulis di sini. Dan, seperti yang gue bilang tadi, gue ngga
nulis karena ngurusin penelitian. Gue disuruh bantuin kakak kelas S2 di kampus
untuk ngebuat panel kayu, menguji kekuatan produknya, bikin laporan, kemudian
ngumpulin laporannya ke rektorat. Semua itu di-deadline berapa lama? Satu bulan.
Maderfaker.
Kita berdua
ngos-ngosan ngerjain proyek dosen ini, harus selesai tanggal 25 Oktober
kemaren, sementara produknya baru jadi sekitar seminggu sebelumnya. Pak Dosen,
kalau mau bunuh saya, tusuk saja pakai bambu runcing, jangan pakai deadline
gini..
Walhasil, selama
seminggu, kita ngebut buat ngerampungin pengujian itu panel kayu dan laporan.
Hampir tiga hari berturut-turut kita nginep di lab kampus. Semisal lab-nya
kayak laboratorium di luar negeri mah, enak. Gue bisa songong ke temen-temen
dengan bilang, ‘Gile, gue dong nginep di lab!’ temen-temen gue pasti
terperangah, ‘Serius lu? Gile, sungguh kaum akademisi sejati lu, Di!’ Lha, ini
lab di kampus gue bentuknya mirip markas gembong teroris. Kalau gue bilang, ‘Eh,
kemaren gue nginep di lab, dong!’ reaksi temen gue pasti, ‘Serius lu? Kok masih
idup, Di?’
Laboratorium di
kampus gue memang terkenal angker. Berantakannya bukan main. Gelap. Berdebu.
Barang-barang aneh berserakan. Ada kompor, panci, kayu-kayu, mutan, sarang
laba-laba, gayung. Mungkin kalau di dalam dunia desain ada konsep yang namanya
minimalis, nah, lab gue ini termasuk ke dalam konsep ancurabis.
Selasa, 22/10/13
07.30 Pm:
Gue sedang mengukur
sampel kayu kotak seukuran genggaman tangan. Sampai di sampel kayu ke tiga
puluh sembilan, lampu tiba-tiba mati.
‘AAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHH!!!’
Dina, kakak S2 yang
daritadi mencatat ukuran yang gue sebutkan kepadanya, menjerit dengan kencang.
‘Tenang, ka, tenang,’
kata gue menenangkan, padahal dalem hati njerit-njerit.
‘Udah, ayo, kita keluar
aja deh. Ini yang mau dibawa apa aja?’
‘Ayo ayo ayo keluar.
Ayo buruan keluar.’
‘Ini yang mau dibawa
keluar apa aja?’
‘Ayo, Di. Keluar Di
buruan.’
Dengan menahan rasa
ingin menyumpal mulut kakaknya menggunakan sisa potongan ayam di meja, gue
akhirnya menjawab, ‘Oke.’
Kita pun jalan
keluar lab. Dina terlihat bergidik. Mimiknya berkerut-kerut, lengannya
bergemetar. Langkahnya cepat-cepat, namun pendek karena mengikuti gerak kaki
gue. Dia tidak ingin terlalu di depan gue, juga di belakang. Semuanya hitam,
kecuali terang lampu dari handphone gue dan
dia.
Sesampainya di pintu
lab, gue kembali bertanya, ‘Jadi, apa yang mau dibawa keluar? Laptop? buku? chargeran? kayu?’
‘Bawa aja semuanya,
Di.’
Tele kuda.
Sekembalinya dari
mengambil laptop, tas, penggaris, kertas, buku, chargeran ponsel, dan beberapa sampel kayu yang tertinggal, kita
pergi dari lab, mencari tempat yang lebih terang.
‘Di, gile, elu kok
santai banget gitu. Padahal kan katanya di lab situ angker, loh.’
…
Pengalaman, atau
lebih tepatnya perkataan Dina yang terakhir telah membuka pikiran gue. Dia bilang gue
santai, muka gue selow, dia ngga tahu aja sebenernya gue pengin nangis, pengen
kabur, pengen teriak 'Tegangan cinta tak dapat dihindar lageee!' (lho, kenapa
jadi Agung Herkules).
Iya, gue sebenarnya
juga takut. Tapi, mungkin muka gue engga menunjukkan itu. Entah gue lupa cara
berekspresi (ini ngga mungkin) atau memang dari orok muka gue datar gini.
Dan, menurut buku Why Men Don't Listen and Women Can't Read Maps, para lelaki memang tidak pandai berekspresi, berkebalikan
dengan wanita. Mungkin beginilah penggambaran ekspresi pria:
Pria: lagi senang |
Pria: lagi sedih |
Sedangkan inilah mimik muka wanita seiring dengan perasaanya:
Wanita: lagi ngambek |
Wanita: lagi girang (akibat ngisep lem aibon) |
Wanita, lagi ngomong: Hihhihi akhirnya harga cabe turun juga! |
Yah, dengan adanya
foto-foto tersebut menandakan bahwa bukan hanya wanita yang sulit ditebak
wataknya, tetapi juga pria. Pria memang bajingan.
...
Btw, sekarang lagi hari blogger nasional ya. Selamat ya buat para blogger nasional. Keep solid!
...
Btw, sekarang lagi hari blogger nasional ya. Selamat ya buat para blogger nasional. Keep solid!
Mungkin tahun depan bakal ada kursus tentang cara pria berekspresi sesuai suasana hati._. Selamat hari blogger! *telat*
ReplyDeleteAmin. Amin.
DeleteMuahaha.. Lo emang manusia tanpa ekspresi. Flat kalo kata anak-anak gaholl mah...
ReplyDeletePostingan ini sukses bikin gue ngakak.. Apalagi liat foto ekspresi itu?? Muahahah
Oya..Selamat hari blogger. Sukses teruss.. (Y)
Sukses juga buatmu. Berhati-hatilah, Rahman Yusuf, konon seseorang yang menatap foto itu selama tiga detik tanpa berkedip akan dirasuki setan alas.
DeleteKerasukan pria tanpa ekspresi hiii
DeleteEkspresinya samaaaaaaa semuaaaaaaaaaaa :D wahahahahahahah
ReplyDeleteWah, lo ganteng juga ya. *salahfokus*
ReplyDeleteSegeralah Anda ke dokter mata, Nak. Penyakitmu sudah kronis.
Deleteyang cowo, tanpa ekspresi .. wkwk~
ReplyDeleteMiris. Belajar goyang caisar aja, Di! Secara ga langsung, dia mengajarkan kita untuk ekspresi loh. Nah, itu lah kenapa awalan-nya dia suruh dengan 'keep smile' dulu.
ReplyDeleteUntuk apa saya 'keep smile' jikalau harus terkena stroke.
DeleteMas Gan, 4 foto yang diatas ekspresinya hampir mirip gak ada perbedaan :D
ReplyDeleteAnjirr... Ngakak gue! Hahaha.
ReplyDeletemana ekspresinya bro hahaha
ReplyDeleteNgakak ngeliat ekspresi yang 'Wanita: lagi ngambek'. Sumpah itu udah kek disuruh jadian sama temen, sama orang yang nggak di suka. Nolak gitu. Sok jual mahal. Haha
ReplyDeleteternyata urat malu lo udah putus ya Di haaa tapi keren tuh kumis udah kaya tukul arwana haaa
ReplyDeleteanjirrrrr deadpann !! xD
ReplyDelete