Buat gue, selain kamar
mandi, saat-saat bengong sebelum atau pas lagi ujian di kampus merupakan
sumber inspirasi. Dua hari yang lalu, ketika lagi ujian Papan Partikel dan
Papan Serat, sewaktu gue ngga tahu lagi mau ngisi apa, gue malah kepikiran yang
aneh-aneh.
Tenang. Gue bukan
mikirin kenapa video anak SMPN 4 itu udah ngga ada di internet, tapi gue mikir ‘kenapa
gue ngga nyoba buat cerpen ya? nyoba keluar dari tulisan gue yang biasanya
haha-hihi.’
Walhasil, sewaktu
ngerjain ujian itu, gue malah mikirin cerita apa yang pengin gue jadiin cerpen.
Gue tiba-tiba lupa kalau lagi ujian. Ya habisnya ngapain inget-inget ujian,
ujian aja ngga pernah inget gue (lho?).
Udah deh, langsung
aja. Berikut cerpen gue yang berjudul: ngga tahu. Sebenernya gue masih kurang
sreg sama judul di postingan ini. Jadi, kalau ada yang punya masukan buat
judul, kasih usul aja di kolom komentar ya.
Di sebuah pemukiman yang biasa-biasa saja, bocah itu terlahir. Dan karena tempat yang biasa-biasa saja itulah, aku sulit menemukan nama yang tepat baginya. Baiklah, kita sebut saja pemukiman itu dengan nama Jahanam.
Seperti yang telah kubilang
di awal, Jahanam merupakan tempat yang tidak istimewa. Tingkat ke-standar-annya
amat standar. Semuanya pas. Kebahagiaannya pas. Orang-orang kantoran
berlalu-lalang tiap jam enam pagi, melewati alun-alun, dan kembali ke rumah
masing-masing pada pukul enam sore, pula melewati alun-alun. Seperti itu setiap
hari, setiap pagi, setiap sore. Tujuh hari dalam seminggu.
Di Jahanam tidak ada
kemacetan yang parah. Tidak ada orang-orang yang sok pintar, juga sok menjadi
miskin—di negeriku sini, banyak orang yang memanfaatkan kemelaratan. Di Jahanam
tidak ada orang jahat. Tidak ada curanmor. Tidak ada sandal yang hilang sewaktu
warganya sembahyang di masjid. Tidak ada orang yang terlalu bodoh, atau terlalu
jenius seperti Copernicus atau Mozart. Kalaulah ia boleh kuberi warna, mungkin
abu-abu sangatlah cocok.
Jahanam mungkin berwarna
abu-abu bagiku—dan bagi beberapa orang yang menyadarinya, sampai bocah itu
lahir.
Kau boleh memanggil bocah
itu dengan sebutan Lintang (tentu ini bukan nama sebenarnya, aku tidak mau
membuatnya terkenal dan masuk tv dan akan membuatnya merasa apa yang dia
rasakan).
Ia berumur dua tahun. Dan
sesaat setelah kau mengetahui jumlah umurnya, kau akan kukageti dengan kabar
yang satu ini: ia bertanduk.
Benar. Ia memiliki tanduk
tepat di tengah matanya. Tiga senti di atas jidatnya, sebuah tanduk muncul di
antara halus-halus rambutnya yang baru tumbuh.
‘Yah, anak kita sepertinya
kutilan. Lihatlah kepalanya!’ jerit si Ibu kepada suaminya di suatu malam,
setelah suaminya keluar dari kamar mandi sepulang bekerja. ‘Tak usahlah kau
panik, Bu. Tekan saja kutilnya sampai meledak, dulu Ayah juga seperti itu. Mungkin turunan.’
Pukul tujuh tiga puluh
malam. Pada waktu ini, di Jahanam, semua orang—yang telah berkeluarga—akan mengisi ruang
makannya bersama-sama. Pun dengan keluarga Lintang. Ayahnya sibuk menekan-nekan
sendok ke dalam mangkuk yang berisi roti bulat-bulat plus air. ‘Aku baru
membeli sereal khusus balita dari Bu Marni,’ kata Ibu Lintang
sewaktu suaminya pulang ngantor. ‘Semoga saja cocok untuk Lintang.’ ‘Lumayan,
diskon tiga puluh persen,’ lanjutnya tanpa menunggu respon Ayah Lintang.
Sementara Lintang sedang menelan makanan barunya, si Ibu sibuk menekan kepala
Lintang, mengikuti perintah suaminya supaya kutil Lintang meledak.
Bertahun-tahun berlalu.
Lintang sudah kelas enam SD. Tanduknya kini telah setinggi tiga senti, dan
jarak terhadap jidatnya dua belas senti.
‘Kupikir ini bukan lagi soal
kutil. Ini pasti kutukan,’ ujar Ibu Lintang.
‘Tidak mungkin ada kutukan
di Jahanam, Ma. Besok kita bawa saja ia ke dukun.’
‘Juga dengan dukun, Yah. Kau
pasti terpengaruh tontonan istana sentris itu lagi. Selanjutnya apa, kau pergi
ke kantor naik Avanza, kemudian terbang ke langit-langit?’
‘Bukan begitu, Mah.’
Maaf soal penyakit mental
ini. Telah kukatakan bahwa semua di Jahanam biasa-biasa saja. Standar. Tak
terkecuali dengan mental orang-orangnya yang beragam. Kupikir dunia mana pun
pasti begitu. Maka ia kusebut dengan standar.
Esok harinya Ayah Lintang
membawa Lintang ke rumah sakit. Lintang sempat menolak, namun Ayahnya berhasil
membujuknya. ‘Nanti kuberi kau tontonan menarik,’ katanya.
‘Maaf Pak Rusdi, kami tidak
tahu penyakit yang diderita anak Anda. Setelah kami diagnosa, ia sehat betul.’
Rusdi—yang belakangan kau
tahu bahwa ia adalah nama dari Ayah Lintang, mengernyitkan dahi, ‘Yakinkah kau,
Pak Dokter?’
‘Yakin. Sangat yakin.
Lintang anak sehat yang sebenar-benarnya sehat.’
Malamnya, tentu lewat dari
pukul tujuh tiga puluh, setelah keluarga ini kumpul-kumpul di meja makan, si
Ayah melunasi janjinya. ‘Kemarilah Lintang, kutunjukkan kau tontonan yang
menarik.’
Lintang duduk di atas sofa
berwarna gulita, menunggui Ayahnya yang sedang memenceti tombol-tombol televisi.
Remotenya hilang. Atau lebih tepatnya dibuang. Ibu Lintang memakainya untuk
menimpuk hewan bangsat yang bukan sembarang bangsat: kecoak. ‘Mampus kau!
Sebelum kau sempat mengepakkan sayap, kubuat arwahmu mengepak-ngepak!’ teriak
Ibu Lintang setelah sukses menyambit kepala seekor kecoak. Segala sesuatu yang
telah bersentuhan dengan hewan laknat itu, ia jijik setengah mati. Jikalau Pak
Rusdi bukanlah seorang penyabar, ia pasti akan memohon kepada Tuhan,
‘Ya Tuhan. Sentuhkanlah aku dengan kecoak. Aku tidak tahan lagi..’
Acara televisi yang
dijanjikan Ayah Lintang dimulai. Lintang terhipnotis. Matanya tak berkedip
barang sedetik pun. Bola matanya memantulkan wajah pria tua bersuara mirip
Doraemon.
Sampai hari ini, sampai
Lintang menginjak kelas dua SMA, sampai tanduknya mencapai tinggi sepuluh
senti, setiap malam, sendirian, ia menontoni acara sejenis dengan acara yang
dahulu disaksikannya bersama Ayahnya.
Hingga pada ia kelas tiga
SMA, setelah Ibundanya wafat—Ibu Linda meninggal setelah terjungkal di kamar
mandi, beberapa jenak setelah panik melihat kecoak, kepalanya membentur keramik—ia
tetap menggemari acara tersebut. Bukan karena acaranya, melainkan karena
Lintang membenci orang-orang yang berada di dalam acara tersebut. Sebab, sejak
orang-orang yang bergelut di dalam acara tersebut menemukan pemukiman Jahanam, membagi-bagikan kaus
dengan warna yang beragam, Jahanam menjadi jahanam.
Jahanam kini berubah. Ia
tidak se abu-abu dahulu. Ia menjadi hitam. Hitam yang menenggelamkan warna
merah darah. Pemukiman ini lebih layak dinamai Anjing. Hewan halusinasi ini
kerap kali muncul di Jahanam. Ia tidak berkaki empat, namun berkaki banyak,
bertangan banyak, bersarang di tiap kepala masyarakat Jahanam. Anjing muncul
tatkala kemacetan datang. Tatkala para karyawan menyadari bahwa mereka harus
menghabiskan waktu dua belas jam untuk bekerja.Tatkala para gembong curanmor
beraksi. Anjing, bahkan muncul sewaktu sandal-sandal para ulama hilang di
masjid.
Dan daripada masa itu,
Lintang giat mengasah tanduk di kepalanya—yang kini panjangnya mencapai lima
belas senti. Ia dan teman-teman SMA-nya telah menetapkan musuh. Bukan lagi
semua orang yang berada dalam acara biadab itu, melainkan telah diruncingkannya
menjadi satu orang: Mr. Presiden.
Dan mereka, akan melakukan
sesuatu.
Pasalnya, seperti yang
diberitakan di banyak media, sebulan lagi Mr. Presiden akan mengunjungi suatu
tempat. Rencananya, di tempat bernama P itu, Lintang akan berpura-pura menjadi
wartawan, menanyai pertanyaan seputar korupsi, seputar uang-uang negara,
seputar sumpah para pemuda, seputar tempat bernama Jahanam yang telah—dianggap
oleh Lintang dan komplotannya—dirusak, dicuci otak oleh para beking dari Mr. P.
Sementara diwaktu yang sama, tapi di tempat yang berbeda, teman-teman Lintang
mengadakan aksi bersama para buruh. Tidak peduli apa tema dari aksi buruh ini.
Tujuannya hanya satu: membuat gaduh. Dan tujuan daripada tujuannya adalah
membuat para wartawan pergi dari P untuk mengambil berita tentang aksi ini,
mempermudah Lintang untuk menusukkan tanduknya ke dada kiri Mr. P.
Seminggu menjelang operasi
pembunuhan Mr. P berlangsung, Lintang dan para komplotannya menyaksikan pidato
dari orang yang menjadi objek pembunuhannya di televisi. Di dalam kotak
bersuara itu, Mr. P berbicara tentang dirinya dan tentang bekingannya dengan
cara yang amat memprihatinkan. Sesekali ia membalik kertas berisi contekan
pidatonya yang menurut Baron, kertas itu merupakan karya bekingannya pula.
Dengan mata sayu, suara yang berat, ia bersikukuh mempertahankan citra dirinya.
Menurut Baron, bentuk matanya yang menyedihkan itu diakibatkan oleh
pertengkaran rumah tangga. ‘Lihat saja istrinya yang necis dan penuh gaya dan
anak fotografi abis!’ seru Baron. Lintang dan kawan-kawan memamerkan mimik kecewa, karena buronannya berpidato selayaknya orang yang ditodong pistol
di keningnya.
‘Bahkan suara teroris yang
dihukum mati lebih lantang darinya!’ masih seru Baron.
‘Juga kantung matanya!
Lihatlah,‘ Baron mengarahkan telunjuknya ke bagian bawah mata kanannya,
menekan, kemudian menurunkan telunjuknya sehingga kulit-kulit di sekitar matanya
turun. Dan menurut penuturan Baron, kantung mata sebesar itu muat untuk
menampung seorang koruptor.
‘Aku tahu hukuman yang pas
untuk para koruptor yang ngeyel. Masukkan saja ia ke dalam kantung mata Mr. P,’
katanya.
‘Bah, bagaimana kalau kita
membuat sebuah lagu untuk memperingati penyerangan ini,’ sahut Riyan.
‘Rupanya otakmu sudah
tercuci juga, Yan,’ balas Baron.
Pria ceking itu keluar dari
kerumunan teman-temannya. Ia melesat menuju lantai dua rumah Lintang. Ke
balkon. Menatap matahari. Menunjuknya, lalu tersungging. I will kill you, Mr. P.
Sebulan telah berlalu. Hari
penyerangan tiba. Lintang tengah berada di antara kerumunan wartawan lain di
daerah P. Tak ada satupun wartawan yang menatapnya ngeri, atau memicingkan
mata, atau lari terbirit-birit karena melihat seseorang bertanduk. Nihil.
Seluruh wartawan menatap Lintang dengan ekspresi wajah biasa-biasa saja. Ya,
mereka adalah orang-orang dari Jahanam yang otaknya belum tercuci. Sedangkan wartawan
asli sedang sibuk salip-menyalip menuju Cikarang, tempat Baron, Riyan, dan
teman-teman Lintang menggerakkan buruh untuk berdemo.
‘Bagaimana kondisi negara
sekarang ini menurut Bapak?’ Lintang mengarahkan alat perekam suara.
‘Ya seperti yang kita
ketahui, negara sedang carut-marut. Saya pun cukup prihatin..’ Target mengucek
matanya sebentar, terlihat kerikil di dalam kantung matanya.
‘Tapi Bapak cukup hebat.
Dengan membentuk kelompok independen, korupsi hampir sukses diberantas.’
‘Ya memang harus seperti
itu.’ Target kembali mengucek matanya. Kali ini lebih keras. Kerikil mulai
berjatuhan dari matanya.
Lintang panik. Sejurus
kemudian ia menyadari tali sepatunya terlepas. Ia meminta izin kepada sang
Target untuk mengikatnya. Lintang menunduk. Sembari mengikat tali sepatu, ia
melihat banyak kerikil berjatuhan ke aspal di sekitarnya. Sampai kepalanya kejatuhan kerikil,
Lintang menengok ke atas. Presiden tersenyum. Matanya mengalirkan kerikil
banyak-banyak. Lintang gelisah. Ia bangkit dan menanduk dada sebelah kiri
Presiden. Beberapa jenak terjadi hening. Kepala Lintang menempel dengan dada
Presiden. Lamat-lamat kerikil tidak lagi mengalir dari mata Presiden. Kepala
Lintang mengucurkan darah segar setetes demi setetes. Tak berapa lama Lintang
ambruk. Tanduknya menancap ke dalam kepalanya sendiri. Sang Presiden
menyungging bengis. Kerikil keluar lagi dari bola matanya.
…
Men, gue lagi suka banget menonton video jalan-jalan yang
dibuat sama malesbanget.com, gue jadi pengen jalan-jalan juga. Malah lebih dari
sekedar itu, gue pengen kenal dan temenan sama orang-orang kreatif di balik
layarnya. Semoga aja kesampean. Amin.
Postingan tentang
adegan jalan-jalan ini gue sambungan ke postingan baru, deh. Ini kayaknya udah
kepanjangan.
Dadaah. :)
Terus, gue langsung membayangkan matanya yang keluar kerikirl, uwoo :|
ReplyDeletekeren nih, mantep gan pemikirannya, nice bro. emang di negara jahannam ini jamannya cuci otak, propaganda, pembodohan publik melalui media yang belum tentu bisa dipercayai kebenarannya, konspirasi dan segala macam kebusukan "tikus berdasi"
ReplyDeletekutipan lirik lagu dari greenday nih gan banyk maknanya berhubungan dengan salah satu aktifitas jahannam di negara jahannam.
Television dreams of tomorrow.
We're not the ones who're meant to follow
For that's enough to argue.
salam dari http://sharehovel.blogspot.com
Salam kenal juga broh!
DeleteEtdah si tanduk dikira kutil, Hahhaa...
ReplyDeleteKeren, Di. :D
Di Jahanam, para buruh ternyata ikut protes juga.
ReplyDeleteWis... Rapih, bro. :D suka-suka. Lanjut dong cerpennya. Keren. "Krikil-krikilnya itu loh". Hmmm :)
ReplyDeleteHhahaha,. betul broo....
Deleteceritanya mengobrak-abrik imajinasiku sob
ReplyDeleteHati-hati. Ia bisa membuatmu kerasukan setan alas.
Deletekeren di.
ReplyDeletetapi agak nanggung gitu ceritanya. haha
kunjung balik ya