Gila. Hari ini gue
mati suri, tidur sampe 11 jam sendiri.
Di Bogor sekarang
udah sering hujan. Dan gue suka. Gue suka aroma tanah yang disentuh air hujan.
Gue suka situasinya. Gue suka dengerin lagu sewaktu hujan, ngeteh sewaktu
hujan, baca buku sewaktu hujan. Semuanya terasa pas ketika hujan. Hal yang gue
ngga suka ketika hujan adalah waktu mau beli makan dan malah kejebak hujan. Itu
tingkat nyebelinnya sama kayak kamu nanya harga nasi goreng ke Abangnya dengan
bilang ‘berapa, Mas?’ lalu dijawab ‘LHA, PIYE, KATANYA TADI BELINYA SATUU!’
Ngomong-ngomong soal
hujan, hari minggu kemarin gue juga sempet berhubungan sama yang namanya hujan.
Ceritanya seperti ini:
Minggu, 15/9/13
11.00 Am:
‘Totalnya jadi
berapa mas?’
’37 ribu.’
Gue memberikan uang.
Si masnya memberikan kembalian. Gue keluar ruangan, membereskan berkas sambil
berjalan ke tukang fotokopian.
Rencananya, hari ini
gue bakal masukin naskah project iseng-iseng gue ke penerbit di daerah
Ciganjur. Sembari jalan ke fotokopian, gue bolak-balik lagi naskah gue.
Menimang-nimang apa yang kurang, sampai gue teringat ‘Oh iya, lembar pengajuan
belum gue isi.’
Di tukang
fotokopian, gue buka lagi naskah gue, dan benar saja, lembar pengajuannya masih
kosong. Gue mulai mengisi dari pertanyaan seputar biodata seperti nama, alamat, hobi,
semuanya gue isi dengan cepat. Hingga gue berhenti pada sebuah pertanyaan:
‘apakah selling point dari naskah gue?’
Dan jawaban gue
adalah,
Tidak tahu.
Gue diam. Merenung.
Si Mas tukang fotokopian menatap gue dengan tatapan ini-orang-waras-apa-kaga-sih.
Berbagai pikiran
berkecamuk di dalam perenungan gue. Gue berpikir licik, ‘apa gue curang aja,
ya.’ Gue buat saja tulisan sok pintar supaya terlihat keren.
‘Dengan membaca
naskah ini, pemerintah akan mengurangi kebiasaannya dalam berkorupsi.
Orang-orang yang menduduki pemerintahan juga tidak akan berhidung belang (kalau
pemerintah tidak lagi kerokan di batang hidung).’
Atau versi
religiusnya,
‘Dengan membaca naskah
ini, Anda akan masuk surga.’
Atau versi yang
tidak nyambung,
‘Dengan membaca
naskah ini, saya akan sangat bahagia.’
Gue: ‘Mas, jilid
ya,’ kata gue, setelah mengisi pertanyaan laknat tersebut dengan jawaban, rahasia. ‘Yang rapih, ya.’
Mas-mas tukang
fotokopian: Oke, Ponakan.
Ponakan?
Entah apa maksud dan
tujuan dia memanggil gue dengan sebutan ponakan. Setelah pernyataan tersebut
terlontar dari mulut mas-mas tukang fotokopian, sekelebat terlintas di pikiran
gue: ‘Apa jangan-jangan, dia memang Om gue yang selama
ini belum pernah ketemu? Yang seperti di film-film?’ Tidak. Setelah dipikir-pikir, gue ngga punya
Om yang mukanya kayak curut kena radiasi gitu.
12.15 Pm:
Gue pergi naik motor
ke Ciganjur, masih dengan muka heran, abis di-ponakan-in ama tukang potokopian.
01.00 Pm:
Gue sampai di
Ciganjur. Lebih tepatnya di daerah… ngga
tahu. Gue nyasar. Saat ini gue berjalan hanya berdasarkan indera. Masalahnya
indera gue suka ngawur. Jadilah gue jalan ngasal-sengasal-ngasalnya umat. Gue
malah sempat punya pikiran apa gue balik
aja ya, nanti deh, kapan-kapan nyerahinnya. Dan seketika saja muncul suara
entah dari mana: ‘Jangan.’
Oke, baiklah.
Jangan.
01.15 Pm:
Mendadak hujan
turun, gue meminggirkan motor, berteduh di warung kelontong. Kombinasi antara
nyasar ditambah hujan ditambah teh kotak dingin yang gue seruput kecil-kecil
dan alunan Just a feeling membuat gue merasa tampan. Gue memandangi
titik-titik air yang berjatuhan. Menghirupi aroma tanah-tanah basah yang
membuat rongga dada seakan melebar.
Di sebelah kiri
warung kelontong ini, terdapat gerobak mie ayam berwarna biru yang seperti menebeng
di tempat bengkel motor. Terdapat bangku kayu panjang dengan meja seadanya di
depan gerobak tadi. Di sebelah kursi panjang itu, ada kursi lain yang hanya
muat diduduki satu orang. Mamang-mamang tukang mie ayam duduk di sana.
Gue, berhubung sudah
lapar, akhirnya jalan ke sana dan memesan semangkuk mie ayam.
‘Mas, mie ayam ya, satu!’
‘Pedes ngga, Bang?’
Ngga usah.’
‘Mau pake oli motor
ngga, Bang? Ehehehe,’ kata si Abang berkumis, sambil nyengir lebar.
‘Ngga usah, Mas.’
Gue menunjuk ke arah bengkel, ‘Pake minyak rem aja.’
Abangnya tertawa, ‘Ah,
si Abang, bisa aja. Ehehehehe.’
Gue langsung duduk
ke bangku panjang, tidak mengindahkan perkataan si Abang tukang mie ayam.
Tidak lama
berselang, dia menghampiri gue, ‘Ini, Bang,’ katanya, yang kemudian menaruh
semangkuk mie ayam di depan gue. ‘Mie ayam spesial… pake oli bekas! Hehehe.’
Mencurigakan.
Sebelum benar-benar
melahap mie ayam ini, gue baca doa lama-lama, kemudian melihat-lihat ke dalam
bengkel. Mencari-cari benda yang bisa
dihantamkan ke kepala Abangnya kalo ternyata rasa mie ayamnya benaran aneh.
Gue tusukan garpu ke
mie ayam tersebut pelan-pelan, lalu gue putar sampai mie-nya menggumpal di
garpu. Gue masukkan ke dalam mulut… enak! Selamatlah si Abang dari sabetan gir
motor yang sudah gue siapkan sebelumnya.
02.20 Pm:
Hujan mulai reda.
Gue pergi dari tukang mie ayam dengan damai. Baru mundurin motor, gue kaget
setelah melihat plang, ‘Lho, jadi ini Jl H. Montong?’
Gue, yang daritadi
nyasar nyari alamat ini, ternyata, tempatnya, gue sudah sampai. Alhamdulillah.
Gue cek lagi ponsel gue, melihat nomor rumahnya, ‘Ooooh 57. Ya, ya, ya.’ Gue
pun menyusuri Jl. H montong perlahan-lahan, sampai akhirnya gue tepat di depan sebuah
rumah besar dengan tulisan nomor 57 di temboknya. Pintu gerbangnya sedikit terbuka. Gue puter
balik. Ngga jadi masuk. Pengecut.
Karena bingung mau ke
mana lagi, akhirnya gue sms Agung, teman SMP gue yang tampangnya kayak kuli
‘Gung, di mana?’
‘Di rumah.’
‘’Gue ke sana, ya.’
‘Oke.’
Setengah perjalanan,
dan, mendadak, hujan, kembali turun. Gue neduh di tukang vermak jeans.
Tempatnya agak kecil, tapi cukuplah untuk gue berteduh. Dan jujur, tempat
vermak jeans bukanlah tempat yang layak dijadiin tempat buat berteduh. Gue
selama di sana berdiri dengan celana basah, abangnya ngeliatin celana gue
mulu. Njir, gue kan jadi mau (lho).
Masih dalam
kecanggungan diliatin abang tukang vermak celana, ada mas-mas yang turun dari
angkot dan neduh di samping gue. Tingginya setara gue, tapi badannya agak lebih
besar sedikit. Dia dadah-dadah melulu ke tiap angkot yang lewat. Gue juga ngga
mengerti ritual apa yang sedang dia lakukan sampai dia berteriak sambil mengangkat
kedua tangannya, ‘ HUA! HULA! HAAAA!!’
Seketika saja
angkot-angkot pada berhenti. Dia naik angkot. Mungkin itu semacam bahasa
pemanggil angkot.
Tidak lama setelah ditinggal mas-mas tersebut naik angkot, dua orang cowo abg
naik vario tiba-tiba mengerem di depan gue.
Mereka berdua masuk ke toko vermak jeans sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang lepek terkena hujan. Gue kecipratan.
Di dalam hati gue
berteriak, ‘AAAAA TOLOONG, SETAAAN,
SETAAAN!!’
Mereka berdua
ngobrol sambil berteriak, ‘LHA, CACAT DAH. DI SONO NGGA UJAN. DI SINI UJAN!’
Kata gue di dalam
hati, ‘Muke lu noh, cacat.’
02.45 Pm:
Hujan berhenti. Gue
melanjutkan perjalanan ke tempat Agung.
***
Karena udah terlalu
panjang, mungkin cerita gue ngapain aja di tempat Agung, teman gue yang kuat
tapi ngga suka keliling komplek bawa-bawa barbel, mungkin akan gue lanjutkan di
postingan selanjutnya.
*lanjut ngeliatin
hujan sambil minum cokelat*
Kayaknya gue tau tempat mie ayamnya, pernah makan di sana. Hahaha..
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteGila. Detail banget ceritanya, pake segala ngasih tau jamnya juga. Hahaha. Btw, lo mau bikin buku bo? Menurut gue, emang bakat lo penulis. Iya, setiap lo bikin cerita selalu rapih, jokes-nya juga manteb. Sukses ya, bo!
ReplyDeleteNah, ini dia. sukses kawan buat naskahya. semoga diterima dan terbit denga tampan :)
ReplyDeleteWah, Jl. montong ya, hm... selalu suka jalan itu. Jalan yang banyak dilewatin calon penulis, dan penulis-penulis keren. Huehehe.
Tulisannya rapih, di. :)
semangat di,,, smoga bukunya terbit, lariss... buat gue atu yaa yang FREEEEE #AkuCintaGratisan mueheheheh...
ReplyDelete