“Lu tahu ngga, Di. Gue kan pernah ribut di
sini. Sama nenek-nenek!” teman gue menyandarkan punggungnya.
“Dan lu menang?” gue mengompori.
“Menang dong. Eh, ngga tahu juga, sih. Abis,
ngga ada yang ngejuriin?!”
Dia nyengir.
Gue nyengir.
Tanpa alasan yang jelas, kamu nyengir.
Itulah sekelumit percakapan gue dan teman
sewaktu naik kereta menuju Jakarta. Dia yang emosinya mulai meredam, akhirnya
menjelaskan duduk perkara perihal pengalamannya beradu mulut dengan
nenek-nenek.
“Ya lagian, gue memang beneran tidur waktu
itu, malah dikira pura-pura tidur karena ngga mau ngasih tempat duduknya ke
dia!” Dia menyampingkan duduknya, berhadap-hadapan dengan gue. Raut mukanya nampak serius.
“Tapi gue jadi tersentil juga sih,” dia menarik
napas. “Sekarang, tiap ada ibu yang membawa bayi, ataupun orangtua, bawaannya
pengen langsung berdiri. Males banget berantem di tempat umum!”
Jika niat baik teman gue itu menjadi kebiasaan, hal tersebut pasti menyusahkan. Coba pikirkan, jika dia sedang di angkot, lalu bertemu dengan ibu-ibu. Kemudian secara refleks teman gue berdiri. Paling-paling kepalanya benjol.
Bagaimanapun juga, ngga ada yang bisa
disalahkan. Gue hanya ngga habis pikir, kenapa pengelola kereta sangat sangat
kurang dalam hal memerhatikan ‘kenyamanan’ penumpang. Kereta selalu penuh.
Banget. Memangnya ngga ada batasan maksimal penumpang dalam satu gerbong?
Situasi yang amat berbeda yang dibandingkan negara-negara
maju. Di Negara maju, keamanan dan kenyamanan transportasi umum merupakan modal
terpenting untuk mengurangi kemacetan. Spanyol misalnya, moda perkeretapian di
sana (khususnya kereta bawah tanah) diberlakukan seperti busway. Kita cukup
bayar sekali dan dapat berganti-ganti metro, selama ngga keluar dari metro
station. Di Swiss lain lagi, transportasi umum di sana didominasi oleh tram,
dan pembelian karcisnya melalui vending
machine. Jarang dilakukan pemeriksaan karcis, ngga terbayang jika hal ini
diberlakukan di Indonesia. Rusaklah sudah.
Di Belanda, orang-orang sangat antusias
menggunakan sepeda. Ngga jarang sepeda berserakan, jalur sepeda juga tertata
dengan baik. Atau di Amerika, agar orang-orang lebih sering menggunakan
transportasi umum, biaya parkir dalam kota sangat tinggi. Untuk parkir indoor,
perjamnya kita harus membayar 250ribu rupiah. Dan itu masuk ke pemerintah. Ngga
ke reman pasar kayak di kota-kota Indonesia pada umumnya.
Kereta tetap melaju cepat. Dengkul gue
sekarat belum juga dapat tempat duduk.
Indonesia si negara berkembang yang nggak tahu kapan majunya...
ReplyDeleteHmm... ngangguk-ngangguk.
DeleteNah bener, Indonesia harus kayak Amrik juga parkir di mahalin. Paling enggak parkir mobil 20 ribu parkir motor 10 ribu, haha.. Tapi harus diimbangin dengan transportasi umum yang bagus, aman dan nyaman. Misal, di kereta bisa nonton dvd atau ada kulkasnya, kl bisa spring bed disewa kan enak tuh.. :D
ReplyDeleteIya, harusnya di dalam busway ada hotel. Jadi kalau macet, bisa tidur-tiduran dulu.
Delete