Besok pagi-pagi banget,
gue ujian. Tapi sekarang gue lagi asyik terkapar. Jangankan belajar, tiduran
sambil goyang dombret pun terasa berat buat gue.
Oh man, ngga bisa melakukan kegiatan yang
dipengenin karena keadaan itu ngga enak banget. Sumpah.
Gue ngga tahu sih,
kenapa tiba-tiba bisa tepar gini. Badan gue langsung drop malam sabtu kemaren. Meriang, panas-dingin, kepala kayak
ditusuk-tusuk tombak, badan kayak diremes-remes raksasa. Padahal paginya ngga
kenapa-kenapa. Apakah ini, ulah dari Eyang Goyib?
Walhasil, gue ngga
belajar sama sekali. Wahai soal ujian, ampunilah dosa-dosaku.
Well, sebenarnya yang mau gue ceritain adalah
tentang hari selasa kemaren. Saat gue pertama kali naik kereta—yang kursinya
menghadap ke samping. Jenis communter line, bukan kereta jarak
jauh.
Gue naik kereta
bersama seorang teman sekitar pukul sepuluh lebih empat puluh menit. Bayang-bayang
gue, naik kereta itu seperti di luar negeri; sepi, tenang, dan keren, ternyata
ngga begitu salah. Ketika kereta hendak berangkat, pintunya tertutup sendiri.
Banyak bulatan-bulatan di langit-langit kereta tempat pegangan tangan untuk
orang berdiri. Banyak banget. Sayangnya adalah, kursinya menghadap samping.
Jadi, kereta ini
setara dengan angkot gandeng dengan 17 gerbong. Alhasil, tiap kali kereta
berjalan dari suatu stasiun, gue yang lemah ini selalu menahan muntah. Dan,
perjalanan dari Bogor menuju stasiun kota akan melewati sekitar 20 stasiun.
Jadilah sesampainya di Jakarta, gue hoek-hoek ngga karuan. Gue berhasil membuat
orang-orang mengira kalau gue sedang hamil dua bulan.
Hal berkebalikan
justru gue temui sore harinya, saat perjalanan pulang ke Bogor. Keretanya
sumpek. Banget. Gue kebagian tempat berdiri di depan pintu. Gue ngga mengerti
apakah mentang-mentang semua orang punya tiket terus boleh main masuk aja? Apa
dari perusahaan penjualnya ngga memikirkan kalau kereta sudah overcapacity?
Ah, gue rasa lagi-lagi alasannya karena profit oriented. Mereka
ngga peduli dengan “kenyamanan”, yang mereka butuhkan adalah keuntungan, atau
dalam hal ini, uang.
Saking sempitnya, gue
ngga bisa bergerak sama sekali. Dari sebelah kanan, gue didempet mas-mas.
Sebelah kiri, teman gue terpojok. Pinggangnya nyaris pengkor kena besi ujung
kursi. Di belakang gue, ada mas-mas botak pakai jersey MU yang
setia menyodok-nyodok bokong gue. Oh, hilanglah kesucian saya hari itu.
Gue berharap, tiap
sampai stasiun, banyak orang turun dan membuat lowong gerbong. Tapi nyatanya,
malah banyak yang mau naik. Padahal di dalam udah sempit banget. Orang-orang di
dalam sudah ngga mau menerima tambahan orang lagi, sementara di luar,
orang-orang berebut pengen masuk. Gue seperti berada ditengah-tengah
dorong-dorongan polisi dan para pendemo. Sampai di salah satu stasiun,
teriakan-teriakan anarkis mulai muncul,
‘Bang, Bang! Tahan, Bang! Jangan
biarkan mereka masuk!’
Badan gue dipegangi
orang-orang untuk menghalangi pintu.
‘Woy, Dek. Geseran dikit
dong. Kita mau masuk nih!’
Gue ditabrak
orang-orang yang pengen masuk.
‘Tau, nih! Minggir!!’
‘Awas dek, munduran.
Munduran?!!’
‘AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHH?!!’
Pertahanan gue jebol.
Para penumpang tadi merangsek masuk dengan liar.
Kondisi di dalam
semakin mengenaskan. Gue ngga bisa bergerak sama sekali. Kaki saling injak.
Badan saling dorong. Kadar oksigen di dalam kereta pun semakin menipis. Aroma
keringat dan ketek orang pulang kerja kian menyodok-nyodok hidung. Lima menit
lagi seperti ini, gue brojol di tempat.
Mual-mual yang sewaktu
berangkat amat menyiksa, kini ngga terasa. Yang gue pikirkan hanya bagaimana
caranya supaya gue bisa keluar dari kereta ini hidup-hidup.
Ketidaknyamanan ini
membuat salah seorang balita di dalam gerbong menangis dengan kencang.
‘Oeeekkk?!!!
Oeeeeekkk…?!! Okeeeekkk..?!!!’
‘Iya, Sayang. Cup.
Cup. Cup. Sebentar lagi turun kok’ si Ibu menepuk-nepuk bokong si bayi.
Tangisan si bayi semakin
menggema ‘Oeeeekkkk?!!! Oeeeekkk!!! Oeeeekkk…?!!!’ melihat kondisi yang
berdesakan seperti ini, gue perkirakan tangisan bayi itu bila diterjemahkan
akan menjadi ‘Maaah, kaki aku buntung, Mah.’
Sekitar pukul 6 sore
kereta sampai di Bogor. Semua orang berbondong-bondong keluar dari kereta
laknat itu.
Gue dan teman gue,
tewas di tempat.
Gue baru tahu, naik
kereta itu bisa sangat mengasyikan jika sepi, dan bisa sangat membunuh jika
ramai.
kalau di tempatmu,
gimana keretanya?
ribet banget ye perasaan :p
ReplyDeletehahaa tapi seru kan ya naik kereta..
visit to my blog yaaa :)
salam kenal,
salam sukses..
Iya, salam kenal juga ya, laras.
Deletebuahahahahah tewas di tempat..... kalo aku sih gasampe tewas. karena emang ga sempit. duduk paling pojok di bawah menuju perjalanan pulang dari tanah abang. Ada banci bohai yang minta minum ~_~ alhasil disitu malah jadi kenalan, dan kata dia "gue bakal mengenang elo dek. gadis berjilbab putih" kayak apaaa gitu ya..........
ReplyDeleteCewe mah emang enak. Hoho.
DeleteNjir, banci. Jangan dibawa ke blog ini, gue alergi.
bang, kenapa gak kaya bokex aja. Duduk diatas gerbong kan luas. Bisa tidur-tiduran malah.
ReplyDeleteSorry, gue ngga bokek.
DeleteNah! Hahaha
ReplyDeleteEmang begitu bang klo naek kereta mah. Ekstrim.
Keluar susah masuk susah. Entahlah.
Lo mah mending bang naeknya dari ujung (re : stasiun Bogor), bisalah dapet tempat duduk dikit. Lah, klo gue lagi naek kereta, gue naeknya dari stasiun UI/pocin. Udah masuk area tengah2 kan tuh. Alamat gak dapet tempat duduk itu mah.
Hahaha ternyata emang gitu ya?
Deletetapi biasanya kalau cewe mah pasti dapet-dapet aja kok. Tergantung iman, mungkin.
Hehehe
DeleteIya, seperti itulah di. Yah, namanya juga hidup.
hahaha -______-
Gak selalu dapet juga sey di.
Kadang kebanyakan yg dapet tempat duduk di gerbong wanita itu ibu2, ibu sama anaknya, ibu hamil, mba2 kantoran, mba2 maskeran, dan mba2 kece yg selalu pake headset sambil BBM-an. Klo org kayak gue yang masih ABG unyu2 (mungkin) gini mah pasti dah berdiri. Selalu.
Setuju sama kalimat ini >> Gue baru tahu, naik kereta itu bisa sangat mengasyikan jika sepi, dan bisa sangat membunuh jika ramai.
ReplyDelete