Minggu lalu, malam-malam, sewaktu lagi bongkar-bongkar lemari rumah, gue menemukan sebuah
buku tebal berwarna biru dengan halaman depan bergambar kompas. Gue mengusap cover depannya yang mulai berdebu, lalu tersenyum kecil.
Buku itu seakan menguarkan kenangan-kenangan semasa SMA dulu.
Itu buku tahunan.
Gue membawa buku itu
ke kamar, lantas membalik satu per satu halaman yang harumnya seperti
bau buku pertama kali dibeli. Senyum gue semakin lebar, entah kenapa gue sangat
suka bernostalgia. Rasanya mirip dengan bertemu sahabat lama, yang kemudian
mengajak kita ngobrol sampai puas.
Kini halaman sudah
di tengah. Gue tertawa melihat bocah kerempeng dengan totolan jerawat,
sok-sokan memakai polo berwarna krem dengan earphone menempel di kuping kanan.
Gue menggumam, ‘dulu pasti gue berasa keren dandan begini.. sekarang pas diliat
lagi kok malah kayak anak cacingan kena tumor di kuping, ya?’
Sebagian orang
menganggap SMA adalah zaman yang keren.
Zaman yang tidak
mungkin dilupakan karena lagi macho-machonya.
Buat gue, SMA
merupakan zaman culun-culunnya. Masa di mana gue belajar menjadi ‘manusia’.
Saat di mana anak lain mendengarkan musik metal, atau punk, atau rock dengan penuh
teriak-teriakan, gue malah mendengarkan lagu reggae. Which is setiap kali sekolah gue ngadain pensi, anak-anak pada pake
baju item-item, lari ke tengah lapangan buat mossing. Mengangguk-anggukan
kepala, ngibas-ngibasin rambut dengan rusuh. Gue cuman di pinggir lapangan.
Pake gelang merah-kuning-ijo sambil sesekali menjerit, ‘Yomaaaann..!’
Ngga keren abis.
Zaman SMA, juga
merupakan zaman di mana gue doyan-doyannya foto ngadep belakang. Benar, di saat
orang-orang lagi heboh motoin kaki sendiri, gue malah foto membelakangi kamera.
Gue sebetulnya agak lupa, gimana asal-muasalnya sampe gue dapet ilham untuk
foto ngadep belakang. Sejujurnya, dari dulu gue paling tidak suka yang namanya
foto. Entahlah, mungkin minder, atau biar beda, atau pas kecil gue pernah naik
sepeda kemudian jatuh dengan kepala nyungsep duluan dan tiba-tiba tersadar, ‘kayaknya
struktur punggung gue lebih mirip muka, deh.’
![]() |
si gembel dengan wajah penuh rambut |
Gue membalik halaman
sekali lagi. Dan tiba-tiba nyokap masuk kamar.
‘Dek, Bapak kok,
kalo sms, singkat-singkat melulu, ya?’ kata nyokap, sewot.
‘Singkat-singkat
gimana?’
‘Nih, ya, misal Ibu
tanya, “Bapak udah makan belum? Ini Ibu lagi sarapan bareng Adek” dia paling
cuman bales “ya“ atau “belum” doang.’
‘Emang gitu kali,’
jawab gue, masih melihat foto anak-anak di buku angkatan, belum fokus.
‘Gitu ya?’
Gue menghadap nyokap,
‘Iya, atau mungkin, jempol Bapak kegedean, Jadi susah ngetik smsnya,’ kata gue, datar. Yang kemudian malah benar-benar membayangkan orang berjempol gede, kesulitan mengetik sms. Mau nulis “ya”, malah jadinya “y9AAGGHHEE!!”
‘Tau tuh si Bapak,
ngga ngerti lagi deh.’ Nyokap keluar kamar.
Gue lanjut membalik
halaman. Lalu mata gue mengarah kepada perempuan yang mengenakan topi pantai.
Bergaun putih.
Sosok itu, gue
pernah bertemu kembali beberapa waktu lalu. Namun, hal terakhir yang paling gue
ingat adalah sewaktu gue sedang membungkuk, menaruh sebuah boneka Tazmania, di
depan pintu rumahnya.
Benar. Dia,
adalah wanita pertama yang membuat gue merasakan yang namanya jatuh. Dan ketika SMA, gue tidak
mengerti soal cinta-cintaan. Gue seorang pemula.
Sebagaimana pemula
pada umumnya, gue hanya mengamatinya dari
kejauhan. Kita sangat jomplang. Dia adalah si anak basket yang menawan. Pada saat itu, basket merupakan
eksul dengan kasta kekerenan tertinggi di sekolah. Sementara gue, si culun yang sok-sokan
ikut ekskul sepakbola. Posisi gue waktu itu adalah sayap luar. Luar lapangan. Pas sepuluh menit pertama, gue berasa sakrotul maut, ngga kuat dan langsung bengek-bengek.
Akhirnya memilh untuk jajan es kelapa muda di pinggir lapangan.
Selazimnya orang
yang jatuh cinta, gue juga jadi menyukai semua hal yang dia suka. Setelah tahu
dia punya blog, gue ikutan buat. Blog dia berisi puisi dan kata-kata anggun nan
menawan, sedangkan gue berisi cerita motivasi hasil copy-paste dari google. Dia memberikan nama blognya sesuai dengan
namanya sendiri, sedangkan nama blog gue: kodok biru. Cupu abis.
Gue tidak mengerti
apa yang merasuki gue sampai ngasih nama blog gue dengan nama seperti itu. Satu-satunya
hal yang gue ingat sampai sekarang hanyalah karena gue suka warna biru. Dan
kodoknya, entah muncul dari mana. Tidak terbayang apabila di masa itu, gue suka
warna ijo lumut. Nama blog gue bakalan jadi: kodok ijo lumut. Dabel cupu abis.
Gue sempat PDKT dengan dia, bahkan jadian sebentar. Gue juga sempat melakukan hal-hal yang sepertinya lucu juga kalo dipikir. Orang yang baru jadian, biasanya sering mengucapkan 'hati-hati' ke pasangannya. Entah kenapa harus seperti itu, padahal sebelum jadian biasa aja. Seakan-akan pasangan kita adalah barang pecah belah yang kesenggol dikit langsung rusak. Mau berangkat sekolah, 'hati-hati ya berangkatnya.' pas pulang dari sekolah, 'hati-hati ya pulangnya.' Atau pas dia mau boker, bilang, 'hati-hati ya ceboknya, nanti pantatnya lecet, loh.'
Aneh, tapi gue juga melakukannya. Hehe.
Jam sudah
menunjukkan pukul 10 malam.
Gue menutup buku.
Buku kenangan itu,
menyadarkan gue.
Bahwa tidak harus
menjadi keren untuk membuat bangga dengan masa lalu.
Dan bahwa kita,
tidak boleh melupakan masa lalu, seburuk apapun ia. Bahwa kita harus berani
untuk belajar menghargai masa lalu. Karena masa lalu merupakan salah satu komponen yang
membangun kita, yang membentuk kita menjadi seperti sekarang. Itu berarti, ketika
melupakannya. Menghilangkannya. Membuangnya. Kita menghilangkan, bagian dari
tubuh kita sendiri.
*tulisan ini diikutsertakan dalam giveaway, "sekalian ulang tahun blog, ulang tahun Ichsan, dan 2 bulanan buku #AyamSakit"